webnovel

Bagian 12

Apa neraka terbuka di atas sana? Rasanya hari ini panas sekali. Semalam pun gerah memaksaku untuk berpindah-pindah posisi tidur lantaran kulit tubuhku dibuat merah oleh sprei yang bergesekkan dengan kulitku. Kuikat rambutku seperti ekor kuda, aku yakin ini lebih indah dibanding ekor snowfire. Kuharap Josh tidak mempersamakan rambut ikat ekor kudaku dengan ekor Snowfire, kuda putih yang selalu dibilang mempesona oleh Josh.

Aku melenggang keluar kamar menggunakan satu gaun baru warna hijau muda dengan motif bunga-bunga merah kecil. Penjahit Tuan Schoonhoven yang memberikannya semalam dan aku terkejut karena ukurannya pas.

"Tidak bisakah mama memahamiku sebentar saja?" Langkahku melambat seketika, kalimat itu mampir di telinga dan langsung mencuri perhatianku. Aku hafal benar suara siapa di balik pintu bercat putih di hadapanku. Ada sedikit celah dari pintunya yang sedikit terbuka. Bukan salahku kalau aku menguping, keadaan yang mendukungku.

"Aku sadar mama membenciku tapi kumohon jangan perlakukan aku seperti ini Ma, setidaknya berbicaralah padaku, aku ingin kau memanggilku," Nada memohon terdengar jelas di setiap butir kata-katanya, kata-kata dari si pemilik suara lembut nan merdu. Tapi nyatanya orang yang dimintai tak menanggapinya. Dari celah kecil pintu yang terbuka, aku mampu melihat sosok wanita tinggi semampai, berambut pirang, cantik dan bermata hijau itu justru menunjukkan keangkuhannya.

Tap, tap, tap. Suara sepatu beradu dengan lantai mengejutkanku. Menurut indra pendengaranku, jelas sekali kalau si pemilik kaki melangkah menuju tempatku berpijak, tempatku mendengarkan pembicaraan yang tak kupahami latar belakangnya antara Josh dan Mavrouw Alex. Suaranya yang semakin jelas terdengar, memaksaku untuk bergegas pergi.

Tanpa seizin Tuan Schoonhoven, tanpa dipicingi Mavrouw Alex, tanpa diketahui Josh dan hanya diketahui oleh tukang sapu kediaman Tuan Schoonhoven yang tengah menyapu teras depan. Aku pergi dari bangunan megah bercat putih itu. Aku bosan dan ingin berjalan-jalan.

Kupakai topi bundar putih dan lebarku sebelum kuinjakkan kakiku di jalan beraspal. Senyum merekah di bibirku ketika burung-burung berkicau seolah menyambut kehadiranku. Sudah kuniatkan hatiku sejak hari di jembatan pagi itu. Aku tidak akan bersedih lagi. Hidupku harus berlanjut dan bahagia.

"Maudy!" Kudengar sapaan ramah para serdadu yang kulewati atau yang berpapasan denganku. Aku bahagia karena sahabat-sahabat baikku yaitu para serdadu Belanda, masih bersikap sama seperti saat aku tinggal bersama ayah, ibu dan Kak Rusli. Saat sebelum mimpi buruk mengubah hidupku dalam sekejap mata. Kuharap aku tidak akan kehilangan mereka.

"Bisakah kita berbicara, Maudy?" seseorang mendadak muncul dari tikungan, menghalangi langkahku dan mengejutkanku. Gadis berkulit kuning langsat, memakai kebaya warna kuning emas, berparas ayu dan bersanggul. Sosok yang sangat dekat denganku namun tak bertegur sapa denganku selama beberapa hari. Ratri.

Kami berdiri di samping gardu serdadu yang sepi. Selama beberapa saat, keheninganlah yang mengisi waktu antara aku dan Ratri. Kuperhatikan dia dengan saksama, dari raut wajahnya aku tahu satu hal. Dia sedang berpikir dan tengah mencari kalimat yang tepat untuk mengawali pembicaraan kami. Jujur saja, sebenarnya aku sudah muak dan ingin beranjak tapi rasa penasaran terhadap hal yang hendak disampaikan Ratri membuatku bertahan disini bersamanya, berhadapan dengannya dan berkawan dengan nyamuk yang suaranya terdengar seperti serangan pesawat tempur.

"Sebelumnya aku mau meminta maaf, Maudy,"

Ya! Bagus! Mulailah berbicara Ratri, aku sudah jengkel berada disini. Dari cara bicara dan kata-katanya, aku sudah tahu arah pembicaraannya, dia menyesal karena telah mendiamkanku beberapa hari ini dan memang sudah seharusnya dia datang menemuiku untuk meminta maaf.

"Kau pasti marah karena aku menjauhimu selama ini, tapi sungguh aku tak pernah berniat seperti itu,"

Dia berbicara dengan suara lirih namun penuh tekanan, mengisyaratkan kesungguhan kata-katanya adalah kebenaran tanpa perlu diganggu gugat.

"Aku," dia berhenti sejenak, matanya menelisik ke segala penjuru seolah takut ada orang lain di sekitar kami. Kewaspadaan kutangkap dari sinar matanya, "aku diperintahkan Ramaku untuk menjauhimu," kali ini dia setengah berbisik. Aku tersentak, mataku membulat mendengarnya. Apa dia serius? Atas dasar apa ayahnya melarang Ratri berteman denganku? Selama ini dia sangat baik padaku.

"Kukatakan ini padamu karena aku tidak mau kau membenciku dan berpikir aku tidak mau bersahabat denganmu lagi,"

"Kenapa ramamu melakukan itu?"

"Aku kurang tahu," kali ini dia menunduk dan menggesek-gesekkan ujung selopnya di tanah, membentuk ceruk kecil di bawah kakinya, "Tapi ini ada hubungannya dengan kedekatanmu dengan pemerintah Belanda," Aku menghela napas panjang. Ternyata hal itu juga menjadi alasan dia diharuskan untuk menjauhiku.

"Rama mulai tergabung dalam organisasi untuk melawan Belanda, dia melarangku untuk berteman denganmu karena kau dekat dengan Belanda,"

"Kalian mencurigaiku?" kutanyakan saja langsung daripada dia terus merangkai kata-kata membuat segalanya menjadi berbelit-belit padahal semuanya akan berujung pada hal yang kutanyakan juga.

"Bukan begitu Maudy," Ratri meraih tanganku, berusaha meyakinkan, "Mungkin kau belum menyadari hal ini. Keadaan memang sama saja di luar. Tapi, kecarutmarutan sedang melanda negeri ini,"

"Pemikiran dan ambisi orang-orang seperti ramamulah yang merusak semuanya!" Aku berteriak frustasi di depan wajah Ratri, membuat gadis itu terkejut dan mundur beberapa langkah dariku.

"Kau tahu? Aku kehilangan segalanya juga karena omong kosong tentang kemerdekaan yang kalian dambakan. Kemerdekaan macam apa yang kalian maksud? Ha! Membuat orang-orang sepertiku kehilangan segalanya, keluarga, kasih sayang, rumah, bahkan kau pun meninggalkanku. Sekarang hiduplah saja dengan mimpi busuk tentang kemerdekaan itu!"

Usai kuucapkan kalimat itu lantas kuayunkan kakiku untuk meninggalkannya yang mematung di pijakannya. Tak kulihat sorot mata dan ekspresi wajahnya. Aku juga sama sekali tak berniat untuk menunggu tanggapannya terhadap kalimatku. Masa bodoh! Aku tidak peduli, kalaupun dia memang tulus bersahabat denganku, kenapa dia harus menuruti ayahnya?

***

Kuhabiskan segelas air putih dalam sekali tarikan napas. Panas tidak hanya menyerang tubuhku dan membuatnya gerah tetapi juga mendidihkan hati dan otakku. Uapnya bahkan sudah mengembun menjadi titik-titik keringat, membasahi keningku.

"Kau darimana Maudy?" Josh tiba-tiba muncul seperti hantu, mengejutkanku hingga nyaris kujatuhkan gelas porselin dari tanganku. Kuputar tubuhku seratus delapan puluh derajad. Awalnya mulutku terbuka untuk segera menjawab pertanyaan kekasihku itu, namun keadaan menuntutku untuk melongo. Ada yang berbeda dari Josh.

Ini untuk kali pertama kulihat dia tidak bergarbadin maupun berjaket. Hanya memakai celana putih polos dan kemeja putih lengan panjang bermotif. Rambut bagian depannya sedikit basah, dari tubuhnya kucium aroma sabun. Aku tahu benar bahwa dia baru saja mandi. Aku suka melihat penampilannya seperti ini.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" Sial! Dia menyadari keanehan raut wajahku.

"Tidak ada," kujawab pertanyaannya seraya meletakkan gelasku di atas meja, "aku hanya tidak pernah merasa kau sekurus ini," Mendengar jawabanku, sejurus Josh langsung menunduk, meneliti tubuhnya. Kusembunyikan seringai tawaku saat melihatnya.

"Berat badanku memang turun beberapa hari ini." Dia mengaku, "Hei, kau belum menjawab pertanyaanku. Kau darimana? Aku tidak melihatmu sejak tadi pagi," Akhirnya dia membawa arah pembicaraan ke topik semula.

"Jalan-jalan. Aku bosan dan gerah di rumah. Cuaca hari ini panas sekali,"

"Dengan Piet?" Nada bicaranya mulai menelisik tapi tak terlalu kupedulikan.

"Tidak. Aku pergi sendiri, sama sekali tidak bertemu. Sebenarnya tadi aku juga lewat posnya tapi tidak kulihat dia disana,"

"Kau berharap bisa bertemu?" Kali ini kutangkap ada nada tak enak didengar di kata-katanya.

"Seorang adik memang harus mengunjungi kakaknyakan?" Kuperhatikan raut wajahnya sembari tersenyum, berharap kutemukan perubahan ekspresi di wajahnya. Tapi, nyatanya dia memang pencemburu. Baru kuketahui fakta ini.

"Disini panas sekali, kita ke taman belakang saja. Bantu aku mengerjakan tugas bahasa Perancis, aku sangat payah di kelas itu,"

"Kau ambil bukumu, aku mau ambil garbadinku," Dia berbicara dengan bermalas-malasan.

"Bukuku sudah disana," kutahan langkahnya menggunakan kata-kata, "Aku juga lebih suka kau tanpa garbadin. Ayo!" kuraih lengannya dan menariknya menuju halaman belakang. Ke sebuah gazebo di bawah pohon mangga.

Kukerjakan tugasku sembari sesekali memperhatikan Josh yang sibuk membaca buku. Dia selalu serius kalau sudah berkutat dengan buku. Tiba-tiba memoriku mengingatkanku pada satu kejadian yang sempat terlupakan karena pertemuanku dengan Ratri tadi. Keingintahuan dan rasa penasaran mendorongku untuk bertanya kepada orang yang bersangkutan.

"Josh," Ragu kupanggil dia, sahutannya pun hanya sebuah deheman tak berarti,

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," Kali ini dia sejenak menghentikan aktivitasnya untuk melihatku dan menunjukkan senyuman indahnya kepadaku.

"Ehm, tadi aku melihat pembicaraanmu dengan Mavrouw, aku," Tak kulanjutkan kalimatku, terhenti karena terkejut mendengar gebrakan di atas meja, Josh meletakkan bukunya dengan kasar. Tatapan matanya sukses mengunci bibirku bahkan waktu pun terasa berhenti sesaat karenanya.

"Kau mendengarnya?" nada bicaranya bercampur amarah, rahangnya menegang berusaha menahan emosi yang membuncah supaya emosinya tidak terluapkan secara berlebih.

"Maafkan aku, tapi aku tidak sengaja," tenggorokkanku seperti tercekat ketika mengatakannya. Air muka Josh dan caranya menatapku membuatku menyesal telah membahas hal ini. Awalnya aku takut dia marah dan tidak mempercayaiku. Tapi, aku justru mendapati sinar matanya yang semula dipenuhi amarah perlahan berubah, tersirat kesedihan di matanya.

"Apa saja yang kau dengar?"

"Kenapa mamamu membencimu?" Tak kujawab pertanyaannya namun aku yakin pertanyaanku tadi cukup baginya untuk mengetahui sejauh mana kudengar percakapannya.

"Aku," Kuperhatikan dia yang mulai mencoba berbicara. Mengatakan hal yang sepertinya sangat sulit untuk dikatakan. Dia gantungkan satu kata itu, sejenak memejamkan mata dan menghirup napas panjang.

"Aku," dia membuka mata, memperhatikan sekeliling, memandangku yang tak mengalihkan perhatian sedikit pun darinya, "Ini bukan urusanmu," ungkapnya datar lalu beranjak dari duduknya. Meninggalkanku sendiri yang semakin tak mengerti dan dibuat bingung oleh fakta-fakta yang baru saja kudapatkan. Ada apa denganmu Josh?

Mungkin seharusnya aku tidak bertanya. Aku gadis dan kekasih terbodoh. Kenapa aku suka sekali ikut campur urusan orang lain? Semua berakibat buruk karena mulutku yang terbuka tanpa menunggu perintah otak yang sedang berpikir. Sekarang Josh menjadi pemurung dan menjauh dariku.

Dia menutup diri dan hanya mengeluarkan kalimat tak berarti ketika kami bertemu di waktu-waktu yang mengharuskan seperti makan malam dan sarapan. Sudah berapa lama aku mengenal Josh? Tapi tetap saja aku tak mampu memahaminya. Aku tahu dia orang yang tidak suka bercerita, seharusnya aku menunggu waktu yang tepat dan membuat suasana lebih cocok untuk berbagi. Aku baru saja melakukan hal terkonyol yang pernah ada. Menanyakan hal intim di hari yang sama dengan saat masalah itu menyeruak, ditambah lagi Josh baru saja kubuat memanas lantaran aku pergi tanpa memberitahunya. Kau benar-benar perusak hubungan terbaik, Maudy.

Aku tengah duduk di depan piano di ruang tengah, menghafalkan letak tuts-tuts dan nada yang terkandung disana ketika kudengar perdebatan antara Tuan Schoonhoven dan Mavrouw Alex yang baru saja tiba di rumah selepas menghadiri pesta dansa.

"Harus berapa kali kubilang jaga mulutmu ketika berbicara! Kau merusak semuanya, harga diri kita!" Suara geram Tuan Schoonhoven memenuhi ruangan ketika dia berbicara. Mavrouw Alex yang awalnya telah terpaut beberapa langkah di depan, sejurus berhenti. Membalikkan badan dan menatap suaminya, mereka berdiri berhadap-hadapan. Beradu emosi amarah lewat tatapan mata membara.

"Kapan kau mendengarkanku?" Nada bicara Tuan Schoonhoven menurun, dia menekan setiap katanya supaya tidak terlalu menggemuruh.

"Kau sudah tidak mencintaiku lagi, aku membencimu. Hanya karena anak itu, kau membentakku." suara Mavrouw bergetar.

"Dia anak kita,"

"Anak darimana? Ha!" seru Mavrouw histeris, aku benar-benar dibuat terkejut oleh reaksinya, "Kau tahu tidak ada darah kita disana! Sampai kapan kau sadar kalau kau menyiksaku dengan membawanya hari itu!"

"Menyiksa bagaimana? Kita bisa merasakan kehadiran seorang anak karenanya, jadi bisakah kau menganggapnya dan berhentilah menjelek-jelekkannya seperti tadi, di depan umum. Kau letakkan dimana hatimu? Ha!"

Membawanya? Anak kita? Merasakan kehadiran seorang anak? Pembicaraan ini masih membuatku tak mengerti dan tetap terpaku dalam kebingungan diriku sendiri. Anak yang mana? Hanya Josh anak di rumah ini.

"Aku tahu aku tidak bisa menjadi wanita sempurna bagimu Wessel," suara Mavrouw Alex melirih. Aku tahu dia menangis meskipun tak ada sinar yang cukup membantuku untuk melihat air mata itu berbulir di pipinya, Tuan Schoonhoven mengusap wajahnya beberapa kali.

"Tidak masalah kau mengangkat anak manapun, aku bisa menerimanya. Tapi kenapa kau harus mengubah sikapmu kepadaku? Kenapa kau selalu saja membelanya? Kenapa kau mengurangi kasih dan cintamu kepadaku hanya karena aku tidak bisa memiliki anak? Aku juga tidak pernah menginginkan hidup seperti ini. Kapan kau bisa paham? Kau tidak pernah menciumku, memelukku bahkan kau tidak pernah mengatakan bahwa kau mencintaiku sejak Josh datang di kehidupan kita. Kenapa kau tidak menceraikanku saja, kenapa kau harus menyiksaku seperti ini, kenapa Wessel?" Mavrouw Alex lunglai di lantai yang dingin, dia jatuh bersimpuh dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah. Menangis, isakkannya membuat hatiku miris. Josh anak angkat di keluarga ini.

Tuan Schoonhoven yang awalnya tertegun mendengar kata-kata istrinya itu, kini perlahan jongkok. Direngkuhnya wajah Mavrouw Alex yang tertunduk hingga pandangan mereka menyatu.

"Het spijt me," (Maafkan aku) lirih Tuan Schoonhoven penuh arti, "Je bent alles voor mij" (kau segalanya bagiku)

"Kau lebih mencintai anak tidak jelas itu!" raung Mavrouw Alex histeris, dia menampik telapak tangan Tuan Schoonhoven kasar lalu tangisnya yang awalnya hanya berupa isakan kini berubah menjadi erangan-erangan wujud betapa dia sudah tidak mampu lagi menahan setiap luka yang mungkin sudah menimbulkan nanah di hatinya. Dia terlihat sangat tersakiti. Sakit yang selalu tertutupi oleh keangkuhannya. Rupanya dia mencoba tegar selama ini.

Tak lama kudengar suara benda terjatuh dan pecah di lantai dari balik punggungku. Refleks aku menengok ke belakang, kudapati sekelebat bayangan lenyap di ujung lorong, dia Josh. Pertanyaannya adalah apakah Josh sudah mengetahui semua ini sebelumnya atau belum? Aku mengkhawatirkannya. Sejenak kualihkan pandanganku ke Tuan Schoonhoven yang mendekap Mavrouw Alex dalam pelukan hangatnya. Pria itu menatapku, dia tahu tentang Josh sepertinya.

"Kejar dia," aku mampu membaca gerakkan bibir Tuan Schoonhoven yang berbicara tanpa menimbulkan suara.

Langkahku terhenti di depan pintu kamar Josh yang terbuka setengah. Di dalam ruangan tanpa cahaya itu, aku mampu melihat bayangan Josh yang duduk meringkuk di sudut ranjangnya. Dibenamkannya wajahnya di kedua lututnya yang tertekuk. Kutarik napas panjang sebelum kuputuskan untuk melangkah masuk ke dalam ruangan itu.

"Josh," lirih kupanggil namanya. Sebenarnya aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan kepada Josh. Aku tidak cukup pandai untuk memperbaiki perasaan orang lain.

"Keluar," Ucap Josh dengan suara paraunya, dia mengangkat kepala tapi gelap membuatku tetap tak mampu untuk melihat wajahnya.

"Aku hanya,"

"Aku bilang keluar!" sentak Josh, dia nyaris membuatku melompat karena terkejut, "Kau sudah mendapat jawabannyakan? Apa itu semua masih belum cukup bagimu untuk tahu kenapa Mama membenciku?" Josh mendengus kesal, kata-katanya membuat hatiku sakit, "Namaku Josh Drew Payton! Mereka mengangkatku saat usiaku lima tahun, wanita yang kau lihat di pesta saat kau pertama bertemu denganku, dia Mommyku! apa kau puas? nu weggaan! (Sekarang pergilah!)" Josh memberondongku sampai akhirnya dia menunjuk pintu keluar, mengusirku.

Kemarin Josh menjauhiku karena pertanyaan dan rasa ingin tahuku yang terlampau menyentuh hal-hal pribadinya, sekarang keadaan bertambah parah setelah Josh menceritakan semuanya. Kenapa segala hal yang kulakukan berujung pada sebuah kesalahan? Josh benar-benar menyebalkan setelah hari dimana aku mengetahui kebenaran tentangnya. Tidak cukup hanya menjauh dan tidak berbicara denganku, dia bahkan jarang keluar dari kamarnya. Meskipun kami serumah, intensitas bertemu kami sudah seperti dua orang yang berbeda benua.

Keadaan rumah juga menjadi tidak menyenangkan. Terasa dingin dan kaku karena hubungan Tuan Schoonhoven dan Mavrouw Alex semakin renggang. Meskipun aku juga belum pernah melihat keromantisan mereka, tapi faktanya keadaan lebih tidak nyaman ketika aku mengetahui alasannya. Sikap Mavrouw kepadaku pun semakin tidak bersahabat, mungkin dia tidak menghendakiku mengetahui masalah keluarga yang tak bisa dia selesaikan sampai sekarang.

"Maudy," Tuan Schoonhoven mendadak mengejutkanku. Tanpa kusadari, kini dia telah duduk di sampingku, di lantai teras depan rumahnya. Segera kuubah posisi dudukku yang awalnya lurus menghadap jalan menjadi sedikit menyamping, menghadap Tuan Schoonhoven. Dalam beberapa waktu, Tuan Schoonhoven terdiam, aku pun begitu. Aku tahu dia hendak membicarakan sesuatu denganku karena itu aku memilih untuk tidak bersuara sampai dia memulainya sendiri.

"Apa kau memiliki masalah dengan Josh?" Akhirnya dia berbicara meskipun dia tetap tidak memandangku yang memperhatikannya dan justru mengarahkan pandangannya ke arah jalan, "Aku perhatikan ada yang aneh di antara kalian,"

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang untuk menjawab pertanyaan itu. Aku sendiri bingung kenapa Josh mendadak berubah. Sejauh ini alasan-alasan yang ada di benakku baru sebatas hasil menduga-duga sendiri.

"Saya tidak tahu," lirih aku menjawab, "Josh menjauhi saya sejak malam itu," Rasanya berat sekali untuk mengungkap kembali kejadian itu, apalagi dengan posisiku sebagai orang luar yang terlanjur mengetahui segalanya.

"Seharusnya kau tidak perlu terlibat dalam masalah ini. Awalnya kuharap dengan kehadiranmu Josh bisa melupakan bahwa Alexandra membencinya. Tapi ternyata semua justru seperti ini" Dia mengakhiri kalimatnya dengan menatapku, membuatku langsung menundukkan pandanganku. Aku tidak pernah nyaman melihat mata biru tajamnya.

"Apa kau mau serabi?" Tuan Schoonhoven mengubah topik pembicaraan dalam hitungan detik saja. Tanpa menunggu jawabanku setelah kutegakkan kepalaku, dia langsung berseru memanggil pria tua penjual serabi keliling yang kebetulan lewat di jalan depan rumah.

Aku paham sekali sekarang. Paham alasan kenapa Josh begitu menyayangi dan mengagumi Tuan Schoonhoven. Ayahnya ini sangat pandai menempatkan diri dalam berbagai suasana. Sikapnya sekarang padaku sungguh berbeda dengan saat dia menggertak para petani di pasar beberapa waktu yang lalu. Dia sekarang begitu lembut dan ramah kepadaku, bahkan dia juga berhasil membuatku tergelak karena lawakannya selama kami makan serabi bersama di serambi depan. Josh adalah anak yatim paling beruntung karena diangkat sebagai anak oleh sosok berhati emas layaknya Tuan Schoonhoven. Andai ayah kandungku seperti dia.

***

Kudekati Josh yang duduk termenung di pinggir kolam ikan. Dia biarkan ikan-ikan dalam kolam merengek-rengek, meneriakinya supaya dia segera melepaskan potongan roti di ujung jemarinya ke kolam. Garbadin tebal melekat di tubuhnya di siang yang lumayan panas ini. Josh menyadari kehadiranku, sejenak dia melirikku yang telah berdiri di dekatnya, kemudian dia bergeser tempat duduk beberapa inchi. Memberiku tempat untuk duduk.

"Ikan emasnya sudah lebih besar ya?" langsung saja kumulai percakapan dengan sebuah basa-basi yang tiba-tiba melintas di otakku. Dia tidak membalas percakapanku dan justru asyik melemparkan potongan-potongan roti ke kolam. Mungkin dia masih berpikir kata apa yang tepat untuk dia kembali berbicara kepadaku. Maka, kupilih diam saja dan turut memperhatikan ikan-ikan di kolam yang berebut roti di permukaan. Potongan-potongan roti yang berjatuhan satu per satu dari genggaman Josh mendadak tumpah semua. Keriuhan semakin menggila di kolam ikan.

"Maudy?" tatapan mata coklat keemasan Josh menajam dan mengejutkanku yang baru saja mencondongkan tubuh ke kolam untuk menyentuh ikan-ikan itu.

"Darimana kau dapatkan itu?"

"A, apa?" tergagap aku berkata-kata. Belum pernah kulihat dia berekspresi seperti itu , ditambah lagi aku tak memahami maksud pertanyaannya.

"Kalung itu. Aku berbicara tentang kalung yang kau gunakan,"

Kutundukkan kepalaku, kuperhatikan kalung yang melingkar di leherku dan liontinnya tergantung di depan dadaku. Kusentuh liontin koinnya yang terus diperhatikan Josh. Apa maksudnya berbicara seperti itu? Apa dia juga mengagumi serta ingin memilikinya seperti teman-teman sekelasku?

"Ibuku yang memberikannya, kenapa?"

"Ibumu?"

"Ya, dia memilikinya sejak kami masih tinggal di Rotterdam,"

"Kau di Rotterdam?" Josh menelengkan kepala. Tak heran kalau dia terkejut, aku memang belum pernah mengatakan siapa diriku kepadanya. Entahlah apa yang dia pikirkan selama mengenalku. Gadis mangunbrata tapi berpenampilan Belanda.

"Aku lahir disana kemudian kami pindah kesini. Apa kau ingin tahu lebih lanjut?"

"Ouh, tidak," Josh menggelengkan kepalanya. Aku tahu itu bukan penolakan karena dia tidak peduli padaku, melainkan karena dia takut aku bersedih karena harus menceritakan masa laluku. Sebenarnya itu bukan masalah bagiku kalau dia menghendakiku untuk bercerita lebih lanjut.

Untuk beberapa saat, hening itu kembali mendera suasana tempatku dan Josh bernaung. Aku memperhatikannya sementara Josh memandang hampa ikan-ikan kecil di permukaan kolam yamg menenang.

"Josh," dan akhirnya kata itulah yang meluncur dariku untuk mengusik keheningan. Dia hanya berdehem untuk memberitahuku bahwa dia mendengarku, "Apa kau masih marah padaku?"

"Marah?" Perlahan dia menatapku dengan keteduhan matanya, "Kenapa kau berpikir begitu?"

"Dua hari kau mendiamkanku, apa itu tidak cukup bagiku untuk berpikir seperti itu?"

"Aku sama sekali tidak marah. Aku hanya," sejenak dia terdiam seolah berpikir serta mengingat alasan apa yang membuatnya bersikap seperti itu kemarin-kemarin.

"Aku hanya butuh waktu untuk sendiri," Dia menunduk di akhir kalimat. Aku tahu bukan itu alasannya. Josh berbohong dan dia tidak tahu betapa payahnya dia dalam hal itu. Namun kubiarkan saja, hatiku sudah cukup bahagia. Setidaknya dia tidak mendiamkanku lagi.

***