webnovel

MAU COBEK BUKAN SENYUMAN!

   "Dia laki-laki kaya yang membeli cobek itu, sekarang kita ke rumahnya. Katanya cobeknya ada di rumah dia!" Naya menjelaskan.

   "E-e-e-e … " tiba-tiba tangan Naya ditarik lagi oleh Seno. Melihat itu Dito langsung melepas paksa tangan mereka. Dito marah hingga mendorong kasar tubuh Seno ke belakang.

   "Main pegang-pegang aja, tau diri dong!" cerca Dito.

   Seno hanya menyeringai, lalu ia merapikan jasnya kembali.

   "Naya ini mau ke rumahku, dia harus ikut bersamaku!" tekan Seno pada Naya dan Dito.

   Naya menggeleng sempurna, ia jelas-jelas menolaknya jika harus pergi bersama. Hingga Dito mengejek Seno karena ditolak Naya. Tak mau ambil pusing, Seno menggendong Naya dengan paksa. Naya berontak, apalagi Dito. Dito mengejar Seno sambil menggendong Mauren.

   "Heh ini adiknya nangis, dia gak mau ditinggal kakaknya!" serang Dito.

   "Oh jadi cewek ini belum nikah! Pantes! Daris bilang, anaknya ini sedang berisi." batin Seno.

   "Hey, hey!!!" teriak Dito.

   "Adiknya atau Lo yang gak mau ditinggal?!" satu alis Seno terangkat, lalu ia menurunkan Naya di kursi depan.

   Naya berusaha sabar meski amarahnya memuncak, Seno sangat berani sekali menggendongnya dengan paksa.Tapi ia terdiam dan akan mengikuti apa yang akan dilakukan Seno selanjutnya.

   Dito terdiam saat Seno bertanya seperti itu, tentu ia gugup dan tak bisa menjawab. Tapi Naya menatapnya dan mengangguk perlahan, memberikan jawaban kalau dirinya baik-baik saja. Lalu ia pun meminta agar Mauren diberikan kepadanya, agar Dito mengemudi dengan fokus.

   "Hati-hati Nay, gue tetep ikutin Lo di belakang!" bisik Dito saat memberikan Mauren pada Naya, dan bisikannya itu dapat didengar oleh Seno.

   "Lama!" Seno menarik baju Dito ke belakang dan menutup pintu mobil dengan kencang.

   Dito semakin kesal, ia mendorong Seno sebelum menaiki motornya. 

   Di perjalanan, tidak ada perbincangan diantara Seno dan Naya. Mereka tetap pada pemikirannya masing-masing, menyusun strategi agar keinginan mereka berhasil. 

   "Udah pegang orang sembarangan, gendong orang sembarangan, gak minta maaf lagi. Dasar pria es," omel Naya di dalam hati. 

   "Udah cantik, bisa jaga diri, dewasa, tapi sayang, galak!" batin Seno.

   "Ngapain liat-liat?" sewot Naya.

   "Punya mata, kalau gak punya mata gak akan liat!" Jawab Seno lebih sewot.

   Naya pun menyerongkan duduknya agar emosinya terkontrol. Seno tiba-tiba tersenyum sambil menggelengkan kepalanya lambat.

   Setibanya di depan rumah Seno, Naya dibuat terpukau oleh tampilan rumahnya. Bercat putih, menambah keeleganan rumahnya. Seno turun terburu-buru, sampai Naya kebingungan.

   Ternyata, terburu-burunya Seno karena hendak membuka pintu mobil untuk Naya. 

   "Apaan sih?!" ketus Naya saat turun dari mobil.

   Seno hanya terdiam sambil memendam senyum gemasnya.

   "Ish si Naya kalau dia kesel sama laki-laki yang gak sopan kaya si Seno, gak pernah nyembunyiin sikap keselnya. Beuhh, jutek banget!" gerutu Dito yang masih ada di atas motor.

   Semakin Naya jutek, semakin Seno merasa tertantang. 

   "Eh, eh, eh, apaan nih?!" heran Dito saat dua bodyguard datang menahannya setelah diperintah oleh Seno dengan tatapannya.

   "Lepasin!" pinta Naya dengan tatapan sinis.

   Bukannya merespon permintaan Naya, Seno malah kembali menarik tangan Naya sambil mengangkat senyumnya sebelah.

   "Lepas! Udah dibilang jangan pegang-pegang!" sentak Naya.

   "Oke-oke," ucap Seno dengan merubah tarikan tangan dengan tarikan baju.

   Naya terpaksa mengikuti Seno, hingga mereka berhenti di ruangan yang sangat luas nan megah. Di sana datang seorang baby sitter dengan sangat sopan.

   Baby sitter itu sengaja dipesan Seno sebelum ia datang ke rumah, agar kebersamaan mereka tidak terganggu.

   "Enggak! Biar Mauren sama saya. Aku takut dia gak enak badan nantinya." tolak Naya sedikit menjauh dari baby sitter itu.

   Baby sitter itu mundur saat tatapan Seno tertuju ke arahnya. Ia harus mengikuti keinginan Naya agar Naya mau mengikuti kemauannya, meskipun keinginannya tidak seperti itu.  

   "Mana cobeknya?!" tanya Naya sinis.

   Seno menunjuk ke atas dengan kedua alisnya, itu berarti cobek Naya ada di lantai atas.

   "Yaampun aku harus ke atas?! Mana rumahnya kaya istana lagi, cape." batin Naya mengeluh.

   Saat Naya berpikir-pikir untuk naik ke lantai dua, di sana Seno menatap Naya dengan lekat. Entah apa yang ada di pikirannya, sehingga pria dingin itu tersenyum manis.

   "Mau atau enggak?!" tanya Seno tegas.

   Naya mengangguk terpaksa, demi cobek peninggalan ibunya. Sebelum itu ia melirik ke luar memastikan Dito baik-baik saja.

   Naya dibuat terkesima lagi saat melihat lantai dua yang lebih indah dari lantai satu. Tapi tidak ada siapapun di sana, hanya ada hiasan dan perlengkapan lain yang tak kalah megah.

   "Harus seperti ini ya ngambil cobek milik sendiri?! Ribet banget ya Allah … " rengek Naya yang membuat langkah Seno terhenti. Ia melirik ke belakang dan tersenyum sesaat, lalu ia kembali berjalan.

   Langkah Naya melambat saat Seno berjalan menuju ruangan yang ia anggap sebagai kamar. Dan langkahnya terhenti saat Seno membuka pintu itu, terlihat kasur berukuran besar dan perlengkapan kamar lainnya.

   "Ko diem di situ?! Mau enggak?!" tanya Seno.

   Naya menjadi ragu, langkahnya berubah menjadi mundur perlahan.

   "Cobeknya ada di kamar ini, jadi kita harus masuk." ucap Seno menenangkan Naya yang terlihat ketakutan.

   "Kita?! Kenapa enggak kamu aja yang ambil, itu kan cobek punya aku." ketus Naya.

   "Emm, ada sesuatu hal yang harus dibicarakan. Jadi kamu harus ikut ke dalam!" Jawab Seno.

   Melihat wajah Naya yang ragu, Seno langsung meyakinkan hati Naya lagi. "Percaya sama aku, aku gak bakal macem-macem." 

   Mendengar itu Naya berpikir ulang, langkahnya pun kembali maju dan menyetujui permintaan Seno dengan syarat tidak macam-macam.

   Dua lubang hidung Naya terbuka lebar saat masuk ke dalam kamar Seno, sangat wangi! Parfumenya belum pernah ia cium di mana pun. Ia suka dengan wanginya, bahkan tanpa sadar, Naya memejamkan mata menikmati wangi itu. Lagi-lagi Seno tersenyum, ia merasa bahagia bisa membuat Naya nyaman. 

   Seno yang dingin, entah kenapa bisa meleleh ketika berhadapan dengan Naya. Niatnya yang pertama untuk menodai Naya sudah tidak ada lagi di benaknya, tiba-tiba ia ingin jadi pelindungnya.

   "Kenapa aku jadi lemah seperti ini?! Bukannya aku ingin merenggut kesuciannya? Tapi kenapa sejak ia duduk di mobilku tadi, niatku itu hilang perlahan. Apa aku benar-benar mencintainya? Di pandangan pertama?!" batin Seno keheranan.

   Tatapan hangat nan lekat itu tidak beralih dari wajah Naya, diiringi dengan senyuman manis, membuat Seno betah berada di dekat Naya.

   "Aku ke sini mau ngambil cobek, bukan mau disenyumin!" tegur Naya menyadarkan Seno.

   Dengan gelagapan Seno berusaha menahan malu, ia berjalan dan duduk di sofanya. Menggaruk leher sebelah kirinya dengan tangan kanannya, sengaja menghindar dari pandangan Naya.

   "Ya Allah, malah duduk. Mana cobeknya?!" kesal Naya.