webnovel

Melarikan diri

Kaisar menengadahkan tangannya tinggi-tinggi. Ditunggunya sesuatu itu turun dengan tatapan serius tak berkedip sekalipun. Apa yang ditunggunya kemudian mendarat tepat di kedua tangannya, seorang gadis yang sangat cantik.

Pandangan mereka saling bertemu. Kaisar dibuat tertegun, lalu dia bertanya, "siapa kau?" pada gadis itu.

Alih-alih menjawab, tatapan gadis itu menjadi sayu sampai akhirnya matanya terpejam.

"Yang Mulia! Hati-hati!" teriak beberapa orang dengan raut wajah waspada.

Kaisar tak menghiraukannya. Dia membalikkan tubuhnya dan kembali melanjutkan langkah kaki yang sempat tertunda, sambil menggendong gadis itu.

Tiba-tiba, panglima Cheng menghadang. "Yang Mulia, kemungkinan besar, gadis itu adalah penyihir yang dikirim oleh musuh untuk membunuh Anda. Mohon Yang Mulia membunuhnya," katanya.

Sekali lagi Kaisar menatap gadis lemah itu. "Maksudmu, makhluk lemah ini membunuhku?" tanya Kaisar.

"Benar, Yang Mulia. Hamba dengar, negara Shui penganut ilmu sihir. Terlebih, gadis itu datang entah dari mana. Mohon Yang Mulia mempertimbangkan usul hamba!" pintanya.

Kaisar menatap wajah gadis itu untuk yang kesekian kalinya. Sepasang mata yang terpejam itu seketika menyipit, seperti dia sedang merasakan suatu kesakitan.

Kemudian, usul dari panglima Cheng ditolak mentah-mentah oleh Kaisar. Dia mengira, gadis itu merupakan hadiah kemenangannya pada perang kali ini. "Bintang dari langit," batin Kaisar lalu melanjutkan langkah kakinya.

Semua orang menjadi khawatir. Beberapa dari mereka mulai bersuara, meyakinkan Kaisar untuk membunuh gadis itu. Namun, Kaisar tetap teguh pada pilihannya.

Dia menaiki kuda dengan gadis itu di pelukannya. "Aku, Kaisar Zhou Jin! Tak ada satu makhluk pun yang bisa menyakitiku! Kembali ke Xinxian!" titahnya.

Semua orang langsung menunggangi kuda mereka masing-masing, lalu mengikuti Kaisar pergi.

Malam tiba. Di tengah hutan puluhan tenda di pasang untuk tempat beristirahatnya Kaisar dan yang lainnya.

Di suatu tenda, di atas ranjang terbaring gadis itu. Kedua kelopak matanya bergerak-gerak, begitu juga dengan beberapa jemari tangannya. Tak lama dia membuka mata. Samar-samar, terlihat langit-langit.

Dalam kebingungan, dia menyapu pandangannya ke setiap sudut tempat asing itu. "Dimana ini?" ucapnya lirih.

Dia kemudian bangkit, duduk dengan satu tangan menopang tubuhnya. Sekali lagi pandangannya berkeliling di setiap sudut. Lalu teringat, apa yang dilihatnya sebelum ia pingsan.

"Siapa pria itu?" batinnya menerka-nerka.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar tenda. Mereka saling berbisik dengan suara pelan, namun dapat didengar wanita itu. "Benarkah? Yang Mulia tidak membunuh penyihir itu?"

"Benar, aku dengar penyihir itu ada di dalam tenda ini," balas lainnya.

"Mengapa Yang Mulia ceroboh sekali! Bagaimana kalau penyihir itu membunuhnya!"

Terhening.

"Hey, bagaimana kalau ... kita bunuh saja penyihir wanita itu," salah satu orang mengutarakan usulnya. Membuat wanita yang mendengarnya ketakutan.

Hampir seluruh tubuhnya gemetaran. Dia tahu betul, wanita yang tengah dibicarakan itu adalah dirinya. Dia kemudian kembali berbaring, lalu memejamkan mata dan berpura-pura tidur.

"Ssssttt, apa yang kau katakan! Apa kau ingin Yang Mulia membunuh seluruh keturunanmu?" timpal lainnya. Setelah itu, tak terdengar apapun lagi.

Perlahan wanita itu memiringkan badannya. Diantara panik dan ketakutan, dia berpikir cepat untuk segera menemukan jalan keluar. "Pikirkan! Pikirkan, Lili! Dimana ini! Dimana!" batinnya.

"Hah?" Lili membelakkan matanya. Dia mengingat kejadian itu. Jelas-jelas, kejadian saat dirinya dibunuh oleh Dyan dan Hera. Namun, mengapa dia bisa berada di sana?

Lili mengangkat tangannya. Sekumpulan daging itu ditatap tajam olehnya sambil digerakkan, dibolak-balik. Lalu, disentuhnya wajahnya. "Aku ... masih hidup," batinnya.

Dia menangis haru. Hanya sebentar, selanjutnya dia kembali bangkit dan duduk. "Aku ... harus pergi dari sini," ucapnya sambil menatap ke arah pintu tenda. Gadis berambut panjang itu menurunkan kaki sambil menyeka air matanya.

"Namun, bagaimana caranya?" Hatinya ragu, mengingat, adanya orang yang berjaga di depan tenda tempatnya berdiri.

Lili terdiam, memikirkan cara untuk pergi dari tempat itu tanpa diketahui siapapun. Cukup lama berpikir, dia pun menemukan sebuah ide.

Dia berjongkok dan mencari-cari sesuatu, kemudian didapatinya sebuah balok kayu dari bawah ranjang tidur. Diletakkannya balok kayu itu di atas ranjang lalu Lili berbaring di sampingnya.

Ia menoleh ke sebuah meja kayu kecil, di atasnya terdapat beberapa barang yang terbuat dari logam dan lilin penerang. Lili mengulurkan tangannya, lalu menjatuhkan meja dan barang-barang di atasnya.

Segera, Lili kembali ke posisinya lalu menutup rapat matanya.

"Apa kau mendengarnya?" tanya seseorang di luar tenda.

"Sepertinya dari dalam tenda," imbuh yang lainnya.

"Masuk dan periksalah, aku akan berjaga di sini." Penjaga satunya menganggukkan kepala. Dari bayangan hitam, terlihat pria itu membalikkan tubuhnya. Perlahan dia membuka tenda dan masuk.

Dia berjalan sangat pelan, sambil melihat-lihat. Baru beberapa langkah, dia menghentikan langkah kakinya tatkala melihat wanita yang berbaring di atas tempat tidur.

"D-diakah penyihir? Cantik sekali." Dia tertegun dengan kecantikan Lili. Tak lama kesadarannya kembali, dilihatnya meja dengan barang-barang berserakan di tanah. Dia lekas menghampiri untuk membereskannya.

Penjaga berjongkok. Meja kecil itu di tata kembali, lalu benda-benda berserakan dia pungut satu persatu, dan meletakkannya di atas meja.

Tanpa sepengetahuannya, Lili membuka matanya. Dia memutar bola matanya melirik si penjaga itu. Sekejap kemudian dia sudah mengangkat tangan yang mana dipegangnya balok kayu itu. Kemudian ...

Bugh!

Dihantamkan ke kepala bagian belakang penjaga itu. Tidak terlalu keras, namun berhasil membuat penjaga itu tak sadarkan diri. "Maafkan aku, tolong jangan mati," ucap Lili merasa bersalah.

Dia bergegas turun. Satu persatu pakaian penjaga itu dilucutinya, lalu dipakai olehnya. "Hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa pergi dari tempat ini. Siapapun Anda, tolong maafkan aku," batin Lili.

Beberapa saat kemudian, dia telah memakai pakaian penjaga itu dan berpenampilan tak jauh sepertinya. Sebelum pergi, dia menyeret tubuh besar itu dan menyembunyikannya di bawah ranjang tidur.

Dia berdiri dan berusaha menstabilkan napasnya yang memburu. Kemudian membalikkan tubuhnya menghadap pintu tenda.

Tiba-tiba jantungnya kembali berdebar kencang, dia ketakutan. Takut jika saja rencananya gagal, entah apa yang akan terjadi padanya nanti.

Lili memejamkan matanya. "Lili, kau pasti bisa!" batinnya. Dia meyakinkan dirinya untuk tidak ragu. Sedetik kemudian keberaniannya muncul, dan dia mulai melangkahkan kaki.

Melangkah perlahan dan penuh hati-hati. Setibanya di depan pintu, dia menyibakkan pintu tenda yang kemudian langsung disambut oleh penjaga yang satunya. Sontak Lili menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya.

"Apa yang terjadi di dalam? Apa penyihir itu bangun?" tanyanya.

Lili tergugup. Dia berdeham, lalu menjawab, "tidak ada. Kucing menjatuhkan lilin di atas meja tadi." Ia berusaha meniru suara pria.

Si penjaga tak mengatakan apapun lagi.

Lili menoleh ke sana kemari, melihat situasi di sana terlebih dahulu sebelum melarikan diri.

Di sana, ada beberapa tenda berdiri dengan masing-masing penjaga berdiri tegak di depan pintunya. Sangat ketat, untung Lili tidak gegabah dalam bertindak.

Lili melihat ke suatu arah yang berlawanan dengan penjaga itu. "A-aku buang air kecil dulu," ucap Lili. Dia kemudian melangkahkan kaki berniat pergi.

Namun, alangkah terkejutnya dia saat sebuah tangan tiba-tiba bertengger di pundaknya. "Tunggu!" ucap penjaga itu dengan nada serius.

Lili diam membeku. "Apa aku ... sudah ketahuan?"