webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Mas mau minta tolong

Satia mengecup pelan pucuk kepala Erfly,

"Mas g'ak bisa mengambil keputusan, mas harus bicarakan dulu dengan ko Alfa dan dokter disini", Satia bicara lembut.

Erfly hanya mengangguk pelan.

"Mas tahu kamu paling tidak suka bau rumah sakit, tapi... Ini demi kebaikan kamu dek", Satia kembali menambahkan.

"Iya mas, Erfly tahu", Erfly bicara dengan kepala tertunduk.

"Em... Mas mau minta tolong", Satia bicara lirih.

"Hem...", Erfly menatap lekat wajah suaminya, selama ini yang Erfly tahu Satia bukanlah tipe orang yang butuh bantuan orang lain, sosok Satia dimatanya adalah lelaki yang serba bisa.

"Mas ketemu Dirga...", Satia mulai membuka topik pembicaraan.

"Dirga...?", Erfly mengerutkan keningnya, tidak yakin dengan nama yang di sebut oleh suaminya.

Satia menggaruk pelan batang hidungnya yang tidak gatal, "Em... Mas kenal pas naik gunung tujuh", Satia asal bicara.

"Jangan-jangan Dirga yang mantan Pradana SMA satu bukan...?", Erfly bertanya penuh keraguan.

"Mungkin...", Satia bicara tidak yakin.

"Terus... Mas mau minta tolong apa...?", Erfly kembali bertanya, mengusap pelan pipi Satia dengan jemari tangannya.

"Tadi... Mas ketemu dia pas beli jus, dia cerita... Katanya... Dia baru saja di PHK secara sepihak oleh perusahaan tempat dia bekerja. Dan... Sama sekali tidak di berikan pasangon, em... Padahal... Dia lagi butuh uang, istrinya melahirkan operasi cesar", Satia bicara dengan bertele-tele.

"Terus... Maksud mas kita bayarkan biaya operasi istrinya begitu...?", Erfly berusaha menebak arah pembicaraan Satia.

"Em... Bukan", Satia langsung membantah.

"Lalu...?", Erfly kembali bertanya, mengerutkan keningnya.

"Em... Maksud mas... Apa kantor kamu tidak butuh pegawai...? Yah... Dirga bisa bantu-bantu kamu dek", Satia akhirnya menyelesaikan kalimatnya dengan susah payah.

Erfly tertawa renyah mendengar ucapan suaminya.

"Kok malah ketawa...?", Satia kali ini yang mengerutkan keningnya.

"Erfly kira apaan mas...? Mukanya sampai serius begitu", Erfly kembali tertawa, kemudian merubah posisinya agar lebih nyaman.

"Ada g'ak...?", Satia kembali menagih jawaban.

"InsyAllah kerjaan ada aja mas, tapi... Tergantung Dirganya mau atau g'ak...? Terus... Erfly harus ketemu dia dulu, kalau g'ak gini aja mas biar gampang. Minta Dirga menemui teh Nadhira aja, biar teh Nadhira yang memutuskan nantinya", Erfly bicara panjang lebar.

"Begitu juga bagus, nanti mas hubungi Dirga lagi, teh Nadhiranya bisa kapan dek...?", Satia bertanya antusias.

"Teh Nadhira kan ada di hotel mas, kapan aja juga bisa, tinggal Erfly kasih tahu aja", Erfly bicara santai.

***

Pasya mengantarkan Dirga berobat sebelum mengantarkan Dirga menuju ruang operasi istrinya. Pasya menghentikan langkah kakinya tepat di depan ruang operasi.

"Kamu boleh masuk, saya tunggu disini", Pasya bicara dingin seperti biasanya.

Dirga melangkah perlahan memasuki ruang operasi, dokter sudah memberikan bius lokal kepada istrinya.

"Dirga... Muka kamu kenapa...?", istrinya bertanya bingung, muka Dirga penuh luka lebam.

"Di keroyok pencopet", Dirga menjawab sekenanya.

Selang beberapa menit kemudian, terdengar tangisan bayi yang demikian nyaring. Suster segera memandikan bayi yang baru lahir, setelah membungkus bayi dengan baik, suster itu menyerahkan bayi ketangan Dirga.

"Bayinya laki-laki pak", suster tersebut bicara lembut.

Dirga menggendong bayinya dengan sangat hati-hati, kemudian melekatkan bibirnya dengan daun telinga bayinya. Dirga mengumandangkan azan dengan air mata yang begitu deras.

Dirga segera pamit kepada istrinya karena harus kembali ikut dengan Pasya, Dirga sudah cukup tenang karena keluarga dan mertuanya sudah datang untuk menjaga istrinya.

Pasya menuntun Dirga masuk kedalam mobil. Detik berikutnya mobil merayap dengan perlahan menyusuri keramaian jalanan. Pasya menghentikan mobilnya di tempat parkiran sebuah hotel ternama. Dirga mengekor Pasya dibelakang tanpa suara sedikitpun.

Pasya menekan bel begitu yakin dia di depan pintu yang benar, pintu dibuka oleh salah satu dari si kembar.

"Bu Nadhira ada...?", Pasya bertanya pelan.

"Tante bilang Om di tunggu di kafe hotel", Hasan yang membuka pintu menjawab pelan tanpa berkedip.

"Kalau begitu saya turun dulu, terima kasih ganteng", Pasya mengacak rambut Hasan, sebelum menutup pintu.

Pasya kembali melangkah menunjukkan jalan kepada Dirga. Benar saja Nadhira sudah duduk di salah satu kursi di sudut kafe. Dua rekan Pasya berdiri siaga tidak jauh dari Nadhira.

"Nadhira", Nadhira menyalami Dirga, langsung menyebutkan namanya.

"Dirga", Dirga melakukan hal yang sama.

"Duduk", Nadhira mempersilakan Dirga untuk duduk.

"Saya tunggu diluar", Dirga bicara pelan, kemudian berlalu menuju teras kafe untuk menghisap rokoknya.

"Tidak perlu tegang, mau pesan kopi atau makanan...?", Nadhira menawarkan.

"Tidak, terima kasih", Dirga menolak dengan sopan.

"Saya sudah dengar dari Satia masalahnya. Sebelumnya saya minta maaf, saya bukan orang yang suka membeda-bedakan orang. Bagi saya semua sama saja, saat dia memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan, itu artinya dia pegawai saya. Terlepas dari anda kenalan Satia, atau teman sekolahnya Ilen sebelumnya", Nadhira langsung bicara panjang lebar.

Dirga hanya menyimak ucapan Nadhira, otaknya masih mencerna apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Nadhira.

"Sebelumnya saya mau tahu, posisi terakhir anda bekerja di perusahaan yang lama itu apa...?", Nadhira menatap wajah Dirga, kemudian memperbaiki posisi kaca matanya yang mulai turun.

"Manajer pemasaran", Dirga memutuskan untuk menjawab dengan pelan.

"Kalau boleh tahu sudah berapa lama anda menjabat posisi itu...?", Nadhira kembali bertanya.

"Sebelum saya di pecat, itu... Sudah masuk tahun ke lima saya menjabat posisi itu", Dirga menjelaskan dirinya sendiri.

"Menurut anda sendiri bagaimana tanggapan anda dengan posisi pekerjaan dan tempat kerja...?", Nadhira bertanya rancu.

"Kalau mau jujur saya bukan orang yang pilih-pilih kerjaan, selagi saya mampu akan saya kerjakan. Kalau soal tempat, bagi saya dimanapun itu sama saja", Dirga berusaha menjawab sebaik mungkin.

"Boleh saya tahu perusahaan anda sebelumnya bergerak dibidang apa...?", Nadhira kembali bertanya.

"Roti", Dirga menjawab sesingkat yang dia bisa.

Nadhira membuka kaca matanya, kemudian melemparkan kaca matanya asal keatas meja. Detik berikutnya Nadhira menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Gaji berapa yang anda harapkan...?", Nadhira langsung to the point.

"Hah...?!", Dirga bertanya bingung.

"Gaji berapa yang anda harapkan...?", Nadhira kembali mengulang pertanyaannya.

"Maaf sebelumnya, saya saat ini di wawancara untuk pekerjaan...?", Dirga bertanya bingung.

"Menurut anda...?", kali ini Nadhira yang malah bingung.

"Oh... Tidak-tidak, saya hanya tidak percaya saja, saya tiba-tiba di panggil wawancara kerja. Padahal saya belum sempat menuliskan surat lamaran kerja...", Dirga berusaha tertawa kecil berusaha mencairkan suasana.

"Anda belum jawab pertanyaan saya sebelumnya", Nadhira bicara tajam.

"Oh... Maaf, saya... Saya... Tidak masalah dengan gaji. Itu sepenuhnya hak perusahaan, bagi saya asal cukup untuk menafkahi saya dan keluarga saya sudah bersyukur", Dirga memilih untuk menjawab secara diplomatik pertanyaan Nadhira sebelumnya.

"Jujur saja, perusahaan kita bergerak di properti, jual beli perumahan. Dan... Saat ini kita memang butuh seseorang untuk mengisi posisi Direktur Pemasaran, karena direktur yang sebelumnya pensiun karena alasan kesehatan. Tapi... Kita butuh untuk cabang di Lombok. Makanya saya bertanya apa anda tidak masalah di tempatkan diluar daerah sini?", Nadhira bicara kata perkata.

"Tapi... Selain dari perusahaan properti, Ilen juga punya bisnis Kafe. Kalau anda merasa keberatan pindah dari sini, kita bisa percayakan untuk mengelola kafe. Karena kebetulan owner kafe yang sebelumnya baru lulus sekolah, dan dapat beasiswa ke Singapura", Nadhira memberikan opsi lain kepada Dirga.