Gama melangkah perlahan menghampiri Erfly dan Cakya. Gama bisa membaca raut muka Erfly yang terlihat kesal. Apa Cakya masih belum bisa meredakan amarah Erfly karena sudah mengerjainya habis-habisan.
"Makan malam sudah siap, anak-anak ngajakin makan di batu besar, samping danau", Gama berusaha mencairkan suasana yang kaku antara Erfly dan Cakya.
Erfly tanpa aba-aba langsung meraih kruknya, kemudian melangkah dengan hati-hati menuju tempat yang Gama maksud. Gama berniat menyusul Erfly, akan tetapi dia kembali mengurungkan niatnya saat menyadari kalau Cakya tidak berniat beranjak dari posisinya.
Gama menoleh menatap Erfly, takut Erfly akan jatuh karena tersandung. Gama cukup lega, karena Nadhira sigap membantu Erfly menuju tempat yang mereka sepakati untuk menikmati makan malam.
Gama memilih duduk disamping Cakya. Kemudian menyikut lengan kiri Cakya.
"Kenapa itu muka malah di tekuk begitu...? Lamarannyakan sudah di terima. Lalu apa lagi...?", Gama berusaha menebak apa yang terjadi antara Cakya dan Erfly.
"Cakya digeplak sama tu anak", Cakya bicara kesal, dia masih tidak terima perlakuan Erfly yang memukul kepalanya, dan sekaligus memakinya.
"Ternyata, bertahun g'ak ketemu, hobinya masih sama. Menyiksa anak orang. Hahahaha...", Gama tertawa renyah mendengar pengakuan Cakya yang baru saja dipukul Erfly.
"Malah Cakya dibilang g'ak punya otak, orang gila", Cakya kembali melanjutkan menumpahkan kekesalannya terhadap Erfly.
"Kok bisa...?", Gama mulai curiga, pasti ada sesuatu yang terjadi antara Cakya dan Erfly sejak ditinggalkan berdua.
"Cakya jujur tentang keadaan Cakya yang sekarang, mahasiswa yang masih honorer. Takut g'ak bisa menuhin kebutuhannya dia. Kok dia mau menerima lamaran Cakya yang bukan siapa-siapa", Cakya menjelaskan panjang lebar.
Gama malah tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan Cakya yang menyedihkan bagi banyak orang.
"Kamu seperti baru kenal Erfly kemarin sore saja", Gama kembali tertawa terbahak-bahak.
Cakya malah memasang muka bingung menatap Gama yang masih saja tertawa.
"Kok malah ketawa...?", Cakya mulai protes, karena Gama tidak kunjung menjelaskan.
"Dari dulu, tu anak g'ak butuh duit. Sejak lahir dia sudah punya pohon duit sendiri. Kamu pakai acara ngomongin soal duit, soal kerjaan, soal ngejamin kehidupannya dia. Ya ngamuklah tu bocah", Gama kembali melanjutkan tawanya.
"Maksudnya...?", Cakya bertanya bingung, menatap lekat wajah Gama menunggu jawaban.
Gama merubah posisi duduknya agar lebih santai sebelum mulai bercerita.
"Kamu tahukan kos-kosan yang Gama rawat...?", Gama bertanya lembut.
"Iya, lalu...?", Cakya bertanya mulai tidak sabaran.
"Gama bohong soal itu", Gama membuat pengakuan, yang membuat Cakya malah semakin bertambah bingung.
"Hubungannya...?", Cakya kembali mengejar sepotong penjelasan dari Gama.
"Gama cerita, kalau Gama di titipkan rumah itu. Untuk Gama rawat, orang yang punya sedang diluar kota. Gama bohong soal itu", Gama memulai pengakuannya, yang telah dia tutup beberapa tahun belakangan dari Cakya dan semua orang-orang terdekatnya.
"Lalu...?", Cakya kembali bertanya, dia mulai penasaran dengan kelanjutan cerita Gama.
"Kos-kosan itu punya Gama. Dibeli oleh Erfly, dan diserahkan tanpa Gama harus membayar satu rupiahpun", Gama bicara jujur apa yang telah terjadi antara Gama dan Erfly soal kos-kosan miliknya.
"Kok bisa...?", Cakya bertanya bingung.
Orang gila mana yang mau memberikan hadiah rumah sebesar itu, bukan hanya satu akan tetapi 2 sekaligus. Dengan cuma-cuma tanpa pamrih.
"Itu dia lakukan setelah dia tahu, kalau Asri yang mendonorkan jantung dan mata untuknya. Terus... Erfly tahu kalau Gama kerja keras untuk melanjutkan hidup dan biaya sekolah", Gama menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
"Awalnya, Erfly bilang minta dicarikan rumah yang agak besar, dekat sekolahan. Dia mau buat kos-kosan, buat bantu-bantu anak yang kurang mampu, kasian kalau harus bayar kos mahal. Terus... Setelah semua selesai, dia malah menyerahkan surat rumah yang sudah atas nama Gama", Gama menahan ucapannya, karena suaranya tercekat oleh air matanya yang mau menyerbu keluar. Sekuat hati, Gama menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Gama beberapa kali tolak. Dan... Bilang ini anak cuma bercanda, dan hanya ingin mainin Gama saja. Hari gini, mana ada orang gila yang mau menghabiskan uangnya begitu saja. Bukan jumlah uang yang sedikit, buat membeli rumah dan merenofasi menjadi kos-kosan. Dan saat Gama bilang Gama g'ak pantas menerima itu semua. Dia dengan enteng nya jawab. Erfly hutang nyawa sama Asri, kalau bukan karena Asri, mungkin Erfly sudah lama g'ak ada di dunia ini. Anggap saja itu ucapan terima kasih Erfly sama Gama, karena telah menjaga malaikat sebaik Asri. Dan... Kamu tahu Erfly mengajukan syarat saat menyerahkan rumah itu sama Gama", Gama tersenyum lembut mengingat kejadian hari itu.
"Apa...?", Cakya bertanya karena merasa penasaran.
"G'ak boleh ada yang tahu kalau itu kos-kosan pemberian dia. Dan... Gama menganggap Erfly sebagai pengganti Asri", Gama menjawab lirih.
Cakya tidak bergeming sedikitpun mendengar dengan khitmat ucapan Gama.
"Yah... Kamu tahu sendirikan bagaimana Erfly menolong Mayang dan keluarganya. Dengan entengnya tu bocah membayar hutang keluarga Mayang kepada rentenir, kemudian membuat usaha ketringan untuk keluarga Mayang. Motornya diserahkan begitu saja untuk kendaraan agar mempermudah usaha ketringannya.
Lalu apa lagi yang kamu harapkan...? Uang bukan masalah buat tu bocah, justru dia akan marah besar kalau kamu bicara soal uang di depan dia. Seolah kamu ngeremehin dia.
Cakya... Erfly itu g'ak butuh uang kamu, dia hanya butuh kamu ada buat dia, kamu ada disampingnya. Itu saja", Gama menjelaskan panjang lebar, memberikan pencerahan kepada Cakya.
"Cakya... Takut dia g'ak akan bahagia Om", Cakya bicara lirih.
"Kebahagiaannya itu ada ditangan kamu. Erfly itu hanya butuh rasa nyaman, dia hanya butuh merasa dilindungi.
Kamu bukannya baru kenal dia kemarin sore Cakya. Ayo lah... G'ak ada yang lebih kenal siapa Erfly dibanding kamu.
Erfly itu paling benci dikasihani, dia juga g'ak suka orang mulai hitung-hitungan soal uang", Gama kembali mengingatkan Cakya bagaimana harus bersikap dihadapan Erfly.
"Udahlah, Gama udah lapar ini. Yok gabung sama yang lain", Gama memukul pelan kaki Cakya, agar segera bergerak mengikutinya menyusul yang lainnya.
***
Candra menjatuhkan HPnya, tubuhnya terasa lemas. Candra jatuh terduduk di lantai.
Malaikat kecil yang melihat Candra, langsung berlari menghampiri Candra dan bertanya.
"Papi tenapa...?", malaikat kecil bertanya bingung, mengusap pelan pipi Candra dengan jemari kecilnya.
Candra langsung menarik malaikat kecil kedalam pelukannya, tubuh Candra bergetar karena tangis yang tertahan. Malaikat kecil spontan menangis, mewakili kesedihan Candra.
Sinta berlari dari arah dapur begitu mendengar tangis malaikat kecil yang pecah begitu tiba-tiba. Sinta duduk disamping Candra yang masih memeluk malaikat kecil, matanya terlihat merah karena menahan tangis.
Sinta meraih HP Candra yang ada di lantai, kemudian menempelkannya kedaun telinganya.
"Hallo...?", Sinta bicara pelan, karena melihat panggilan masih tersambung.
"Iya buk. Kami dari klinik Bunda Sehati. Mau mengabarkan, kami baru saja menerima seorang pasien korban pelecehan seksual. Keadaan pasien sangat memprihatinkan, apa bisa dari pihak keluarga untuk datang kesini...?", terdengar suara perempuan dari ujung lain telfon.
"Maaf, sepertinya anda salah sambung", Sinta berusaha mengakhiri hubungan telfon.
"Maaf ibu, kita mendapat nomor ini dari pasien sendiri", perempuan di ujung lain telfon berusaha sekeras mungkin untuk meyakinkan Sinta.
"Pasien mengaku anak perempuan satu-satunya dari keluarga almarhum Wiratama", perempuan diujung lain telfon kembali melanjutkan ucapannya.
"Astagfirullah...", tangis Sinta pecah seketika, begitu perempuan diujung lain telfon menyelesaikan ucapannya.