webnovel

CHANCE (WMMAP FANFIC)

*HANYA SEBUAH FANFICTION* Seorang gadis bereinkarnasi dalam dunia novel yang ia baca. Namun bukannya senang, ia malah sedih karena bereinkarnasi menjadi seorang tokoh yang akan mati di usia delapan belas tahun. Menurut novel tersebut, dia akan dibunuh oleh ayahnya sendiri dalam dunia tersebut dengan cara digantung. Dengan kesungguhan hati yang kuat, dia mencoba mengubah takdirnya seorang diri. Namun, bantuan datang seiring berjalannya waktu dari orang-orang terdekat. Hingga suatu hari, bantuan juga datang dari Sang Ayah yang ditakdirkan membunuhnya. Bisakah gadis itu merubah takdirnya bersama orang-orang yang dia sayangi? Ataukah takdir berkehendak lain dan menginginkannya mengikuti alur ceritanya? Ikuti kisah gadis tersebut di fanfiction ini. *Fanfiction novel dan webtoon Who Made Me a Princess* Disclaimer: Plutus - novel WMMAP Spoon - webtoon WMMAP

lol_hoshi · Derivados de obras
Sin suficientes valoraciones
28 Chs

Paman Putih dan Darah

Time skip - 2 tahun kemudian

Dua tahun berlalu dengan cepat, sekarang aku tujuh tahun. Tidak banyak yang berubah dengan keseharian ku. Aku menghabiskan waktu dengan belajar dan bermain.

Tahun ini aku tidak belajar sendiri, sesuai kesepakatan, para pengajar ku yang dulu sudah resmi menjadi guru ku. Sejarah, sosiologi, matematika, dan bahasa. Oh, papa juga menambah beberapa guru, tata krama dan menari.

Aku sempat bertanya pada papa kenapa tidak mencarikan ku guru ketatanegaraan juga. Dia hanya menjawab kalau aku belum butuh. Jujur aku senang-senang saja dengan jawabannya, dengan begitu waktu bermain ku tidak berkurang lagi.

Waktu bermain ku habiskan dengan Lily, Seth, Hannah, dan Felix. Kalau papa jadi lebih sibuk dengan pekerjaannya, dia mulai jarang menghadiri tea time dengan ku. Tidak kehabisan akal, papa akhirnya meminta ku untuk sarapan, makan siang, dan makan malam dengannya.

Aku sih setuju-setuju saja. Aku bosan karena tidak bisa bermain dengan papa. Omong-omong, sebagai ganti tea time ku yang dibatalkan, aku selalu bermain dengan Hitam. Lucas memang pernah bilang kalau aku tidak boleh main lama-lama dengan Hitam, tapi biarlah. Aku juga bosan kalau semua orang sibuk.

Sejak insiden di perapian, Lucas tidak pernah datang. Aku tidak tahu dia sedang apa selama dua tahun ini. Bisa dibilang, aku mencarinya. Mencarinya bukan merindukannya! Dia itu satu-satunya teman yang bisa ku ajak bicara dengan santai. Entah itu karena dia membuat dirinya seperti seumuran ku atau karena dia tahu rahasia ku.

Aku semakin hari jadi semakin bosan. Papa dan Felix semakin sibuk, Lily dan pelayan yang lain juga banyak kerajaan, Lucas tidak pernah datang, dan kelas yang tiap minggu selalu berputar tanpa henti. Aku bosan!

Apa aku minta teman seumuran saja, ya? Memangnya boleh? Memelihara Hitam saja hampir tidak boleh. Mengingat lagi, Hitam sudah ketahuan oleh papa dan hampir dibunuh.

Saat itu aku tidak sengaja membiarkan pintu balkon terbuka lagi. Akhirnya saat tea time dengan papa, Hitam datang dan melompat ke meja. Dia memakan semua cokelat yang ada. Papa yang kesal berniat membunuh Hitam karena mengganggu. Aku langsung memohon pada papa, Hitam itu peliharaan ku lebih tepatnya sinsu ku.

Papa akhirnya mengiyakan dengan syarat Hitam tidak menggangu lagi. Aku berterima kasih pada papa karena mengampuni Hitam. Sejak saat itu, aku selalu menutup pintu balkon dan pintu kamar saat hendak keluar.

TOK! TOK! TOK!

Felix mengintip dari pintu, mencari keberadaan ku. Aku segera menghampiri Felix. Kalau dia mencari ku tiba-tiba, artinya papa mencari ku.

"Felix!"

"Ah, Tuan Putri!"

"Kenapa Felix di sini?"

"Yang Mulia ingin bertemu Tuan Putri."

Aku melompat girang kemudian menutup pintu balkon. Aku menghampiri Felix dan menggandeng tangannya. Aku sudah tujuh tahun, tidak perlu digendong lagi. Kami berpamitan pada Lily dan menuju Istana Garnet.

Oh iya, tentang Felix dan Lily, ternyata mereka belum resmi berpacaran. Bisa dibilang, mereka masih tahap pdkt. Mereka mulai memanggil satu sama lain dengan nama depan, meskipun masih ada kata 'tuan' dan 'nona'. Aku tidak masalah, mereka cocok kok. Kalau nanti Felix mau melamar Lily, aku akan memberinya restu.

Kami sampai di Istana Garnet, tapi Felix menuntun ku ke ruang bicara. Aku melihat sekeliling. Sepertinya memang kami menuju ke ruang bicara. Kami sudah sampai di depan pintu.

"Tuan Putri bisa masuk. Yang Mulia sudah menunggu di dalam."

"Eh? Felix mau ke mana?"

"Saya disuruh Yang Mulia untuk memanggil tamu."

Aku mengangguk dan membuka pintu. Felix segera berbalik dan pergi. Aku masuk kemudian menutup pintu. Ku lihat papa duduk dengan malas di kursi tahtanya. Aku berlari menghampiri papa.

"Papa! Athy sudah datang!"

"Jangan lari-lari, Kau membuat ku pusing."

Ketika sudah sampai, aku menatap tahta papa. Ini EMAS! Berapa kali pun aku melihatnya, ini memang benar-benar emas. Saat sedang berpikir, papa mengangkat ku dan memangku ku. Aku hendak bertanya, tapi urung karena mendengar suara Felix yang meminta izin untuk masuk. Saat Felix masuk, ada seorang pria mengikutinya dari belakang. Aku terdiam menatap pria itu, entah kenapa aku membencinya.

***

Claude POV

Athanasia duduk di pangkuan ku. Aku menatap wajahnya, sepertinya dia ingin bertanya sesuatu. Saat dia hendak berbicara, Felix datang bersama seorang.

'Ck, orang itu lagi.'

Pria bangsawan bergelar 'Duke'. Rambutnya putih dengan mata emas. Anjing yang suka menggonggong di hadapan ku tanpa henti. Hampir setiap minggu dia datang dengan omong kosong. Aku malas meladeni orang sepertinya.

Aku bertopang dagu di salah satu lengan kursi tahta ku. Aku melirik Athanasia di pangkuan ku. Kenapa tatapan matanya tidak mengenakan, seakan dia membenci orang ini? Memangnya dia kenal siapa orang di hadapan kami ini?

"Roger Alphaeus," Athanasia bergumam.

Aku tercengang, tapi tidak menampakkan nya di wajah ku. Aku tidak salah dengar, bukan?

"Hm?"

"Athy tidak bilang apa-apa kok."

Bohong. Aku bisa melihatnya dari tatapan matanya. Dia seperti tertangkap basah karena menggelapkan pajak rakyat. Tapi bagaimana Athanasia bisa tahu?

"Segala keagungan dan kemuliaan pada matahari Obelia. Saya menghadap pada Yang Mulia dan Tuan Putri."

"Selamat siang, Paman Putih!"

Athanasia berseru dengan senyuman. Tidak ada raut wajah benci seperti yang ku lihat tadi. Aku yang salah lihat atau dia yang pandai berakting? Omong-omong, tadi dia bilang apa?

"Putih?"

"Iya! Karena paman itu mirip anjing putih."

Pfft...pintar sekali kau bocah. Aku menutup mulut ku dengan salah satu tangan. Felix juga melakukan hal yang sama di belakang ku. Ternyata memang benar aku membawa mu ke sini.

Claude POV end

***

Papa dan Felix menahan tawa. Hahaha...aku tidak bermaksud begitu, tapi memang rambutnya seperti rambut anjing putih yang pernah ku lihat di kehidupan sebelumnya. Asyik juga main-main dengan panggilan orang. Mumpung aku masih kecil tidak apalah.

Setelah panggilan itu, Roger Alphaeus mendiskusikan sesuatu dengan papa. Terdengar seperti omong kosong bagi ku jadi aku merasa bosan. Felix melirik ku kemudian menyodorkan sebuah boneka kelinci pada ku. Ini kan boneka yang ada di kamar ku, kenapa bisa ada pada Felix?

Daripada bosan, aku mengambilnya dan memainkannya. Boneka ini hadiah ulang tahun keempat ku dari Lily. Aku tidak mau boneka ini rusak, jadi ku simpan saja di kamar. Kalau ku bawa ke mana-mana nanti kotor.

Omong-omong soal hadiah ulang tahun, papa membuatkan dua buah taman bunga mawar. Satunya hadiah ulang tahun keenam dan satunya lagi hadiah ulang tahun ketujuh. Meskipun memberi ku hadiah, papa tidak hadir di hari ulang tahun ku.

Papa mengunci diri di kamar dan minum beberapa botol alkohol, begitu cerita Felix pada Lily. Aku hanya menguping obrolan mereka, Felix tidak memberi tahu pada ku mungkin karena takut aku sedih. Felix beralasan pada ku kalau papa ada urusan, aku hanya mengiyakan. Aku yakin papa tidak bisa hadir karena dia teringat dengan mama. Hari ulang tahun ku adalah hari kematian mama.

Aku sadar dari lamunan ku saat Roger Alphaeus membawa-bawa nama ku. Papa terlihat tidak senang dengan itu. Apa dia mencoba menggunakan aku untuk rencana liciknya?

Di dalam novel <Lovely Princess>, Roger Alphaeus adalah orang yang penuh ambisi. Dia menggunakan Jennette untuk mengambil kepercayaan papa. Tidak hanya itu, dia juga menggunakan anaknya, Izekiel. Dia menjodohkan anaknya dengan Jennette, dengan begitu dia bisa mendapatkan setengah dari harta kerajaan.

"Putri Athanasia. Apakah Anda kesepian tanpa teman bermain?"

Orang ini, berani-beraninya mengambil celah itu! Lihat ini! Akan ku buat kau bungkam!

"Athy tidak kesepian. Athy punya teman, kok. Felix kan teman, Athy. Lagipula Athy juga punya papa yang mau main dengan Athy."

Oh, lihat. Kau tidak menyangka kalau aku dekat dengan papa, kan? Bagaimana, apa kau kehabisan ide? Apa nyali mu untuk memperkenalkan Jennette masih ada?

"Bukankah lebih baik Anda mempunyai teman yang seumuran? Saya punya keponakan perempuan yang tinggal di kediaman keluarga Alphaeus. Dia seumuran dengan Tuan Putri."

"Oh, gadis yang Anda besarkan itu, Tuan Alphaeus?" Felix bertanya yang kemudian diberi tatapan tajam oleh papa.

Roger Alphaeus mengangguk. Jadi kau ingin memperkenalkan Jennette lewat aku begitu? Lalu kau berharap agar kami akrab begitu? Maaf saja, tapi aku tidak akan membiarkan hal itu. Aku ingin bertahan hidup di sini dan salah satu caranya adalah menghindari Jennette.

Mungkin tidak seharusnya aku membenci Jennette. Tapi karena kehadirannya, Athanasia mati di tangan ayahnya sendiri. Kalau tidak ada Jennette, Athanasia tidak akan mati. Padahal yang anak kandungnya Claude itu Athanasia, bukan Jennette.

Memang tidak diceritakan dalam novel <Lovely Princess>, tapi aku sempat membaca sebuah fun fact tentang novel itu. Dituliskan bahwa Jennette adalah keponakan dari Clude. Jennette adalah anak dari raja sebelumnya, Anastacius. Baiklah! Tidak ada pilihan lain untuk menghentikannya sekarang kecuali menyombongkan diri!

"Athy tidak mau kalau dia bodoh."

"Keponakan saya adalah anak yang pintar, dia mungkin bisa berteman baik dengan Tuan Putri."

"Kalau dia anak pintar pasti sudah menyelesaikan buku teori sosiologi ke-2. Hmm...Athy berhenti di teori fungsionalisme Marx Bredinger karena susah, tapi dia sudah belajar sampai Bill Rowitz, kan? Bagaimana dengan sejarah? Mantra? Filsafat? Matematika? Oh, bahasa asing Arlanta? Bahasa resmi paskal? [Langit mengetahui segalanya, tidak menyembunyikan kebenaran]. Bahasa kekaisaran Saichansia kan mudah, pasti dia sudah menguasainya. [Tuhan akan menghukum orang-orang yang berbohong]."

Roger Alphaeus terdiam ketika mendengar ucapan ku yang panjang kali lebar itu. Ku lihat papa menatap mengejek Roger Alphaeus. Oh, aku suka dukungan mu itu papa!

Ku akui kalau aku punya kepribadian yang kasar. Tapi kan Anjing putih ini dulu yang mulai! Hmph! Mau sekuat apapun kau mendorong Jennette pada ku, aku menolak. Kalau tidak begitu kematian ku lebih cepat.

"Sepertinya anak itu tidak ada apa-apanya dibanding Tuan Putri. Tapi mungkin putra saya sudah setingkat Tuan Putri."

Sekarang kau menyodorkan putra mu pada ku? Lalu apa? Menjadikan putra mu sebagai tunangan ku? Jangan mimpi! Aku mau cari jodoh sendiri. Bisa mencari sendiri pun belum tentu dapat restu papa.

"Kalau Kau sudah selesai bicara, pergi sana. Putri ku tidak butuh teman bicara. Dia tidak tertarik dengan putra mu atau keponakan mu."

Nice papa! Kalau kita berkerja sama begini kan lebih mudah menyingkirkan orang licik ini. Aku memeluk boneka kelinci ku dan mendekatkan wajah ku pada dada bidang papa.

"Athy tidak mau kalau putra Paman Putih mirip dengan Paman Putih."

Felix menahan tawa sedangkan papa mengusap-usap kepala ku. Oke, itu penghinaan luar biasa untuk Roger Alphaeus. Mungkin sebaiknya aku berhenti sekarang.

"Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia dan Tuan Putri. Saya pamit undur diri. Salam berkat dan hormat Obelia."

Setelah membungkuk dan memberi salam, Roger Alphaeus pergi meninggalkan ruangan. Felix dan papa tertawa pelan. Sepertinya tingkah Roger Alphaeus menjadi hiburan tersendiri untuk papa dan Felix.

***

Keesokan harinya

Aku dan papa mengadakan tea time setelah sekian lama. Mungkin tidak terlihat jelas, tapi papa sangat bersemangat. Lihatlah kue yang disajikan, banyak sekali!

Aku menatap semua jenis kue secara bergantian. Seketika mata ku tertuju pada satu kue. Kue yang membawa kenangan tersendiri untuk ku. Aku ingin mengambilnya, tapi tidak sampai.

"Kau mau kue itu?"

"Athy mau!"

"Ini bukan cokelat Kau tahu."

"Iya, itu kopi!"

"Terserah."

Papa bilang begitu dan mengambilkan kue untuk ku. Aku memekik girang dan memakan kue kopi tersebut. Memang agak pahit, tapi ini enak.

Angin berhembus pelan. Keheningan di antara kami bertiga. Felix sejak tadi diam memerhatikan lima langkah di belakang. Aku melahap kue dengan tenang, tapi ada yang mengusik ku. Aku menatap ke depan. Ugh, papa sedang memerhatikan ku.

"Papa mau?" aku menyodorkan sesendok kue kopi pada papa.

Papa menggeleng pelan, "Kau yakin tidak mau punya teman bicara?"

"Athy sebenarnya mau."

Tiba-tiba saja, hawa terasa dingin di sekitar kami. Aku melirik papa, dia terlihat kesal! Aduh, aku salah ngomong nih! Aku memang pengen punya teman. Tapi kalau masih rencana saja papa sudah bereaksi seperti ini, bagaimana kalau aku memang punya?

"Tapi, Athy mau teman bicara yang lebih pintar dari Athy di salah satu bidang. Kalau tidak, dia harus sepintar Athy."

"Kalau syaratnya begitu, sampai Kau tua tidak akan dapat."

Argh! Kenapa respon mu seperti itu, sih? Kau tidak senang putri mu yang imut dan cantik ini punya teman? Lihatlah! Meskipun kau menyembunyikan, aku bisa melihat wajah senang dan lega mu dari sini. Kau memang pandai menyembunyikan perasaan mu, tapi tidak di hadapan ku, papa.

Aku mengambil kue yang lain ketika kue kopi ku habis. Dengan perasaan senang, aku melahapnya. Tapi aku merasa ada yang aneh sejak tadi. Jantung ku sejak tadi berdetak tidak ka-

"Guh!"

Da...Darah! Kenapa ada darah? Aku menatap kedua tangan ku yang berlumuran darah. Ini tidak nyata kan? Aku menatap papa dan Felix, mereka balas menatap ku dengan wajah tegang. Jadi ini beneran darah? Ta...tapi kenapa? Sebelum aku sempat tahu apa penyebabnya, pandangan ku kabur.

"ATHANASIA!"

***