webnovel

Interview Pribadi

"Jadi, Pak Edgar minta lo buat gantiin Mbak Issabel?"

Laura mengangguk, sembari menikmati camilan yang Jasmin suguhkan. Saat ini ia sedang berada di apartemen teman baiknya. Laura malas untuk pulang ke tempatnya sendiri, ia hanya ingin bercerita dengan Jasmin sampai malam nanti.

"Sumpah, ya, yang gue pikirin cuma anak-anak. Mereka itu nggak akur sama tim lain. Gimana kalau mereka ditindas? Apalagi Zee sama Agatha orangnya emosian. Takutnya satu tim kerjaannya ribut mulu entar."

Jasmin tertawa pelan dan menyalakan LED TV di hadapan mereka. "Lo mau nonton horor?" tanyanya.

"Boleh. Mumpung gue lagi pengen teriak."

"Oke." Setelah menentukan film, Jasmin mengambil minuman kaleng di atas meja. "Kalau mereka nggak bisa kontrol emosi, biar Pak Edgar yang turun tangan langsung deh, Lau. Menurut gue bagus, sih, supaya nggak ada lagi persaingan di perusahaan mereka."

"Bener juga, ya. Udah saatnya tim pemasaran kompak. Kalau gitu, besok gue ngomong sama anak-anak, supaya mereka bisa nerima keadaan."

Jasmin tertawa pelan dan mendorong bahu Laura. "Udah kayak apa aja deh, lo. Mending sekarang kita nonton, supaya otak lo yang hampir meledak itu bisa waras lagi."

***

Jika orang lain mengharapkan kenaikan jabatan, Laura justru sebaliknya. Wanita itu tidak ingin bekerja terlalu lelah. Dia hanya ingin menikmati hidupnya lebih leluasa, tanpa beban pikiran yang hanya akan mengganggu kesehatan mentalnya.

Tapi, mengapa takdir menyeretnya di sini sekarang? Di ruangan Edgar yang sangat luas dan nyaman. Laura masih belum terbiasa. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu sesekali melirik Edgar yang juga tengah menyibukkan diri dengan layar komputer di depannya.

Laura memang tidak sendiri, namun tetap saja ia kesepian. Edgar tidak bersuara sejak tadi, yang terdengar hanya suara keyboard dan sesekali helaan napas berat.

"Pak?" Laura menyerah. Dia mencoba memecah keheningan yang membuat suasana menjadi tidak nyaman.

"Apa? Kamu mau ke toilet?"

"Nggak, bukan itu. Tapi saya mau tanya, kok Bapak tiba-tiba jadi Direktur, sih? Awalnya Bapak kerja di mana?" Entah pertanyaan itu sopan atau tidak. Namun, melihat hubungannya dengan Edgar yang semakin dekat, Laura merasa kecanggungan di antara mereka ikut terkikis. Juga, Edgar tidak pernah membuang wajah atau bersikap angkuh padanya.

Benar saja. Setelah mendengar pertanyaan Laura, kedua tangan Edgar meninggalkan keyboard. Pria itu menyandarkan punggung, sembari mengetukkan jari di pinggiran kursi.

"Gimana, ya? Kalau saya kasih tahu kamu, siapa saya sebenarnya, nanti kamu malah mikir yang negatif tentang saya."

Kening Laura berkerut dengan tanda tanya besar di dalam kepalanya. "Maksud Bapak? Kenapa saya harus berpikiran negatif?"

Edgar beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Laura. Pria itu duduk di hadapan sang sekretaris, dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri.

"Jadi, saya ini adalah putra dari Evan Sebastian. Teman baik Pak Dewa."

Mulut Laura sedikit menganga, dengan bola mata terbuka lebar.

"Tapi kamu jangan salah paham," sanggah Edgar. "Saya masuk ke perusahaan ini bukan semata-mata ada orang dalam. Dulu saya juga pernah memimpin perusahaan keluarga. Tapi ayah saya justru meminta saya untuk bekerja di sini dan menjadi seperti yang kamu liat sekarang."

"Sebentar, kalau Pak Edgar punya perusahaan, kenapa nggak ngelanjutin bisnis keluarga aja?"

Kedua bahu Edgar terangkat bersamaan. "Saya juga nggak tahu, Laura. Ayah saya cuma bilang, kalau perusahaan kami sedang terjadi beberapa masalah."

"Ah, begitu ... sekarang saya mengerti, Pak." Laura tersenyum tanpa beban, seolah apa yang mengganjal di hatinya hilang begitu saja.

"Kamu sendiri, udah lama kerja di sini?"

"Dari awal perusahaan ini didirkan. Berarti sekitar ... dua tahun? Saya nggak ingat, Pak." Meskipun Laura terbilang karyawan yang cukup cerdas, namun ingatannya juga sangat buruk. Beruntung saja ia berteman dengan Jasmin, manusia ajaib yang tidak pernah lupa dengan hal sekecil apa pun.

"Woah .., pantas aja Pak Dewa selalu memuji kamu. Ternyata selain kinerja kamu yang bagus, tapi kamu juga karyawan lama di sini."

Laura tersipu mendengarnya. Meski tidak sampai membuat wajah memerah, namun dia menganggap ucapan Edgar adalah sebuah pujian, yang membuat jantungnya bergetar.

"Bapak mau minum kopi? Kebetulan saya haus, mau ke pantri bikin minuman."

"Boleh, deh. Kopi susu aja, ya."

"Siap, Bos!" Laura meninggalkan ruangan Edgar dengan penampilan yang sedikit berbeda dari biasanya.

Tidak sedikit karyawan yang memperhatikannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dari mulai menatap sinis hingga menatap penuh iri.

"Bu Laura!" Zee dan Agatha menghampiri mantan atasan mereka dengan wajah sendu. Kedua wanita itu memegang tangan Laura, menutup jalan sang Sekretaris.

"Lho, kalian kenapa? Kok keliatan sedih?"

"Bu Laura kenapa pindah jadi Sekretaris, sih?" Agatha merengek.

"Iya, Bu. Kalau Ibu pindah ke ruangan Pak Edgar, terus yang ngasih kita kerjaan, siapa?" sambung Zee.

"Lho, bukannya kalian udah bergabung sama tim dua, ya? Kalian bisa kerja sama Pak Arya, Zee, Agatha."

Kedua wanita itu menggeleng berulang kali. "Kami nggak mau, Bu. Kami lebih nyaman sama Ibu."

"Ya sudah, kalau nggak mau sama saya, kalian keluar aja dari perusahaan ini."

Kemunculan Arya membuat Zee dan Agatha menatapnya dengan sini.

"Pak Arya, tolong jangan membeda-bedakan karyawan di sini. Bapak boleh benci sama saya, tapi jangan sama mereka. Bapak lupa, kalau Pak Edgar sudah memindahkan Zee dan Agatha?"

"Saya nggak lupa, Sekretaris Laura."

Laura memalingkan wajah. Tak kuasa menahan kesal, tatkala melihat raut wajah Arya yang terlihat menyindir.

"Saya cuma ngasih saran. Soalnya mereka sangat sulit diatur. Tolong kasih tahu dulu, lah. Kita ini kerja tim, bukan individu."

"Zee, Agatha, kalian nggak mau ikuti peraturan Pak Arya?"

Agatha dan Zee menunduk lesu, tidak berani menatap Laura.

"Lihat. Anak-anak ini memang susah diatur, Bu Laura."

"Oke. Kalau gitu saya minta waktu, untuk bicara dengan mereka." Laura menatap Arya, lalu merangkul kedua bahu anak-anaknya. "Ayo, kita bicara di pantri. Sekalian saya mau bikin minuman buat Pak Edgar."

Laura adalah sosok pemimpin sekaligus kakak yang baik bagi Zee dan Agatha. Sifatnya yang tegas, namun pengertian akan membuat semua orang nyaman bekerja dengan Laura.

"Kalian kenapa, hm? Nggak suka sama Pak Arya?" Laura bertanya, namun fokusnya hanya pada gelas dan bubuk kopi.

"Iya, Bu. Pak Arya nyebelin, nggak kayak Bu Laura. Dia hobinya ngomel-ngomel. Iya kan, Tha?"

"Bener, Bu. Bukan cuma kita yang nggak betah sama Pak Arya, tapi anak-anaknya juga pada ngeluh."

Laura tersenyum dan beralih pada sirup, serta es batu yang masukkan ke dalam gelas. "Kalian nggak boleh gitu. Yang harus kalian inget, Pak Arya adalah atasan kalian mulai saat ini. Jadi ... apa pun yang beliau suruh, kalian harus nurut."

"Oh ... jadi kamu lagi gosip? Pantes aja kopi saya nggak dateng-dateng."

"P-Pak Edgar?"