webnovel

Manusia Kepo

Mary hanya tersenyum memandangi kepolosan Mira. Gadis kecil bermata hitam itu, sangat aktif dan memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Namun sekarang, bukan waktu yang tepat untuknya memberitahu kebenaran tentang orang tua kandung Mira. Mary pun berusaha mengecoh pertanyaan keponakannya.

"Bagaimana kalau kita berenang sekarang? Sudah lama sekali bibi tidak menyentuh kolam renang," ajaknya sembari melepas pakaian yang ia kenakan, dan menggantinya dengan pakaian renang. Mira si anak polos pun tergiur dengan ucapan bibinya, ia melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan bibinya.

Hari demi hari, Mira menjalani kehidupannya di kota, yang terkenal dengan sifat cuek, dan tidak mau tahu dengan keadaan tetangganya. Bahkan, sudah sebulan mereka menempati rumah baru, tapi belum pernah sekalipun mengobrol dengan tetangga sebelahnya. Mary selalu mengatakan, bahwa orang di kota itu memiliki jadwal yang sangat padat, mereka orang-orang yang sibuk, tidak begitu memikirkan bagaimana caranya menggosip, seperti yang sering Mira lihat di desanya dulu.

Namun, ada satu keluarga yang hobinya mencari masalah, dan orang itu sudah lama mengenal Mary. Dia adalah Marlina. Wanita dengan gaya rambut konde modern itu, selalu ingin tahu tentang latar belakang Mira. Semenjak kepindahan Mary dan keponakannya, wanita itu tampak berusaha keras mengorek informasi.

Pagi itu, Marlina mendatangi Mary yang tengah menyiram tanaman. Seperti tidak punya adab, wanita beranak dua itu melemparkan pertanyaan yang menyakitkan hati, "Siapa gadis kecil yang kau bawa itu, Mary? Apa kamu hamil di luar nikah dan menyembunyikannya dari kami? Dan ke mana kau bersembunyi selama ini?"

Mary menatap tajam wanita yang ada di hadapannya. Wanita berusia 35 tahun itu berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpancing dengan pertanyaan tak bermutu yang keluar dari mulut Marlina. Mary membiarkannya berkicau sendirian. Toh, jika sudah lelah, pasti akan berhenti sendiri.

"Kurang ajar kau Mary, diajak bicara bukannya menjawab, malah diam aja. Dasar, tidak sopan!" ucap wanita itu dengan nada kesal ketika pertanyaannya tak digubris.

Mary menghela napasnya, lalu menengok ke arah wanita yang baru saja berbicara dengan tatapan nyalang. "Itu bukan urusanmu, Marlina! Aku tidak akan pernah menjawabnya! Aku pikir lama tak bertemu akan merubah sifat jelekmu itu, ternyata aku salah. Sifat burukmu malah semakin parah," tegas Mary sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan tetangganya itu.

Mary sudah paham betul dengan sifat dan tabiat tetangganya itu yang serba ingin tahu tentang kehidupan dan juga urusan pribadi keluarganya semenjak ia tinggal di rumah itu, bersama dengan orang tua Mira. Kejadian beberapa tahun yang lalu adalah pemicu renggangnya hubungan kedua keluarga itu.

"Woii ... dasar wanita gila, tidak punya otak! Macam kelakuanmu sudah betul aja." Marlina kembali memaki karena keberadaannya tidak dianggap oleh wanita yang merupakan teman lamanya itu.

Marlina adalah tetangga yang kediamannya tak jauh dari rumah milik orang tua Mira. Ia tinggal bersama suami dan kedua anaknya, Anton dan Reva. Tidak jauh beda dengan ibunya, Reva yang masih belia, sudah mewarisi sifat Marlina. Gadis penyuka kelinci itu, selalu mencari masalah dengan Mira di sekolah.

Setelah menjalani pendidikannya selama 6 tahun di Sekolah Dasar, Mira kini sudah berganti seragam menjadi putih-biru. Pagi itu setelah membersihkan diri, segera tangannya meraih baju seragam yang telah disiapkan oleh Bibi Mary. Baju tersebut sengaja digantung di pintu lemari pakaian yang ada di kamar Mira agar tetap licin dan rapi.

Setelah selesai berpakaian, gadis itu kemudian duduk di kursi rias. Wajahnya kini terbingkai di cermin yang ada di hadapannya. Ia kemudian mulai mematut diri, menyisir rambutnya. Tak lupa ia mengoleskan sedikit pelembab bibir dan juga membubuhkan bedak bayi di wajahnya. Belum selesai ia berdandan, terdengar suara sang bibi berteriak.

"Mira ... kamu lagi ngapain? Ini udah jam berapa? Nanti kamu telat ke sekolahnya."

Mira mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang tergantung di atas pintu kamar. Matanya terbelalak saat melihat jam sudah menunjukkan puluh 06.30. "Ya ampun, udah mau jam tujuh."

Buru-buru, gadis itu mengambil tas ransel berwarna hitam yang ia taruh di samping lemari pakaian, lalu bergegas berlari menuju ruang makan untuk sarapan pagi. Di sana, sudah ada sang bibi yang tengah menikmati sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi.

Menyadari kedatangan Mira, ia melirik ke arah gadis itu, kemudian berkata, "Ckckck ... kamu ngapain aja dari tadi? Kamu hari ini ada Masa Orientasi Siswa, loh!" Mary mengingatkan.

"Hehe ... maaf, Bi, tadi Mira keasyikan bercermin." Mira cengengesan.

"Berapa jam kamu bercermin? Sudah macam gadis dewasa aja."

"Kan biar penampilan Mira bagus, Bi. Ini hari pertama, jadi harus cetar membahana," balas Mira bercanda.

"Masih kecil udah mikir sejauh itu, besarnya mau jadi apa kamu?" ejek Mary.

"Mau jadi psikiater cantik, itu tetap jadi cita-cita utamaku." Mira berkata dengan pongahnya.

Wanita itu menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Mira. "Ya sudah, kamu makan roti tawar aja. Udah gak ada waktu lagi buat kamu sarapan nasi goreng," ujar Mary. Tangannya mengambil dua potong roti tawar, lalu mengolesinya dengan selai coklat.

"Nggak papa, tapi jajannya dibanyakin ya, Bi. Nanti aku beli makanan lain di sekolah."

Bibi Mary memberikan roti selai cokelat tersebut kepada Mira. Gadis itu pun segera memakannya dengan cepat. Hanya dalam waktu dua menit, roti tersebut kini sudah berpindah ke dalam perutnya.

"Mira berangkat dulu, ya, Bi," pamitnya seraya mengambil tangan sang bibi, kemudian menciumnya.

"Hati-hati, ya," ucap wanita itu saat Mira mulai melangkah pergi meninggalkannya.

"Dadah, Bibi ...." Mira melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobil. Hal yang sama juga dilakukan oleh Mary.

Hari pertama mang Anang mengantar Mira ke sekolah, tapi untuk selanjutnya dia akan berangkat sendiri menggunakan ojek. Itu adalah cara Mary untuk mendisiplinkan keponakannya agar tidak menyombongkan diri nantinya.

Mira kini telah berdiri di depan pintu gerbang Sekolah Menengah Pertama Negeri 101 Jakarta. Dari raut wajahnya, gadis itu tampak sangat antusias ketika akan menjalani hari pertamanya sebagai siswi SMP.

"Wah ... sekolah baru, aku pasti akan punya banyak teman baru," pikirnya.

Segera ia memasuki pintu gerbang sekolah dan melangkahkan kaki menuju kelas yang terletak di lantai 2. Sebelum masuk ke dalam kelas, Mira mengalihkan pandangannya ke atas, menatap sebuah papan yang tergantung di atas pintu kelas, guna memastikan bahwa itu adalah kelasnya.

"Sepertinya ini kelasku," gumam Mira pelan. Ia begitu antusias saat akan memasuki ruangan yang sudah dipenuhi para siswa baru itu.

Setelah gadis itu yakin, ia melangkah masuk ke dalam kelas yang kini riuh dengan suara para siswa dan siswi yang tengah mengobrol. Mata Mira mengedar, mencari bangku kosong yang sekiranya belum di tempati. Namun, gadis itu terkejut saat netranya menangkap wajah seseorang yang ia kenali.