Aku berpaling pada jendela mobil. Sekarang bukan hanya aku yang kesal, Satria pun tampak terpancing emosi mendengar kata-kata terakhirku. Aku cuma memberi alternatif pilihan yang tepat kan?
"Dengar, Rea. Di antara kita nggak akan pernah ada kata cerai. Camkan itu."
Aku meliriknya sejenak. Rahangnya mengeras, kepalan tangan pada kemudi juga terlihat erat. Sepertinya Satria sedang menahan luapan emosinya agar nggak terlalu meradang.
Aku nggak peduli. Kalau ada orang yang boleh marah itu seharusnya aku, bukan dia. Selama perjalanan, kami saling diam. Tidak ada satu pun di antara kami yang berniat membangun percakapan lagi. Hingga tiba di rumah sakit, kami langsung menuju lantai lima. Tempat kamar rawat Axel berada.
Ada Mbak Anin dan Mas Dika saat aku membuka pintu kamar Axel.
"Lah, itu si Rea!" seru Mas Dika. "Sudah gue duga sih, dia pasti datang."
Apoya a tus autores y traductores favoritos en webnovel.com