Cakya masih berkeliling Garut, ditemani oleh Alfa yang menjadi supir pribadi Gama dan Cakya hari ini. Gama menyempatkan membeli oleh-oleh untuk keluarga Cakya, dan keluarga Mayang.
"Dokter kenapa memilih pindah kesini...?", Gama berusaha memecahkan suasana.
"Kenapa ya...? Saya sendiri juga tidak tahu kenapa. Waktu Ilen dipindahkan menggunakan ambulance, saya dokter yang bertanggung jawab selama dalam perjalanan. Mungkin... Karena rasa bersalah, Ilen harus kehilangan kakinya saat mengalami kecelakaan, sehingga saya memutuskan untuk membantu Ilen disini. Lagian, Ilen sudah tidak punya siapa-siapa lagi", Alfa menjelaskan panjang lebar.
"G'ak sayang dok, karir dokter di Sungai Penuh lagi bagus-bagusnya...?", Gama berusaha memancing jawaban, bagaimana perasaan Alfa kepada Erfly yang sebenarnya.
"Kalau boleh jujur, saya justru jenuh dengan rutunitas dirumah sakit", Alfa menjelaskan apa yang dia alami saat bekerja dirumah sakit.
"Kenapa begitu...?", Gama bertanya bingung.
"Mungkin saya yang tidak cocok dengan persaingan disana", Alfa kembali melemparkan senyumnya. "Kita... Mau cari apa lagi...?", Alfa berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Udah semua kayaknya", Gama mengangkat kantong belanjaannya melewati pinggang.
"Balik ke klinik, atau ada tempat yang mau dikunjungi...?", Alfa menawarkan.
"Dokter tidak ada pasien...? Memangnya tidak apa kita istirahat disana...?", Gama kembali bertanya.
"Berangkat pesawat sore. Apa tidak kelamaan nanti di bandara kalau langsung pergi sekarang...?", Alfa kembali bertanya.
Gama menatap Cakya meminta pendapat Cakya. Hanya anggukan kepala pelan, yang dilakukan Cakya.
"Kita langsung ke Bandara saja dokter. Dari pada terlambat, dan ketinggalan pesawat", Gama bicara pelan.
***
Candra sibuk membaca laporan yang ada dihadapannya. Sinta menghampiri Candra, kemudian duduk tepat dihadapan Candra.
"Semua baik-baik saja mbak...", Candra bicara pelan, kemudian menutup map yang ada di hadapannya.
"Alhamdulillah, pabrik perlahan tapi pasti juga sudah beroperasi seperti semula lagi", Sinta melanjutkan laporannya.
"Alhamdulillah...", Candra mengucap syukur.
"Dek... Kamu sudah dapat kabar tentang Wika...?", Sinta kembali bertanya, karena sudah sejak setahun yang lalu Wika menghilang tanpa ada kabar beritanya.
"Belum mbak, Candra juga sudah menghubungi orang-orang yang Candra bayar untuk mencari jejak Wika. Akan tetapi tetap sama saja", Candra bicara dengan suara paling rendah.
"Kamu yang sabar dek", Sinta bicara pelan, mengusap pelan pundak Candra sebagai tanda menyemangati Candra.
"Makasih mbak", Candra tersenyum pahit.
"Dirga... Bagaimana kabarnya...?", Sinta kembali bertanya.
"Begitulah mbak, g'ak bisa apa-apa, duduk di kursi roda, meratapi nasibnya. Mungkin itu hukuman yang cocok buat dia", Candra tertawa remeh.
"Kamu g'ak boleh kayak gitu dek, biar bagaimanapun tetap saja Dirga kakak kandung kamu sendiri", Sinta kembali mengingatkan.
"Mbak...", Candra bicara lirih.
"Hem... Kenapa...?", Sinta bertanya pelan, menatap lekat wajah Candra.
"Kemarin, Candra minta kak Tasya untuk menjalin hubungan serius dengan seseorang, terus menikah. Menurut mbak gimana...?", Candra bertanya pelan.
"Sejauh ini, Tasya sama sekali tidak pernah bercerita tentang laki-laki sama mbak. Dia bahkan hanya fokus untuk membesarkan Malaikat kecil selama ini", Sinta menjelaskan panjang lebar.
"Candra kasian mbak, perempuan semuda kak Tasya harus menjalani kehidupan yang begitu keras", Candra meratapi nasib malang Tasya.
"Mbak tahu maksud kamu baik, tapi... Kita tidak bisa apa-apa, toh Tasya yang menjalani. Kita hanya bisa mendukung saja, setiap keputusan yang diambil oleh Tasya. InsyaAllah itu yang terbaik untuk semua", Sinta menepuk-nepuk pelan pundak Candra.
***
Erfly sampai dirumah hampir malam, Erfly langsung duduk diteras rumahnya. Menatap ke laut lepas, menikmati pemandangan favoritnya 'saat matahari ditelan oleh laut'.
Alfa keluar dari dalam rumah Erfly, "Dek...? Kamu sudah pulang...?", Alfa bertanya heran, karena tidak mendengar ada suara Erfly datang.
Erfly hanya mengangguk pelan, dia tidak mau kehilangan moment berharganya.
"Kamu g'ak apa-apa dek...?", Alfa bertanya pelan. Setelah Erfly menangis histeris melihat keadaan Cakya kemarin, Erfly tidak bicara apa-apa lagi. Bahkan dia tidak melihat Cakya sama sekali, atau hanya sekedar bertanya bagaimana kabar Cakya.
"Ilen g'ak apa-apa Ko", Erfly menjawab pelan.
"Cakya... Dan Gama... Udah kembali ke Sungai Penuh", Alfa kembali menambahkan.
Erfly hanya mengangguk pelan. Matahari telah menghilang dengan sempurna. Erfly langsung bergerak dari posisinya, melangkah masuk kedalam rumah.
"Kamu g'ak makan dek...?", Alfa bertanya pelan, berusaha menghalangi langkah Erfly yang menuju kamar.
"Ilen mau magrib dulu", Erfly menjawab tanpa menoleh ke arah Alfa.
Erfly memilih untuk mandi, membiarkan air mengguyur pucuk kepalanya, menyegarkan isi otaknya. Setelah mandi, Erfly wudhu dan langsung sholat magrib. Seusai salam kedua, Erfly mengangkat tangan dalam khusuk do'a.
Saat kedua telapak tangannya mengusap mukanya, tangisnya langsung pecah, Erfly kembali menempelkan mukanya keatas sajadah. Menangis sejadi-jadinya, melepaskan semua beban yang bersarang dihatinya.
Hati Erfly terasa terhiris, mengingat kembali Cakya yang menangis menahan sakit. Disisi lain, Erfly merasa kecewa Cakya begitu saja melupakannya. Akan tetapi Erfly juga tidak tega, kalau Cakya harus semenderita itu untuk kembali memanggil ingatannya.
Terdengar suara ketukan pintu. "Dek...", Alfa bicara setengah berteriak.
"Iya Ko, sebentar", Erfly segera menghapus kasar jejak air matanya.
Erfly meninggalkan mukenanya begitu saja, tanpa dilipat kembali. Kemudian berlalu menyusul Alfa kemeja makan.
"Koko yang masak...?", Erfly bertanya pelan, karena semua makanan yang ada diatas meja adalah makanan favorit Erfly.
"Kamu coba dek, semoga g'ak mengecewakan", Alfa mengajukan harapan.
Erfly tidak bersuara lagi, langsung menyantap masakan buatan Alfa. Tidak ada suara yang terdengar selama proses makan. Hingga akhirnya, Erfly mencuci tangannya, sebagai tanda dia telah selesai makan.
"Dek...", Alfa bicara pelan.
"Koko harus kembali ke klinik, ada pasien yang sedang dirawat", Alfa bicara pelan. "Kamu...", ucapan Alfa langsung di sela oleh Erfly.
"Ilen mau istirahat Ko", Erfly menjawab pelan.
"Ya udah, kamu istirahat saja. Biar Koko yang rapiin dapurnya", Alfa kembali meminta Erfly untuk kembali kedalam kamar.
"Besok aja Ko, Ilen yang rapiin", Erfly bicara sesaat sebelum meninggalkan Alfa sendirian.
***
Candra pulang kerumah, kemudian langsung menuju kamar Dirga, pemandangan yang sama. Dirga duduk di atas kursi roda menatap kosong keluar jendela. Candra duduk diatas tempat tidur menatap hiba kepada kakak sulungnya.
"Bang Dirga udah makan...?", Candra bertanya pelan. Terdengar nada mengasihani dari bibirnya, biar bagaimanapun bibirnya bilang dia benci terhadap lelaki ini, tetap saja mereka berdua keluar dari rahim yang sama.
Dirga tidak mengeluarkan suara, dia hanya mengangguk perlahan.
"Ada yang abang mau makan...? Biar Cakya beliin...?", Candra kembali menawarkan.
Dirga kembali menggelengkan kepala lemah. "Kamu dari mana...?", Dirga bertanya lemah.
"Bertemu malaikat kecil", Candra bicara jujur apa adanya.
"Bagaimana kabarnya...?", Dirga bertanya sendu.
"Dia tumbuh dengan baik. Karena diasuh oleh ibu yang luar biasa", Candra sengaja memberikan tekanan pada setiap kata-katanya, agar Dirga sadar akan kesalahannya.
Dirga tersenyum pahit, dia sangat paham bagaimana kecewanya adik bungsunya ini terhadap dirinya. Anak paling tua didalam keluarga, harusnya bisa menjadi panutan untuk adik-adiknya. Ini malah memberikan contoh yang buruk untuk adik-adiknya.
"Abang... Titip malaikat kecil. Kamu jaga dan pastikan dia tidak kekurangan satu apapun", Dirga bicara dengan sepenuh hatinya.
"Abang ayahnya. Abang yang punya kewajiban untuk melakukan hal itu", Candra bicara kesal. Menumpahkan setiap amarahnya. Memberikan pukulan telak kepada Dirga, tepat diluka Dirga yang kembali bernanah.
Kemudian beranjak pergi dari hadapan Dirga. Tidak lupa Candra sengaja melemparkan beberapa lembar foto Malaikat kecil dan bahkan Tasya keatas kasur sebelum berlalu pergi.
Dirga perlahan mendekati tempat tidurnya, meraih foto yang tidak beraturan letaknya diatas kasur. Kemudian mencium setiap foto dengan air mata yang mengalir deras. Tidak ada suara yang keluar, hanya tangisnya yang mewakili rasa penyesalan terdalamnya.
***
Sepanjang perjalanan, Cakya hanya banyak diam.
"Kamu g'ak apa-apa...?", Gama bertanya pelan, saat telah turun dari pesawat dan menunggu jemputan mereka datang.
"Hem...", Cakya bergumam pelan sebagai jawaban.
"Kenapa...? Ada yang mengganggu pikiran kamu...?", Gama kembali bertanya.
Cakya menggeleng pelan. Dia sendiri bahkan tidak yakin ada apa dengan dirinya saat ini. Perasaan tidak rela untuk meninggalkan perempuan yang bahkan baru dilihatnya ditepi pantai. Siapa sebenarnya dia...?