Hanya tinggal Erfly dan Cakya yang masih setia duduk pada posisinya semula. Kang Untung dan mas Satia memutuskan untuk langsung pamit turun kembali ke pos, karena ada jadwal piket. Alfa, Nadhira, Mayang dan Gama sibuk berkolaborasi memasak makan malam.
"Cakya... Baik-baik saja...?", Erfly bertanya ragu, Erfly menatap lekat wajah Cakya yang duduk tepat dihadapannya.
"Iya", Cakya menjawab pelan, kemudian mengangguk perlahan berkali-kali seperti burung pelatuk.
"Tadi...? Preman...? Cakya...?", Erfly bicara terbata-bata karena bingung harus mulai dari mana.
Cakya tersenyum lembut, kemudian meraih jemari tangan Erfly. "Cakya baik-baik saja", Cakya hanya mengucapkan beberapa kata saja, kata yang Cakya yakini sangat ingin di dengar oleh Erfly.
"Lalu...? Ko Alfa...? Kata teh Nadhira dia mengalami penyerangan...", Erfly kembali bertanya karena merasa bingung, kabar terakhir yang dia peroleh dari Nadhira Alfa masih dirawat intensif, lalu mengapa Alfa bisa berada di gunung tujuh bersamanya saat ini.
"Maaf...", Cakya bicara pelan.
"Dan... Teh Nadhira...?", Erfly kembali bertanya.
"Maaf...", Cakya bicara tulus, mukanya memelas minta dikasihani.
"Tempat ini...? Cakya...?", Erfly tidak berani meneruskan ucapannya, karena takut salah bicara dan membuat Cakya sakit lagi.
Cakya tersenyum lembut, kemudian merubah posisi duduknya jadi duduk disamping Erfly. Menatap danau dengan latar langit penuh bintang.
"Cakya ingat semuanya", Cakya bicara dengan keyakinannya.
"Hah...? Sejak kapan...?", Erfly kembali mengejar jawaban, menatap lekat wajah Cakya.
"Saat di Garut, setelah bertemu Erfly, otak Cakya terasa kacau balau. Kenangan Cakya bersama Asri tumpang tindih dengan Erfly. Akan tetapi... Tidak ada satupun yang bersedia memberikan Cakya sepotong penjelasan", Cakya menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
"Sampai akhirnya Cakya putuskan untuk kesini. Cakya ketemu kang Untung dan mas Satia. Mereka yang cerita kalau kita mengalami kecelakaan waktu terakhir kali kesini. Terus... Saat perjalanan pulang, Cakya ketemu Hendra yang bilal masjid pinggir jalan itu", Cakya menatap wajah Erfly menunggu tanggapan.
"Iya...", Erfly menjawab pelan.
"Dia memperlihatkan foto kita waktu kesana", Cakya kembali diam sejenak mengingat kejadian saat itu.
"Dia... Juga menyebutkan nama yang sama dengan kang Untung dan mas Satia 'Erfly'. Saat Cakya lihat foto kita itu, wajah yang Cakya ingat Ilen bukan Erfly", Cakya berhenti sejenak, kemudian menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
"Dan... Tiba-tiba kepala Cakya sakit luar biasa, bahkan sampai pingsan. Cakya di bawa kerumah Hendra. Lalu... Hendra berinisiatif memberitahukan keluarga, malah berakhir dengan menelfon Mayang. Terus... Mayang datang, dan Cakya paksa bercerita yang sebenarnya", Cakya menjelaskan panjang lebar tanpa ada yang dia tutup-tutupi sedikitpun.
"Sejauh mana yang Cakya ingat...?!", Erfly kembali memastikan ucapan Cakya sebelumnya.
"Mulai dari pertemuan kita, Erfly siswa pindahan. G'ak sengaja ketemu digunung, dan Cakya harus menggendong Erfly turun, karena kaki Erfly terkilir, justru... Itu awal kita bisa dekat. Soal Erfly penerima donor jantung dan mata Asri. Bahkan... Kenapa kita berantem terakhir kali", Cakya mengalihkan tatapannya menatap lekat wajah Erfly.
"Terus... Bagaimana dengan teh Nadhira...? Bukannya Cakya mau dekat sama teh Nadhira...?", Erfly kembali meyakinkan dirinya sendiri kalau dia tidak sedang bermimpi Cakya tiba-tiba melamarnya.
"Setelah Cakya ingat semuanya. Cakya... Coba cari kontak Erfly dari situs perusahaan. Tidak ada petunjuk satupun, makanya Cakya berakhir dengan teh Nadhira. Beberapa kali Cakya bertanya soal Erfly, sampai akhirnya... Muncullah ide itu", Cakya bicara jujur.
"Ide itu...? Maksudnya...?", Erfly bertanya bingung karena tidak mengerti.
"Ide untuk Cakya melamar Erfly disini, pas tanggal kelahiran Erfly 15 Desember", Cakya menjawab disela senyumnya.
"HP... Cakya...?", Erfly bertanya ragu-ragu.
"1512. Itu... Nomor pertama yang muncul dalam ingatan Cakya, saat pertama kali Cakya menginjakkan kaki kedalam kamar Cakya, waktu pulang dari rumah sakit setelah kecelakaan waktu itu", Cakya merasa hangat dihatinya, saat mengingat kenangan itu.
"Kok bisa...?", Erfly tidak percaya dengan ucapan Cakya yang baru saja dia dengar.
"Percaya atau tidak. Kata Gama, mama, papa, Tio dan Wulan. Cakya sering nyebutin nama Erfly kalau sedang tidur. Entah kenapa... Nama itu muncul begitu saja. Tapi... Cakya sama sekali tidak punya ingatan tentang kenangan bersama nama itu.
Waktu di Garut, itu pertama kalinya Cakya bisa menemukan pazzel ingatan Cakya saat bertemu Erfly. Walaupun butuh kerja keras untuk menyatukan pazzel-pazzel kenangan itu.
Karena nama yang berbeda dari yang Cakya ingat", Cakya kembali menghentikan penjelasannya, menunggu pertanyaan selanjutnya dari bibir Erfly.
"Dan... Preman itu...?", Erfly kembali menagih penjelasan.
"Hanya setingan. Biar lebih dramatis. Sama seperti cerita karangan teh Nadhira, kalau... dokter Alfa diserang orang dan butuh perawatan intensif", Cakya mengakui perbuatannya.
Erfly langsung memukul lengan Cakya karena kesal, sampai Cakya mengaduh karena kesakitan. Kemudian mengusap lengannya yang terasa sakit.
"Ternyata... Sudah sekian lama g'ak ketemu, hobbynya tetap sama ya. Cengeng, ambekan, kepala batu, tukang nyiksa. Sakit tau...", Cakya bicara kesal.
"Jahat tau g'ak. Bikin Erfly jantungan saja. Kalau kambuh gimana...?", Erfly membalas kesal ucapan Cakya.
Cakya merangkul kedua kakinya, kemudian meletakkan kepalanya bertopangkan kedua lutut dan lengan tangannya. Tatapannya menatap lekat wajah Erfly, masih sama saja. Cakya selalu lebih menikmati wajah Erfly dibawah sinar bulan.
"Kenapa...?", Erfly bertanya bingung melihat Cakya yang hanya diam menatap wajahnya.
"Cakya sedang menikmati Kupu-kupu tak bersayap Cakya. Jangan menghilang lagi", Cakya bicara lirih, tetap tidak merubah posisinya semula.
"Tapi... Sekarang Erfly cacat. Erfly g'ak pantes buat Cakya. Cakya berhak memiliki pasangan yang jauh lebih baik dari Erfly", Erfly bicara pelan, menundukkan kepalanya, menyembunyikan mukanya yang sedih dari Cakya.
Cakya malah menjitak kepala Erfly.
"Auu...", Erfly spontan mengusap jelbabnya, walaupun pelan, akan tetapi Erfly masih merasakan sakit. Erfly menatap Cakya dengan tatapan tidak senang.
Cakya merubah posisinya, kembali menatap kearah danau.
"Malah... Cakya yang merasa tidak pantas untuk mendampingi Erfly", Cakya bicara lirih, dari nada suaranya, terdengar kalau Cakya sangat serius dengan ucapannya kali ini.
"Maksudnya...?", Erfly bertanya bingung.
Cakya merebahkan tubuhnya ketanah, menatap langit yang penuh bintang. Beruntung Cakya tidur diatas matras, sehingga pakaiannya tidak kotor karena tidak langsung menyentuh tanah.
"Cakya hanya anak kuliahan, pekerjaan hanya honorer Damkar. Kadang... Cakya sering memaki diri Cakya sendiri. Cakya harus sadar diri. Siapa Cakya, berharap bisa dapetin Erfly, pengusaha muda yang sukses. Mau dikasih makan apa coba anak orang...?", Cakya bicara lirih. Tatapannya jauh menatap langit yang penuh bintang.
Bukannya menjawab, Erfly malah mencubit paha Cakya.
Cakya spontan kembali dalam posisi duduk, mengusap pahanya yang terasa panas karena cubitan Erfly.
"Punya hobi baru sekarang...?!", Cakya bicara kesal menahan sakit.
"Otak udang. Punya otak itu digunain, jangan dipendem aja. Orang gila, dasar g'ak punya otak...!!!", Erfly memaki Cakya setengah berteriak.
Cakya mengerutkan keningnya karena tidak mengerti dengan tingkah Erfly. Kenapa tiba-tiba Erfly malah mengeluarkan sumpah serapah untuknya.