webnovel

Kenaikan Jabatan

"Kenapa mendadak banget, Issabel?"

"Maaf, Pak. Soalnya saya lagi hamil, dan suami nggak ngebolehin kerja."

Edgar memijat kedua dahinya bergantian. Masih pagi, namun Issabel datang dengan surat pengunduran yang harus Edgar tandatangani.

"Terus yang bantu saya nanti, siapa?"

Issabel mengusap tengkuknya tidak enak. Dia sudah bersama Dewantara's Company cukup lama, dan cukup berat rasanya jika harus meninggalkan tempat itu.

Namun, ia juga tidak mempunyai pilihan lain. Issabel harus tetap resign, karena permintaan sang suami. Apalagi sekarang ia tengah mengandung.

"Pak Edgar bisa minta bantuan karyawan lain aja dulu. Atau rekrut karyawan baru."

"Aassh .... " Edgar mendesah lelah. "Ya sudah. Biar nanti saya cari pengganti kamu."

Senyum lebar di bibir Issabel membuat Edgar sedikit mencebik. Bukannya dia melarang wanita untuk mengajukan resign, apalagi sedang mengandung. Namun pekerjaan kantor memang sedang banyak sekali. Dan Edgar tentu saja memerlukan bantuan sekretarisnya.

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, silakan tandatangani ini."

Edgar mengambil bolpoin di dalam wadah dan membaca surat pengunduran diri di depannya. "Saya baru tau kalau kamu sedang hamil."

"Karena Pak Edgar baru masuk. Saya udah nikah tujuh bulan, Pak. Dan sekarang usia kandungan saya sudah empat bulan."

Kepala Edgar mengangguk-angguk mengerti dan menyerahkan surat yang telah ia tandatangani. "Semoga bayi kamu sehat, ya, dan persalinannya lancar. Ini juga ada sedikit tambahan bonus buat kamu."

"Woah .... " Issabel melebarkan mata sumringah, menatap amplop yang Edgar sodorkan. "Pesangon dari perusahaan juga udah cukup, Pak."

"Nggak apa-apa. Ini hadiah dari saya buat bayi kamu."

"Pak Edgar, terima kasih banyak. Saya terima hadiahnya, ya. Saya permisi."

Edgar membuka tangan dan mempersilakan Issabel yang telah menghilang di balik pintu. Pria itu menghela napas, lalu menyandarkan tubuh pada punggung kursi.

"Siapa yang bisa gantiin Issabel, ya? Kalau nggak ada sekretaris, saya kewalahan banget."

"Edgar?"

Kedatangan Dewantara membuat Edgar langsung berdiri dan menunduk hormat. "Selamat siang, Pak," balasnya menyapa.

"Nggak usah terlalu formal. Silakan duduk." Dewantara memperhatikan meja kerja dan ruangan Edgar yang sudah jauh lebih rapi dari karyawannya yang dulu. Pria itu tersenyum, bisa menilai bahwa Edgar adalah atasan yang bertanggung jawab dan memiliki kepribadian yang rapi.

"Gimana? Kamu betah kerja di sini?"

"Betah, Om. Semua karyawan di sini juga baik. Tapi .... "

Dahi Dewantara berkerut dan langsung menatap Edgar. "Tapi, apa? Kamu ada masalah?"

"Issabel baru saja mengundurkan diri, Om. Dan sekarang saya bingung harus cari penggantinya ke mana."

"Issabel? Kenapa?"

"Dia sedang hamil, dan suaminya melarang dia untuk bekerja."

Dewantara mengangguk mengerti. Dia juga tahu, bahwa Issabel sudah menikah beberapa bulan yang lalu.

"Kamu mau karyawan lama yang naik jabatan, atau merekrut karyawan baru?"

"Menurut saya ... lebih baik karyawan lama saja, Pak. Yang jelas mereka lebih tahu, daripada karyawan baru."

"Saya setuju. Tapi, apa kamu tahu, siapa yang pantas untuk menjadi sekretaris?"

Edgar terdiam sejenak. Sebenarnya ia tidak mengenal banyak karyawan di sini. Selain ....

"Kalau Laura, bagaimana, Pak?"

***

"Lau, mau makan siang pake apa? Kayaknya gue pengen ayam geprek, deh. Yang level sepuluh. Kepala gue pusing banget."

"Boleh. Tapi elo yang ambil ke bawah, ya. Gue harus nyelesain kerjaan yang penting banget."

Jasmin berdecak pelan dan berjalan ke samping, berdiri di dekat Laura, sembari menatap layar komputer. "Surat izin edar? Emang proposal yang lo ajuin udah di acc?"

"Belum, sih. Ini persiapan aja. Rencananya hari ini gue mau nemuin Pak Edgar, kalau proposalnya udah selesai."

Tok-Tok-Tok

Dua wanita itu menoleh ke arah pintu. Jasmin meneguk ludah, tatkala melihat Dewantara dan Edgar mendatangi ruangan Laura.

"Selamat siang, Pak," sapa Laura, setelah membuka pintu. "Silakan masuk."

"Nggak usah, Laura. Kami ke sini mau meminta kamu buat ikut ke ruangan Pak Edgar."

Laura mengerutkan dahi bingung, sesekali melirik Jasmin yang masih berdiri di dekat meja kerjanya.

"Ta-tapi kenapa ya, Pak? Apa saya membuat kesalahan?"

"Oh, enggak. Ada yang ingin kami bicarakan dengan kamu. Kami tunggu di ruangan Pak Edgar, permisi."

Seumur hidup, baru kali ini ada seorang Presiden dan Direktur Utama yang menyambangi karyawan, hanya untuk memintanya datang. Bukankah perusahaan mereka mempekerjakan OB?

"Lau, lo punya ilmu pelet apa, sih?!" Jasmin memukul pelan bahu Laura. "Kok Pak Dewa sama Pak Edgar sampai nyamperin lo ke sini? Padahal mereka bisa nyuruh karyawan lain."

"Gue juga nggak tahu, Jas. Kira-kira ada apa, ya? Gue jadi takut gini, deh." Laura tidak berbohong. Ia memegangi dada kanannya yang berdebar tidak normal. Jika diingat-ingat, Laura sama sekali tidak membuat kesalahan apa pun. Lantas, apa yang akan mereka lakukan kepadanya?

"Ya udah, Jas, gue ke ruangan Pak Edgar dulu." Wanita itu berjalan keluar dengan kaki yang terasa begitu berat. Banyak pasang mata yang memperhatikan Laura, dan tidak sedikit yang berbisik-bisik di hadapannya langsung.

Laura menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahaan setelah tiba di depan pintu ruangan Edgar.

"Lo harus tenang, Laura. Selama lo nggak merasa bersalah, lo nggak boleh takut." Ujung jari di kepalan tangan Laura mengetuk pintu kaca di depannya sangat pelan.

"Masuk!"

Suara Edgar yang tegas terdengar begitu jelas. Laura perlahan masuk, menatap dua pemimpin perusahaan yang tengah berbicara di sofa ruangan Edgar.

"Laura, silakan duduk."

Laura melangkah lamban, kemudian mendudukkan bokongnya di sofa kecil yang berhadapan langsung dengan Dewantara dan Edgar.

"Begini, Laura, kamu tahu kalau Issabel baru saja mengundurkan diri?"

"Apa, Pak? Mbak Issabel mengundurkan diri?"

Dewantara mengangguk. "Dia hamil dan harus istirahat diri di rumah. Jadi, maksud saya memanggil kamu ke sini, untuk memberi sebuah penawaran. Bagaimana kalau kamu yang menggantikan Issabel? Menjadi Sekretaris pribadi Pak Edgar."

Apa ini? Apa ini sebuah kejutan atau benar-benar musibah? Mengapa hal yang Laura takutkan justru terjadi?

"Ma-maksud Pak Dewa apa, ya? Sa-saya jadi sekretaris Pak Edgar?" Laura masih terbata. Suaranya seakan hilang dan tercekat di ujung tengorokan.

"Benar, Laura. Saya nggak tahu harus minta tolong siapa lagi. Setahu saya, hanya kamu karyawan yang teladan di perusahaan ini. Kamu juga rapi dan hafal dengan susunan berkas yang sudah disimpan selama berbulan-bulan."

Huh ... Laura hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia menyesal, karena telah membantu Edgar sebelumnya.

Laura bukannya tidak ingin bersyukur, namun menjadi Sekretaris bukanlah hal yang mudah. Apalagi dia sudah merasa nyaman dengan pekerjaannya yang sekarang.

"Saya akan menaikkan gaji kamu, Laura."

Wanita itu mengangkat wajah dan mengangguk pasrah. "Ya sudah, Pak, saya bersedia," ucapnya. "Tapi, bagaimana dengan anak-anak di tim saya? Apa mereka akan terlantar?"

"Kamu tenang aja, Laura. Anak-anak di bawah tim kamu akan kami bagikan ke tim dua dan tiga."