Bel pulang sekolah bernyanyi nyaring, Gama masih belum beranjak dari kursinya. Demikian juga Erfly dan Mayang.
"Dek...", Gama tiba-tiba memanggil Erfly memecahkan kesunyian.
"Hem... Kenapa bang...?", Erfly bicara pelan. Pura-pura sibuk memasukkan buku yang ada di atas meja kedalam tas.
"Kamu... G'ak mau jenguk Cakya...?", Gama bertanya pelan.
Erfly tidak menjawab, dia hanya mematung bisu. Bayangan Cakya yang berpelukan dengan cewek di depan gerbang sekolah, masih menari-nari diotaknya.
"Em... Kamu g'ak balik...?", Gama langsung mengalihkan ucapannya. Karena tahu Erfly keberatan menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Em...", Erfly mengangguk pelan.
Mayang duduk dihadapan Erfly, menyerahkan buku laporan keuangan ketringan. Erfly membuka sekilas, kemudian menutup kembali buku yang ada di tangannya. Kemudian mengembalikan kepada Mayang kembali.
"Erfly g'ak ada masalah sama laporannya", Erfly bicara disela senyumnya, kemudian berniat untuk pergi dari hadapan Mayang dan Gama.
Mayang menahan tangan Erfly. "Kamu... G'ak mau ngecek dulu...?", Mayang bertanya ragu.
"Jangan khawatir, Erfly percaya kok", Erfly melemparkan senyum lembutnya kearah Mayang. "Erfly duluan", Erfly kemudian pamit dari hadapan Mayang dan Gama.
"Kenapa...? Muka kok ditekuk begitu...?", Gama mulai menggoda kekasihnya.
"Mayang... Ngerasa g'ak enak aja sama Erfly. Dia... Bahkan tidak mau melihat buku laporannya. Apa... Mayang pernah buat salah ya, sampai... Erfly kayak gitu...?", Mayang mengungkapkan kekhawatirannya.
"Erfly... Memang seperti itu. Dia tidak pernah mau mendikte bawahannya. Justru karna dia udah percaya dan nganggap kamu bukan orang lain lagi, makanya dia berani kayak gitu", Gama berusaha keras membesarkan hati kekasihnya. "Udah yuk, balik", Gama langsung beranjak dari kursinya.
***
Ibu Cakya menuju administrasi. Untuk melunasi biaya perawatan Cakya. Karena Cakya sudah diizinkan untuk pulang oleh dokter.
Setelah menunggu beberapa saat, suster yang berdiri dibalik meja menyerahkan kwitansi yang telah distempel lunas. Ibu Cakya melihat kwitansi dengan kening berkerut.
"Siapa yang bayar suster...?", ibu Cakya bertanya bingung.
"Maaf ibuk, saya kurang tahu. Karena pada saat pelunasan, bukan jadwal piket saya", suster muda itu bicara disela senyumnya.
"Tidak bisa di cek namanya...?", ibu Cakya kembali bertanya.
"Sebentar ibu", suster muda itu kembali mengecek komputernya. "Maaf ibu, tidak ada namanya", suster muda itu bicara tidak berdaya.
"Ya sudah, terima kasih suster", ibu Cakya bicara lirih. Kemudian memutuskan untuk kembali ke ruang rawat inap Cakya.
"Sudah ma...?", ayah Cakya bertanya, begitu melihat istrinya melewati daun pintu.
"Udah pa", ibu Cakya segera mengantongi kwitansi yang baru saja diterimanya dari pihak rumah sakit.
Sepanjang jalan pulang, ibu Cakya lebih banyak diam. Bahkan setelah meninggalkan Cakya didalam kamarnya, ibu Cakya langsung masuk kedalam kamarnya. Ayah Cakya memutuskan untuk menyusul istrinya.
"Ada apa...?", ayah Cakya bertanya pelan.
"Waktu mama mau bayar biaya rumah sakit abang, tapi... Ternyata sudah ada yang melunasi biaya rumah sakit abang", ibu Cakya menjelaskan.
"Siapa...?", ayah Cakya kembali bertanya.
Ibu Cakya menggelengkan kepalanya pelan, "G'ak tahu, tidak ada namanya. Suster yang lagi jaga juga tidak tahu, karena baru ganti shift", ibu Cakya bicara bingung.
"Ya... Sudah, anggap saja itu rejekinya abang", ayah Cakya bicara pelan, sembari menggosok pelan lengan istrinya.
***
Erfly hanya pulang kerumah untuk berganti pakaian, dan mandi. Kemudian langsung menuju rumah sakit.
"Dek...", Alfa memanggil Erfly, saat keluar dari ruang operasi.
Erfly menoleh ke sumber suara. "Koko...? Habis operasi Ko...?", Erfly melemparkan pertanyaan basa-basi.
"G'ak... Habis main catur", Alfa menjawab asal.
"Ngarang....", Erfly membalas kesal.
"Lagian kamu, udah jelas-jelas Koko dari ruang operasi. Pake ditanya", Alfa tertawa renyah. "Kamu udah makan...?", Alfa tiba-tiba bertanya.
"Siang tadi, makan di kantin sekolah", Erfly menjawab apa adanya.
"Temani Koko ke warung Uni Yun yang di bukit Sentiong", Alfa mengajukan permintaan.
"Asiap", Erfly memberi posisi hormat bendera kepada Alfa.
Alfa mengacak rambut Erfly sembari melangkah ke arah parkiran. Saat melewati ruang UGD, mereka berpapasan dengan Rima.
"Suster...", Erfly mengangguk sopan sembari melemparkan senyumnya.
Rima tidak menjawab, hanya membalas mengangguk dan berlalu pergi secepat kilat dari hadapan Alfa dan Erfly.
"Suster Rima kenapa Ko...?", Erfly bertanya bingung dengan tingkah laku Rima.
"Kebelet kali", Alfa menjawab asal.
"Apa sih", Erfly mendorong tubuh Alfa agar menjauh darinya.
Bukannya marah, malah Alfa tertawa terbahak-bahak. Bercanda dengan Erfly merupakan hiburan tersendiri untuk Alfa. Ditengah jadwal operasi yang penuh, tubuhnya tidak jarang protes merasa kelelahan. Bahkan tidak jarang, Alfa merasa jenuh dengan rutunitasnya saat ini. Entah kenapa, setiap kali mendengar suara bocah ini, atau menatap senyumnya saja, selalu berhasil menguatkannya kembali.
***
Gama masuk kedalam kamar Cakya, tanpa permisi langsung berbaring disamping Cakya. Membuka novel horor yang dibawanya.
"Abang... Udah dapat kabar tentang Erfly...?", Cakya tiba-tiba bertanya, jemarinya masih asik bermain diatas senar gitar dipelukannya.
"Dia tadi masuk sekolah", Gama menjawab pelan, tatapannya masih fokus pada novel yang ada dijemari tangannya.
"Hah...?", Cakya menghentikan permainan gitarnya, kemudian menatap lekat wajah Gama. "Terus... Kenapa nomornya g'ak bisa dihubungi...?", Cakya kembali mengejar jawaban.
"Ayahnya dirawat dirumah sakit. Lupa kali, ditarok dimana HPnya", Gama menjawab asal.
Cakya mengerutkan keningnya, "Ayahnya sakit...? Bukannya... Ayahnya di Singapur...?", Cakya bertanya bingung.
"Iya...", Gama menjawab santai. "Tapi... Di bawa ke Bali, kan dokter pribadi ayahnya Erfly Babanya dokter Alfa. Makanya... Erfly hilang berhari-hari, nyusulin ayahnya di Bali", Gama menjelaskan panjang lebar, Gama tetap tidak melepaskan tatapannya dari novel horor yang ada ditangannya.
"Hem...", Cakya menggumam pelan. "Terus... Kok Erfly udah masuk sekolah...? Udah sembuh ayahnya yang di rawat di Bali...?", Cakya kembali bertanya.
Gama meletakkan novel horornya di atas kasur, kemudian bergerak menuruni kasur.
"Om mau kemana...?", Cakya bertanya bingung, bukannya menjawab pertanyaan Cakya, malah beranjak pergi.
"Laper, nyari makanan", Gama menggosok pelan perutnya yang keroncongan.
"Kakak masak apa...?", Gama bertanya kepada ibu Cakya, begitu tiba di dapur.
"Kamu belum makan Gam...?", ibu Cakya bertanya heran. Biasanya kalau datang Gama langsung menuju meja makan, bukannya malah langsung ke kamar Cakya.
Gama menggeleng pelan.
"Lha... Kirain sudah makan, makanya kamu langsung ke kamarnya Cakya. Sudah makan sanah", ibu Cakya memberi perintah, sembari mencuci piring kotornya.
Gama mengambil piring bersih dan gelas dari rak piring disamping ibu Cakya, kemudian menuju meja makan. Setelahnya, tidak ada suara lagi yang terdengar. Kecuali suara piring Gama beradu dengan sendok dan garpu.
Setelah makan, Gama langsung mencuci piring dan gelas yang dia pakai.
"Gam...", ibu Cakya bicara pelan sembari memasukkan air kedalam mesin cucinya.
"Kenapa kak...?", Gama menjawab santai, tetap fokus pada pekerjaannya.
"Kemarin... Kakak ketemu Erfly di rumah sakit Umum", ibu Cakya bicara ragu, otaknya kembali memutar ingatan kemarin, saat berpapasan dengan Erfly di parkiran rumah sakit.
Gama tidak menanggapi, dia masih fokus mencuci piring.
"Erfly... Sama abang lagi g'ak punya masalahkan...?", ibu Cakya tiba-tiba bertanya diluar dugaan Gama.
"Em... Mereka baik-baik saja kak", Gama bicara terbata-bata.
"Tapi... Kenapa dia... G'ak pernah kesini atau... Jenguk abang dirumah sakit. Padahal diakan ketemu kakak di parkiran, waktu itu", ibu Cakya mulai protes.
"Ayahnya... Erfly lagi dirawat kak. Kabarnya... Serangan jantung. Tiba-tiba pingsan saat memimpin rapat direksi, di Singapur", Gama menjelaskan secara garis besar.
Ibu Cakya terperangah mendengar ucapan Gama, atau malah lebih tepatnya bingung. Karena semua pertanyaan bertubi-tubi menyerbu benaknya seketika.