webnovel

FIRST LOVE

Percayakah kamu dengan ungkapan jika cinta pertama selalu gagal? Atau cinta pertama tidak pernah berhasil? Lova Putri Alexander Archelaus : Cinta pertama. Pertama kalinya aku belajar untuk mencintai sekaligus melepaskan Axe. Jadi haruskah aku percaya dengan ungkapan itu? Axelle Adelio Cetta : Apa itu cinta? Bahkan aku sendiri saja tidak tahu apa nama yang benar untuk rasaku pada Lova. Jadi bagaimana aku bisa tahu cinta pertamaku gagal atau tidak? Mohon dukungannya dengan meninggalkan jejak berupa vote, comment dan review. Cover : Pinterest

Dewa90_ · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
433 Chs

FIRST LOVE | 32

Axel membuka penuh pintu kamarnya. Lalu mempersilahkan Lova untuk masuk lebih dulu lewat kedikkan dagunya.

Lova perlahan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Axel. Kamar laki-laki itu berukuran sedikit lebih besar dari kamarnya. Lova berdiri ditengah-tengah kamar dengan aroma woody itu. Mengedarkan pandangannya memperhatikan setiap sudut kamar Axel.

Lantai vinyl dengan motif kayu oak warna golden memberikan sebuah efek rustic dan alami membuat kamar Axel terlihat homey. Dinding dengan aged street wall background yang menunjukan motif batu bata tidak semuanya terpencar di beberapa sisinya saja dan langit-langit yang berwarna senada dengan lantai vinyl.

Tempat tidur lipat jenis lemari yang di design dengan kedua sisinya terdapat lemari untuk meletakkan dan menyimpan barang-barang kecil milik Axel seperti piala dan pigura foto berwarna abu-abu metalik dengan list hitam. Di atas ranjang bersprei hitam itu terdapat dua bantal tidur dan tiga bantal cushion.

Jika dilihat dari posisinya berdiri sekarang ini, di samping kiri ranjang terdapat jendela panjang dengan horizontal blind berbahan kayu warna vita cream. Sementara di samping kanan ranjang terdapat meja konsol dari kayu dengan model minimalis tiga tingkat untuk meletakkan beberapa buku, piala dan benda kecil lain yang dimasukan ke dalam tiga charcoal square storage basket warna gold.

Jam dinding jenis digital dengan bentuk seperti papan skor pada pertandingan bola basket dipasang di atas sepanjang jendela. Phoenix ceiling fan with four decorating lamps warna finish crown gold, blades rosewood/gold glass frosted clear dipasang di langit-langit tepat di atas ranjang.

Di dinding belakang atas meja konsol ditempeli poster pemain basket yang sedang melakukan jump shoot dan wall sticker bentuk segitiga terbalik warna hitam putih dengan tulisan spurs yang dipasang miring. Di ujung atas dinding yang berbatasan dengan langit-langit terpasang ring basket dengan net tertutup yang menyimpan bola oranye di dalamnya.

Kedua alis Axel terangkat. Mendekati Lova dan berdiri di belakang gadis itu dengan kedua tangan disembunyikan di belakang punggungnya. Axel memajukan wajahnya sedikit agar bisa melihat wajah Lova.

"Lihat apa?" tanya Axel tepat di samping telinga Lova sebelah kanan membuat gadis itu berjengit sedikit kaget dan reflek menoleh menatapnya.

"Hah?" tatapannya langsung bertemu dengan mata Axel. Lova berdehem kecil. Menunduk salah tingkah sambil menyelipkan surai rambutnya ke belakang telinganya sebelah kanan. Lova perlahan melangkah mundur memberi jarak dengan Axel.

Axel tersenyum tertahan. "Sini. Ikut gue, my Lov." ajak Axel dengan suara pelan sambil meraih tangan Lova sebelah kanan pelan.

Lova langsung mengangkat wajahnya. "Kemana, Axe?"

Axel tak menjawab. Hanya menatap Lova dari balik bahunya. Axel terus menarik tangan Lova hingga masuk ke dalam walk in closet yang menyatu dengan kamarnya.

Lova manggut-manggut sambil ber-oh ria dalam hati ketika mengetahui tempatnya berdiri sekarang. Matanya mengamati walk in closet Axel yang sudah seperti toko baju itu. Baju, sepatu, dan semua jenis aksesoris milik laki-laki itu tersusun dengan rapi berdasarkan jenis dan warnanya.

Kening Lova mengerut samar. Kedua matanya langsung memicing ketika melihat barang yang familiar di penglihatannya. Perlahan menoleh menatap Axel. "Jaket Lova, kan?" tanya Lova sambil menunjuk jaket baseball merah maroon yang terselip di antara jaket-jaket milik Axel.

Axel menggeleng.

Kedua alis Lova menaut nyaris menyatu. Lova menurunkan tangannya. "Punya Lova."

"Itu punya gue. Lo yang sendiri yang kasih ke gue waktu itu. Oke, clear."

Lova mencebikan bibirnya.

"Dahlah! Nih. Lo pakai, my Lov."

Lova mengalihkan pandangan pada kaos yang diulurkan Axel dan langsung menerimanya. Menjembreng kaos itu. Lova menatap kaos oblong warna putih polos yang ada di tangannya dan kaos yang dikenakan Axel bergantian.

"Sama kaya kaos Axe?"

"Biar matching sama rok seragam lo."

"Kenapa gak warna biru? Kan, matching juga sama rok Lova."

"Protes mulu. Suka-suka gue, lah yang mau minjemin lo baju. Udah sana. Lo ganti dulu, my Lov." Axel mengulurkan paper bag pada Lova yang langsung diterima gadis itu.

Lova mengangguk patuh.

"Kamar mandinya--" Axel sambil menunjuk ke arah sebuah pintu yang berada di belakang Lova, di sudut kanan walk in closet. "Sebelah sana, noh."

Lova menoleh mengikuti kerah jari Axel menunjuk sejenak. Perlahan menoleh kembali menatap laki-laki itu. Lova tersenyum kecil lalu berbalik badan dan berjalan menunjuk pintu yang tadi di tunjuk Axel.

"Gue tunggu di kamar!" teriak Axel dari luar pintu kamar mandi.

"Iya!"

"Cepetan! Jangan lama-lama."

"Iya, Axe ... Ya ampun. Pergi sana, ih!"

Axel terkekeh pelan. Tangan kanannya terulur mengetuk pintu kamar mandi satu kali. Axel berbalik badan lalu berjalan keluar dari walk in closet dengan kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana dan bersiul riang.

-firstlove-

Lova duduk bersandar di headboard dengan kedua matanya fokus pada novel yang sedang dia baca. Telunjuknya sesekali mendorong frame ke atas membetulkan letak kacamata bacanya.

Gerakan kedua bola mata Lova seketika terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah balkon kamarnya. Lova langsung memasang sikap waspada dan perlahan turun dari ranjangnya.

Lova mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamarnya mencari benda yang bisa digunakan sebagai senjata. Tapi, yang dia temukan hanya raket tenis.

Tanpa pikir panjang lagi, Lova langsung saja mengambil raket tenis yang dicantelkan menggunakan paku di dinding dekat pintu kamarnya tanpa mengeluarkan dari covernya lebih dulu. Lova mengendap-endap berjalan sedikit berjinjit ke arah balkon kamarnya dan bersembunyi dibalik gorden balkon yang pintunya belum ditutup.

Lova menelan salivanya susah payah sambil mengangkat tinggi raket tenis ketika suara derap langkah kaki terdengar semakin dekat. Kedua tangannya yang memegang erat gagang raket sudah terasa basah. Keringat mengalir dari pelipisnya. Jantung Lova berdetak sangat cepat. Bolehkan dia merasa menyesal sekarang? Oh God! Kenapa juga baru sekarang terpikirkan oleh otak kecilnya jika ada tindakan yang lebih tepat? Seharusnya, dia berlari keluar dari kamarnya dan membangunkan Alex. Daddy ... Rengek Lova dalam hati.

Mungkin, memang tidak akan mengakibatkan luka yang parah. Hanya akan membuat kepala si pencuri itu benjol kalau saja dia memiliki tenaga bisa memukulkan raket tenis dengan keras. Lova langsung saja mengayunkan raket tenis ketika kaki orang itu sudah terlihat menjejak di area kamarnya.

Mendapat serangan secara mendadak, Axel mengerang tertahan. Namun, ketika menoleh dan melihat Lova memukul dengan mata terpejam berusaha melawan ketakutannya, Axel malah jadi merasa gemas sendiri.

Axel terkekeh kecil. Tangan kanannya terangkat menangkap kedua tangan Lova. Sementara tangan kirinya melingkar di pinggang gadis itu.

Lova bergerak mencoba memberontak. Namun, rasanya percuma saja. Tenaga pencuri itu ternyata lebih besar darinya.

"Hey, hey, hey! Tenang, my Lov."

Suara ini? Lova mengenali pemilik dari suara yang sudah satu bulan ini mengisi hari-harinya.

Axe?

Seketika Lova berhenti memberontak dan perlahan-lahan membuka matanya hanya yang sebelah kanan saja mencoba memastikan terkaannya tentang pemilik suara itu tidak salah.

"My Lov, ini serius gue. Jangan takut." Axel membuka suaranya lagi mencoba meyakinkan Lova sambil meremas pinggang gadis itu pelan.

Lova langsung membuka matanya sebelah kiri sambil menghembuskan nafas lega. "Ya ampun! Axe, nakutin Lova banget tahu gak? Lova kira maling. Kenapa juga masuknya segala lewat balkon, sih? Rumah Lova masih ada pintunya, ya kalau Axe lupa."

"Hmm," gumam Axel sambil memindahkan tangan kanannya di pinggang Lova setelah gadis itu sudah mulai tenang. Axel menarik Lova ke dalam pelukannya dan menyandarkan kepala di bahu Lova. Selalu nyaman.

Lova melirik Axel. "Axe kenapa, hm?" tanya Lova halus sambil melingkarkan tangannya sebelah kanan di punggung Axel membalas pelukan laki-laki itu.

"Capek."

Lova mengusap-usap pelan punggung Axel naik turun. "Capek? Memangnya Axe habis ngapain? Kenapa bisa capek gitu?" tanya Lova sambil memiringkan kepalanya sedikit agar bisa melihat wajah Axel.

"Gue habis main tinju-tinjuan, my Lov."

Kening Lova mengerut dalam. Lova mendorong bahu Axel pelan tanpa melepaskan pelukan mereka berdua. Raut Lova seketika berubah menjadi terkejut dan kedua matanya langsung melebar ketika melihat wajah Axel yang dihiasi dengan beberapa luka.

"Lo sejak kapan pakai kacamata?" tanya Axel sambil menyentuh ujung kanan atas kacamata Lova.

Lova terdiam tak menghiraukan pertanyaan Axel. Tangan kanannya menangkup rahang laki-laki itu. Lova mengusap luka sobek di sudut bibir Axel dengan ibu jarinya pelan. "Ini-- kenapa Axe bisa jadi kaya gini? Berantem?" Lova menatap manik mata Axel. Menatap laki-laki itu dengan sorot menuntut. "Coba jelasin sama Lova."

Axel mengangguk. "Iya-iya berantem. Tapi, mereka duluan yang mulai. Gak terima kalau kalah balap-- akh! Sakittt, my Lov!" jerit Axel ketika lukanya ditekan keras oleh Lova dengan sengaja.

"Axe banyak alasan banget, sih. Pantesan aja, ya tadi waktu antar Lova pulang, Axe gak mau Lova suruh mampir dulu. Bilangnya ada urusan. Ternyata berantem urusannya."

"Ya ... gue emang ada urusan. Balapan. Nah, berantem doorprizenya."

Lova mencibir ucapan Axel. Mendorong lengan Axel pelan hingga kedua tangan laki-laki itu terlepas dari pinggangnya. "Obati dulu, ya lukanya, Axe." kata Lova dengan sabar sambil menarik tangan Axel pelan menuntun laki-laki itu duduk di tepi ranjangnya.

"Lova ambil kotak P3K dulu. Axe tunggu sebentar, ya." tanpa menunggu jawaban dari Axel. Lova langsung saja berbalik badan dan berjalan keluar dari kamar setelah lebih dulu mencantelkan raket tenis pada tempatnya lagi.

Axel menatap lekat punggung kecil Lova hingga gadis itu hilang di balik pintu kamar. Lalu menjatuhkan punggungnya di atas ranjang Lova sambil menghela nafas kasar. Axel memejamkan kedua matanya dan meletakkan tangan kanan di atasnya.

­­-firstlove-

"Loh! Axe udah tidur, ya?" gumam Lova lirih ketika kembali ke kamarnya dia melihat tubuh Axel tidak bergerak sedikitpun. Tidak merasa terusik dengan suara derit pintu yang baru saja dia buka.

Lova menatap pada handuk kecil untuk kompresan di tangan kirinya dan kotak P3K di tangan kanannya secara bergantian. Berjalan mendekati ranjangnya dan meletakkan kedua barang itu di atas meja nakas. Lova melongkok wajah Axel. Tersenyum kecil sambil geleng-geleng kepala. Lova duduk berjongkok dan melepaskan sepatu Axel. Pelan-pelan mengangkat kedua kaki panjang laki-laki itu ke atas ranjang. Lova membetulkan posisi tidur Axel. Lalu menarik selimut hingga dada laki-laki itu.

Lova duduk di tepi ranjang. Mengusap pelan satu sisi pipi Axel. Lova menghela nafas samar. Lalu dengan cekatan mengompres pipi Axel dan mengobati luka di sudut bibir laki-laki itu. Semoga saja tidak ada luka lain selain yang ada di bagian wajah Axel. Lova tidak mungkin berani memeriksa badan pacarnya itu.

Tbc.

Karena tidak bisa insert picture, aku berharap caraku mendeskripsikan bentuk suatu benda/barang cukup untuk memberi kalian gambaran.

Terima kasih untuk yang sudah vote, comment dan review. Stay healthy and safe guys. Tetap patuhi protokol kesehatan.

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Like it ? Add to library!

Dewa90_creators' thoughts