Sinta menghampiri pak Wiratama, dengan langkah ragu-ragu Sinta berhenti tepat dihadapan pak Wiratama. Sejujurnya Sinta takut menghadapi pak Wiratama, entah sudah berapa kali Sinta menjadi pelampiasan muntahan amarahnya pak Wiratama.
"Ada apa...?", pak Wiratama bicara ketus, karena mencium bau-bau masalah lagi yang akan menghampiri.
"Ada telfon dari rumah, bapak diminta pulang sekarang", Sinta bicara pelan nyaris tidak terdengar oleh pak Wiratama.
Pak Wiratama dan pengikutnya langsung meluncur pulang, saat masuk melangkah kedalam rumah. Mereka disuguhkan pemandangan seperti kapal yang baru saja terhantam ombak besar ditengah laut. Lantai penuh dengan pecahan keramik dimana-mana.
Seorang wanita muda terlihat menangis memeluk erat kaki istri pak Wiratama meminta belas kasihan.
"Ada apa ini...?", pak Wiratama bertanya bingung.
"Dirga, menghamili anak orang Yah...", istri pak Wiratama berteriak histeris.
"Anak sialan ini benar-benar berniat membuat kita mati berdiri", pak Wiratama bicara geram.
Pak Wiratama langsung menelepon Dirga, "Pulang sekarang...!!!", pak Wiratama memberi perintah.
Tidak perlu menunggu lama Dirga muncul dirumah. Wajahnya langsung pucat saat melihat seorang wanita duduk disalah satu kursi ruang tamu.
"Yah... ", Dirga mendekati ayahnya dan bicara takut.
Sebuah tamparan langsung mendarat dipipi kiri Dirga, karena tidak siap dengan respon ayahnya. Dirga tersungkur kelantai. Istri pak Wiratama hanya menangis duduk dikursi melihat anaknya ditampar oleh ayahnya.
" Kalau kamu mau membunuh kita, bukan seperti ini caranya Dirga...!!!", pak Wiratama naik pitam. Mukanya merah padam karena menahan amarahnya.
Kepalanya serasa mau pecah karena semua masalah yang datang bertubi-tubi. Istrinya baru saja pulang dari rawat inap dirumah sakit karena mengalami kecelakaan, Candra si bungsu malah masih dirumah sakit karena berusaha bunuh diri. Apa lagi kali ini...? Seorang wanita datang mengaku hamil anak dari putra sulungnya.
***
Pak Lukman memeriksa berkas yang ada diatas meja kerjanya dengan teliti.
Ardi masuk mendekati pak Lukman. "Om...", Ardi bicara pelan.
Pak Lukman langsung menghentikan kegiatannya, kemudian duduk menatap Ardi. "Ada apa nak...?", pak Lukman bertanya sembari melemparkan senyumnya.
"Ardi sudah dapat pastikan kaki tangan pak Wiratama akan bersaksi dipihak kita saat disidang nanti"
"Itu bagus, bagaimana dengan Cakya...?"
"Ardi sudah kerumahnya, dia bersedia melanjutkan tuntutan dan sekaligus menjadi saksi"
"Saya tidak mau ada kesalahan apapun"
"Orang yang menusuk Devi juga sudah berhasil kita amankan Om"
"Itu berita bagus, kamu pastikan tidak ada kesalahan sampai sidang. Saya mau Candra mendekam dipenjara, bila perlu pak Wiratama kita seret sekalian"
"Baik Om, kalau begitu Ardi permisi Om"
"Ardi... "
" Ya Om...?", Ardi berbalik saat mendengar namanya dipanggil.
"Terima kasih untuk semuanya", pak Lukman bicara dari lubuk hati yang paling dalam.
"Jangan sungkan Om, Ardi bukan orang lain", Ardi tersenyum sebelum meninggalkan ruangan pak Lukman.
"Kita lihat, seberapa lama orang angkuh dan sombong itu bisa bertahan", pak Lukman bergumam saat Ardi menghilang dibalik daun pintu ruangannya.
***
"Bagaimana ini...?", istri pak Wiratama meratap.
"Dirga sudah bilang ini kesalahan, Dirga juga sudah minta dia untuk menggugurkan kandungannya Yah. Tapi perempuan bodoh ini malah membuat keributan disini", Dirga bicara geram menatap penuh dendam kearah perempuan yang sedari tadi tidak berani mengangkat kepalanya.
"Aku g'ak minta apa-apa, aku hanya mau melahirkan anak ini dengan tenang. Itu saja", perempuan itu angkat bicara.
"Aku tidak menginginkan kehadirannya", Dirga menjawab cepat.
"Aku tidak perduli, aku hanya minta setelah ini kamu jangan pernah mencoba mencari keberadaan kami", perempuan itu memberi syarat.
"Tidak masalah. Kamu pergi dari sini sekarang juga...!!!", Dirga menghardik perempuan muda itu.
"Semoga kamu bahagia dengan keputusan kamu kali ini. Saya permisi", perempuan itu berlalu pergi dari hadapan pak Wiratama sekeluarga.
Pak Wiratama memijit kepalanya yang sakit. Dirga masih berdiri angkuh menatap kepergian perempuan muda yang malang itu.
"Kemana Sinta...?", pak Wiratama bertanya kepada kepala pengurus rumah saat tidak melihat sekretarisnya dimanapun.
"Maaf pak, Sinta sudah pamit pulang duluan, katanya kepalanya tiba-tiba pusing", perempuan setengah baya itu menjelaskan.
"Ya sudah, buatkan saya kopi, antarkan keruang kerja", pak Wiratama memberi perintah.
"Baik pak", perempuan setengah baya itu berlalu menuju arah dapur.
***
Erfly meletakkan makanannya diatas meja, kemudian meneguk minuman dinginnya.
"Dari kecil, Erfly udah biasa ko ditinggal sendiri", Erfly bicara acuh.
Kemudian kembali melanjutkan kegiatan makannya.
"Kenapa kamu g'ak tinggal sama koko aja dek...?", Alfa menawarkan untuk yang kesekian kalinya.
"Erfly g'ak mau merepotkan koko"
"Siapa yang ngerasa direpotin sih dek...? Justru koko seneng ada kamu yang nemenin koko dirumah"
"Erfly g'ak mau dijambak cewek koko lagi"
"Justru... Koko lagi jomblo nih"
"Itu malah lebih parah"
"Lha... Kok bisa...?"
"Ntar malah koko naksir lagi sama Erfly"
"Emang kamu g'ak mau sama koko yang super duper ganteng ini...? Kerja mapan, rumah ada, mobil mentereng, apa lagi coba yang kurang...?"
"Kurang sadar kalau dirinya terlalu narsis"
"Resek", Alfa langsung mengacak rambut Erfly.
Erfly malah tertawa kegirangan melihat wajah kesal Alfa.
***
Ibu Cakya duduk diteras bersama ayah Cakya. Dengan santai ayah Cakya menyeruput kopi buatan istrinya.
"G'ak terasa ya pa, anak-anak udah gede"
"Dikasih makan ya gede"
Ibu Cakya langsung mencubit perut suaminya, "Ih papa", ibu Cakya bicara kesal.
"Iya ma, anak-anak sudah mulai dewasa. Mereka sudah punya jalan pikiran dan dunianya masing-masing"
"Papa g'ak nyesel keluar dari kerjaan...?"
"Papa malah akan nyesel kalau tetap jadi bawahannya pak Wiratama, semena-mena sama orang lain. Selalu menganggap kita kecil di matanya"
"Terus papa mau kerja apa...?"
"Papa mau serius sama usaha kita ma, ya... Walau kecil karena kita mulai dari awal lagi. Papa juga kemarin dihubungi teman papa yang di Bali, katanya rekan kerjanya pada suka ukiran alas meja yang dari akar pohon teh. Rencana papa besok mau ke Kayu Aro ma, mau mencari siapa yang bisa memasok bahan baku. Kan sekarang sudah musim tanam lagi, jadi pohon teh yang lama bisa dimanfaatkan. Mama do'akan saja agar semua lancar"
"Aamiin allahuma Aamiin"
"Oh iya ma, gadis yang papa temui dikebun belakang rumah itu. Ternyata anaknya pak Jendral"
"Kok bisa...?"
"Katanya dia habis dari sini bersama tunangannya, mengantarkan motor Cakya"
"O... Pak Ardi... "
" Iya kali"
"Pak Ardi tangan kanannya pak Jendral memang pernah kesini, ya itu nganterin motor Cakya yang sudah diperbaiki. Tapi... Dia masuknya sendiri pa kerumah"
"Entahlah..."
"Tadi pak Ardi juga dari sini"
"Ooh ya...? Kenapa...?"
"Memberitahukan jadwal sidang perdana gugatan kasus anaknya pak Wiratama"
"Semoga saja semua berjalan lancar ma, agar masalah ini cepat selesai"
"Aamiin"
***
Alfa menatap Erfly tanpa berbicara, Erfly tidak sengaja menangkap sorotan mata Alfa. "Kenapa ko...?", Erfly bertanya bingung.
"Apa tidak ada sedikitpun tempat dihati kamu untuk aku dek...?", Alfa bicara pelan. Matanya penuh kasih.