"Kangen juga sama Mayang...", Erfly bicara lirih.
"Seg'aknya, abang sudah bisa tenang sekarang, abang udah tahu kalau kamu baik-baik saja", Gama melemparkan senyum lembutnya.
"Kos-kosan apa kabar bang...?", Erfly kembali bertanya.
"Lancar dek. Karena kos-kosan yang kamu bangun itu, akhirnya abang bisa hidup tenang sampai sekarang dek. G'ak perlu susah-susah siang malam banting tulang. Berkat uang kos-kosan juga, abang jadi lulus SMA, dan bisa lanjut kuliah sekarang", Gama kembali bercerita panjang lebar.
"Alhamdulillah, itu memang rezekinya abang", Erfly bicara pelan. "Ketringan Mayang dan keluarga juga lancar sepertinya, Ilen selalu terima setoran Mayang tiap bulan", Erfly kembali bicara pelan.
"Alhamdulillah, sekarang udah ada 5 pegawai. Ngambil dari tetangganya. Pesanan juga lancar. Bahkan Mayang sekarang kuliah kedokteran, sesuai cita-citanya mau jadi dokter.
Bang Rheno juga ngejar ujian paket C. Terus... Sekarang udah semester 5, kuliah ngambil hukum, katanya biar keluarga dan masyarakat sekitarnya tidak dibodohi rentenir lagi", Gama kembali menambahkan.
Erfly tersenyum mendengar penjelasan Gama. Pikirannya menerawang, ditarik paksa kemasalalu. Masa dimana dia berkumpul dengan keluarga Cakya yang hangat. Dan Mayang yang bersedia menyambutnya penuh kasih.
***
Sesuai rencana, Erfly berangkat ke Bandung ba'da Subuh. Erfly berhasil menjual vila nya dengan lancar berkat bantuan Nadhira dan pak Edy.
Tepat pukul 10.00 Wib. Erfly, Nadhira dan pak Edy muncul di kantor ayahnya Elang. Sesuai arahan sekretaris ayah Elang, Erfly langsung menuju ruangan ayah Elang.
"Erfly... Silahkan duduk", ayah Elang menyambut Erfly dengan hangat.
Erfly tidak merespon langsung duduk tepat dihadapan ayah Elang.
"Ada apa ini...? Tumben Erfly yang turun tangan langsung...? Biasanya untuk membahas kontrak kerjasama kita, hanya Nadhira yang datang menemui saya", ayah Elang bicara dengan nada seceria mungkin, berusaha agar lebih akrab dengan Erfly.
"Saya g'ak bisa lama. Saya hanya ingin mengantarkan ini", Erfly bicara dingin, kemudian meletakkan koper keatas meja. Kemudian mendorong kearah ayah Elang, setelah membuka koper tersebut.
"Apa ini...?", ayah Elang pura-pura tidak mengerti.
"Itu penalti pembatalan kontrak kerjasama kita. Silakan bapak hitung", Erfly bicara dingin, dia sama sekali tidak berminat untuk berlama-lama berada di kantor ayahnya Elang.
"Ada apa ini...? Proyek kita sudah berjalan hampir 50%. Dan selama ini tidak ada masalah sama sekali dengan ayah kamu", ayah Elang kembali berusaha bernegosiasi, membawa hubungan baik antara dia dan almarhum ayah Erfly.
"Mulai sekarang kita tidak ada hubungan lagi, jangan sampai kita bertemu lagi", Erfly bicara dingin.
"Jangan seperti ini, kalau ada masalah, kita bisa bicarakan secara baik-baik. Jangan seperti anak-anak, kalian sudah sama-sama dewasa", ayah Elang berusaha untuk menahan Erfly lebih lama.
"Saya sudah muak. Mulai saat ini jangan pernah muncul dihadapan saya lagi. Itu juga berlaku untuk Elang, putra tercinta anda", Erfly tidak memberi belas kasihan kepada ayah Elang. Selanjutnya Erfly langsung berlalu pergi, tanpa menoleh sedikitpun.
"Erfly...?", Elang menahan lengan Erfly, saat Erfly keluar dari pintu ruangan ayahnya.
"Lepasin, atau kamu akan menyesal", Erfly bicara dingin, tatapannya langsung menusuk dalam kebola mata Elang.
Elang mengerutkan keningnya, kemudian menatap kepada ayahnya, memohon agar ayahnya bisa membelanya.
"Lepaskan, biarkan Erfly pergi", ayah Elang memberi perintah.
Elang melepaskan lengan Erfly, dengan tidak puas Elang langsung menyerbu kehadapan ayahnya.
"Yah...", belum juga Elang mulai merengek, sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Elang. Telinganya sampai berdengung, karena saking kerasnya tamparan ayahnya.
"Dasar, anak tak berguna....!!!", ayah Elang memaki Elang penuh amarah.
"Elang salah apa yah...?!", Elang bertanya bingung.
"Sudah berapa kali ayah bilang, jangan pernah kamu memprovokasi Erfly. Ini akibatnya. Kita kehilangan saham, plus... Kita kehilangan kontrak kerjasama milyaran rupiah", ayah Elang berteriak dengan nada paling tinggi, mukanya merah seperti terbakar karena menahan amarah.
"Elang minta maaf yah, Elang akan temui Erfly dan memperbaiki semuanya", Elang berusaha memberi janji, agar ayahnya tenang.
Ayah Elang kembali menampar pipi Elang, kali ini yang sebelah kiri mendapat giliran. "Berani kamu mendekati atau menghubungi Erfly, aku patahkan batang lehermu", ayah Elang mengancam putranya tanpa ampun.
"Tapi yah... Pertunangan Elang...", Elang tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena sebuah tamparan kembali mendarat dipipinya yang masih terasa panas.
"Kurang jelas ucapanku...!!!", ayah Elang naik pitam.
Elang tidak berani lagi berkutik, dia takut akan dikuliti oleh ayahnya sendiri, kalau dia bicara sepatah kata lagi.
***
Nadhira duduk diam disamping Erfly dibangku penumpang. Sedangkan pak Edy duduk didepan, disamping supir pribadi Erfly.
"Len...?", Nadhira bicara dengan nada paling rendah.
"Hem...", Erfly hanya bergumam pelan menanggapi ucapan Nadhira.
"Apa tidak sayang, memutuskan kerjasama dengan ayah Elang...?", Nadhira berusaha keras untuk bertanya, mengeluarkan segenap keberaniannya untuk meluncurkan kata-kata itu dari bibirnya.
"Kita akan baik-baik saja", Erfly memberi jaminan kepada Nadhira agar tidak perlu cemas.
"Maaf, teteh salah...", Nadhira mengangguk pelan. Dia tidak berani bicara lebih lanjut lagi, walaupun masih belia, Erfly bukanlah anak yang gegabah dalam mengambil keputusan. Apalagi ini menyangkut perusahaan dan ribuan karyawannya.
"Teteh sudah pesan tiket yang Ilen minta...?!", Erfly bertanya pelan.
"Sudah, teteh juga sudah kirim ke Gama. Mereka naik pesawat jam 5 sore", Nadhira menjawab santun.
"Terima kasih teh", Erfly bicara pelan. Sebelum menyilangkan kedua tangannya didada, kemudian bersandar mencari posisi nyaman untuk tidur.
"Jangan sungkan Len", Nadhira menjawab dengan suara paling pelan.
***
Cakya perlahan mulai sadarkan diri. Kemudian melirik kiri kanan, semua ruangan berwarna putih, aroma khas obat-obatan langsung menusuk hidungnya.
"Dokter, pasien sudah bangun", terdengar suara suster yang berteriak di daun pintu.
Alfa muncul, dan menghampiri Cakya. Alfa meminta izin untuk mengecek keadaan Cakya, setelah melakukan tes kecil Alfa memilih untuk duduk di kursi menatap kearah Cakya.
"Bagaimana perasaan kamu sekarang...?", Alfa bertanya santai.
"Agak pegel dok", Cakya menjawab jujur, kemudian berusaha untuk duduk diatas tempat tidur.
"Mungkin karena efek kamu tidur hampir 15 jam", Alfa menatap jam tangannya.
"Astagfirullah... Saya bisa ketinggalan bis. Teman-teman saya berangkat ba'da subuh", Cakya panik, dan berusaha membuka infus yang masih menancap ditangannya.
"Kita berangkat sore, jam 5", Gama yang muncul di daun pintu, berhasil membuat Cakya heran karena kebingungan.
"Kok jam 5...?", Cakya kembali bertanya.
"Mereka sudah berangkat. Tapi... Om udah pesan tiket pesawat langsung ke Kerinci, jam 5 ntar", Gama menjawab pelan.
"Buat apa...? Buang-buang uang saja", Cakya protes.
"Kamu pikir Om mau ambil resiko kamu kayak gini...? Yang ada Om yang digorok sama bang Utama", Gama kembali memberi alasan yang cukup masuk akal, agar Cakya bisa tenang.
Cakya kembali berbaring.
"Lha... Kok malah tidur lagi?", Gama bertanya bingung.
"Mau apa lagi...? Kan Om bilang berangkatnya baru ntar sore...?", Cakya protes.
Gama langsung menarik tangan Cakya. "Kita jalan-jalan cari oleh-oleh. Mumpung ada dokter Alfa yang nganterin", Gama bicara dengan semangatnya.
Cakya hanya mengekor dibelakang Gama. Mereka pergi ke beberapa tempat untuk mencari oleh-oleh. Saat masuk waktu Zuhur. Alfa sengaja memilih tempat makan yang dekat dengan masjid, sehingga Cakya dan Gama bisa langsung sholat zuhur setelah makan.
"Kamu mikirin apa...? Sampai kambuh begitu...? Kan saya sudah bilang, jangan dipaksakan. Perlahan saja", Alfa buka suara saat mereka makan santai.
"Sudah dua tahun dok. Tapi... Ingatan saya masih belum kembali sepenuhnya", Cakya bicara dengan suara paling pelan. Beruntung Alfa masih dalam mode konsentrasi penuh, sehingga bisa mendengar ucapan Cakya.
"Otak kamu punya kapasitas sendiri. Kalau dipaksa bekerja terlalu keras, syaraf diotak kamu bisa putus, malah makin bahaya.
Bukan hanya kamu tidak bisa mengingat ingatan yang kamu cari, kamu juga bisa kehilangan semua memori kamu, termasuk keluarga dan diri kamu sendiri", Alfa kembali mengingatkan resiko yang akan dihadapi oleh Cakya, kalau dia tetap nekat seperti ini lagi.
Cakya tidak menjawab, dia hanya mengangguk pelan. Walaupun bibirnya bilang iya, tetap saja, jauh dilubuk hatinya yang paling dalam, Cakya merasa berontak. Dia yakin kalau perempuan yang ditemuinya dipantai ada hubungannya dengan semua memorinya yang hilang.