webnovel

Hari itu

Malam itu, terdengar suara langkah kaki memecah keheningan suatu koridor apartemen. Seorang gadis berjalan menuju sebuah pintu sambil menenteng kantong plastik berisi makanan.

Tibalah ia di depan pintu tujuannya. Sambil tersenyum, dia mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu. Namun kemudian dia terhenti tatkala mendengar suara dari dalam.

"Ah~ pelan-pelan, sayang."

Seketika, wanita itu membelakkan matanya. Dadanya berdebar kencang. Perlahan dia mendongakkan kepalanya, menatap tajam ke arah pintu sambil menerka-nerka di dalam hatinya.

"Pasti aku hanya salah dengar. L-lagian, wajar jika seorang laki-laki menonton video seperti itu," batinnya.

Pikirannya sedikit tenang. Tangan yang sempat dia turunkan, kembali dia angkat. Kini dipegangnya knop pintu. Lagi-lagi dia tak jadi membuka pintu.

Desahan suara perempuan yang cukup keras kembali terdengar. Wanita di depan pintu itu merasa penasaran, dia pun mendekatkan telinganya ke pintu untuk mendengar lebih jelas.

"Bagaimana, sayang. Apa kau puas?" tanya seorang wanita di dalam sana.

Awalnya terdengar suara napas berat yang memburu. "Tentu saja, sayang. Aku sangat puas," balas si pria.

Si wanita di luar pintu kembali membelakkan matanya. Bagaimana mungkin, itu adalah suara kekasihnya. Tangannya mencengkram erat knop pintu, namun tak berani untuk menariknya.

"Benarkah? Kalau begitu siapa yang terbaik? Aku ... atau Lili?" tanya wanita di dalam.

"Tentu saja, kau jauh lebih baik. Kau tahu sendiri, Lili sangat munafik. Dia bahkan enggan disentuhku," balas pria itu. Kemudian terdengar keduanya tertawa, hal itu membuat Lili geram.

Dia akhirnya memberanikan untuk membuka pintu. Meski perlahan, dia juga memberanikan diri untuk melihat apa yang terjadi di dalam.

Betapa terkejutnya dia mendapati kekasihnya terbaring di atas ranjang bersama seorang wanita tanpa sehelai pakaian. Mereka berdua pun sama terkejutnya melihat adanya Lili di sana.

"Li-lili ...." Si pria terbengong.

Sementara Lili berdiri dengan rasa kecewanya. Dia menahan amarahnya. Tangan yang gemetar berusaha dia sembunyikan, serta air mata berusaha dia tahan.

"Dyan, apa maksudnya ini?" tanyanya pada pria itu.

Tergugup Dyan turun dari ranjang. "L-lili, kau salah paham. Dengarkan penjelasanku dulu," ucapnya.

Wanita yang terbaring di samping Dyan mulai beranjak menunjukkan wajahnya. Hal itu membuat Lili semakin terkejut. Siapa sangka, pemeran wanita di sana adalah sahabat Lili sendiri, Hera.

"Lili," ucap Hera dengan nada lirih pelan. Suaranya seperti sedang menyesali sesuatu, begitu juga dengan tatapan meminta maafnya.

Menetes air mata Lili. Betapa kecewanya dia pada dua orang di hadapannya. Dia lantas melempar kantong plastik ke lantai, lalu membalikkan tubuhnya untuk pergi. Namun Dyan menahannya.

"Tunggu! Lili, aku ... aku minta maaf, aku khilaf. Maafkan aku," pintanya. Ia selesai memakai pakaian bawahnya, kemudian menghampiri Lili.

Tanpa sepatah kata pun Lili kembali melangkahkan kakinya. Namun lagi-lagi Dyan menahannya dengan mencekal tangannya.

"Lepaskan!" ucap Lili pelan.

Dyan menggelengkan kepalanya. "Aku menyesal, ini ... dia yang menggodaku!" tuduhnya sambil menunjuk Hera.

Hera tentu saja terkejut. "Apa yang kau katakan!" tampiknya. Dyan mengedipkan matanya sambil mengisyaratkan sesuatu, yang kemudian membuatnya diam menerima tuduhannya.

"Lili, dia yang---"

"Sudah cukup sandiwaranya, Dyan. Apa kalian tahu, betapa menjijikkannya kalian saat ini?" cecar Lili. Penuturannya itu membuat Dyan menggertakkan giginya.

Lili menepis tangan Dyan yang sedari tadi memeganginya. Ia tak mengatakan apapun lagi kemudian berniat pergi. Namun tiba-tiba, Dyan menarik tas Lili dengan sangat kasar.

"Apa yang kau lakukan!" berang Lili.

"Sebelumnya kau sudah berjanji akan membantuku melunasi uang kuliah, kan. Lili, kau jangan ingkar janji!" ucap Dyan dengan segala ketidaktahumaluannya.

"Kembalikan!" pinta Lili.

Dyan menyembunyikannya di belakang tubuhnya sambil berkata, "tidak akan!"

Lili semakin geram dengan perilaku Dyan. Baru dia sadari, mungkin Dyan mendekatinya hanya karena ingin memanfaatkannya saja. Dia berusaha merebut tasnya kembali, namun Dyan masih menyembunyikannya.

Di dalam tas itu memang ada sejumlah uang. Uang yang tadinya ingin Lili berikan untuk membantu Dyan membayar uang kuliah, seperti yang dikatakannya tadi. Namun melihat perlakuannya, Lili mengurungkan niatnya.

Hera perlahan beranjak. Sambil memegangi selimut yang membalut tubuhnya, dia berdiri di samping Dyan dan memeluknya mesra. Dyan sama sekali tak melakukan penolakan apapun.

Lili menatap sahabatnya, Hera. Begitu teganya dia melakukan penghianatan itu padanya. "Penghinaan ini, aku tidak akan melupakannya," batin Lili sambil mengepalkan tangan.

Hera membalas tatapan Lili dengan wajah datar, raut wajah tak bersalah yang ditunjukkannya benar-benar memuakkan. Dia merasa puas dengan apa yang terjadi, kekecewaan Lili memberikan kepuasan di hati Hera.

"Lili, tidak seperti diriku, kau hidup bahagia bersama orang tuamu. Memiliki kekasih seperti Dyan dan dikelilingi orang-orang. Aku iri! Aku hanya mengambil satu orang darimu, lalu kau membenciku?" batin Hera.

"Tahukah kalian ... seberapa menjijikkannya kalian saat ini?" tanya Lili. Dia mendengus kesal, sampai akhirnya membalikkan tubuhnya berniat untuk pergi.

Sebelum itu, dia menolehkan kepalanya lalu berkata, "kelak, jangan muncul di hadapanku lagi---"

Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, sebuah stik baseball menghantam kepalanya sangat keras sampai membuatnya jatuh tergeletak.

"Bodoh! Apa yang kau lakukan?" hardik Dyan.

"A-aku tidak sengaja!" tampik Hera. Jelas-jelas, dia melakukannya dengan sengaja tadi.

Dia menatap naas pada Lili di hadapannya. "Maafkan aku. Namun orang sepertimu, sebaiknya pergi dari dunia ini," batin Hera.

Dyan berjongkok di hadapan Lili, lalu membalikkan tubuhnya. Darah mengalir dari kepala bagian belakangnya. Dyan kemudian memeriksa denyut nadi Lili.

"Masih hidup, kita harus membawanya ke rumah sakit," usul Dyan.

"Tidak!" Hera melakukan penolakan. "Jika dia selamat, dia akan melaporkanku ke penjara. Bukan hanya aku, tapi kau juga akan dipenjara!" lanjutnya. Dia ketakutan dengan apa yang sudah dilakukannya.

Penuturan Hera menimbulkan keraguan di hati Dyan. "Tapi, bagaimana jika dia mati di sini. Lambat laun pasti akan ketahuan, dan kita akan dipenjara," ucapnya.

Hera terdiam sambil menggigit jarinya. Sebuah ide kemudian muncul di kepalanya. "Kita ... kita buang saja mayatnya ke sungai," usulnya.

Dyan terdiam, tanpa pikir panjang dia menyetujui usul Hera. Malam itu, Lili yang dalam keadaan sekarat dibawanya ke sebuah jembatan kota. Saat itu, jika mereka memiliki hati, Lili bisa saja diselamatkan. Namun ego membawanya melakukan perbuatan itu.

Tubuh Lili dilempar dari atas jembatan. Di ambang kesadarannya yang mulai menurun, Lili membuka matanya. "Kalian ... tidak akan aku maafkan!"

***

Di sebuah Padang yang sangat luas, beralaskan mayat-mayat di sepanjang mata memandang. Dari sebuah bukit, terdengar suara teriakan kemenangan.

"Hidup Yang Mulia Kaisar! Hidup Yang Mulia Kaisar!"

Satu dari ribuan banyaknya orang di sana, berdiri di atas setumpuk mayat sambil mengacungkan pedangnya ke langit. Pria tampan nan gagah itu menurunkan pedangnya, lalu mengangkat tangan sampai membuat riuh seruan kemenangan itu jadi hening seketika.

Tak lama, datang seseorang sambil menunggangi kuda. Dia tergesa-gesa berlutut di hadapan pria itu dengan raut wajah duka.

"Yang Mulia, Panglima Cheng dari pasukan kiri ... gugur di medan perang" ucapnya.

Mendengar hal itu, pria itu lantas membalikkan tubuhnya. "Kembali ke Xinxian!" perintahnya.

Namun, baru saja hendak melangkahkan kaki, sebuah cahaya muncul di atas langit. Fenomena itu membuat semua orang terkejut. "Lindungi Kaisar!"

Kaisar menengadah sambil mengangkat tangan untuk melindungi penglihatannya dari cahaya itu. Samar-samar, dia melihat sesuatu muncul dari cahaya itu. Entah apa.

Hingga tanpa sadar, dia menengadahkan kedua tangannya seperti menunggu sesuatu turun. Dan benar saja, tiba-tiba sesuatu makhluk mendarat di tangannya. Matanya saling bertemu dan keduanya tertegun tak bisa berkata apa-apa.

"Siapa kau?"