webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

G'ak punya otak

Sudah seminggu Candra berada di Jambi, semua masalah dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Bahkan Candra sudah mengganti semua kerugian akibat kebakaran. Candra juga sudah menyewa sebuah rumah yang cukup besar untuk menampung para karyawan yang masih dalam uji coba.

Karena merasa lapar, Candra nekat keluar sendiri dengan mobil. Padahal sudah hampir tengah malam, bahkan Candra belum hafal betul daerah tempat dia menginap. Benar saja, setelah makan, Candra malah nyasar semakin menjauh dari hotel tempat dia menginap.

Tiba-tiba seorang perempuan dengan baju compang-camping mendarat diatas kap mobilnya. Candra segera menginjak rem, sehingga perempuan itu terpelanting cukup keras.

"Astagfirullah...", Candra berusaha memenangkan dirinya.

Candra bergerak cepat menghampiri perempuan yang baru ditabraknya, terlihat darah mengalir dari pelipis dan tangan kanannya yang terkoyak.

"Tolong... Selamatkan aku... Pergi...", perempuan itu meracau tidak begitu jelas. Matanya terlihat sangat ketakutan, seperti baru bertemu hantu saja.

Candra segera mengangkat tubuh perempuan itu, masuk kedalam mobil. Candra memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, dalam setengah sadar, perempuan itu memberi petunjuk arah, sehingga Candra berhasil parkir di parkiran sebuah rumah sakit.

Candra segera mengangkat tubuh perempuan itu, yang telah pingsan, Candra menerobos masuk IGD. Suster jaga langsung bereaksi, memberikan pertolongan kepada perempuan yang dibawa Candra.

Setelah satu jam berlalu, perempuan itu mulai sadar, dan berontak ingin pergi. Suster dan dokter bahkan kewalahan untuk menahan perempuan itu agar bisa tenang. Candra yang melihat dari luar kaca IGD menerobos untuk masuk.

Perempuan itu langsung menggenggam jemari tangan Candra, "Aku harus kembali lagi....", perempuan itu menangis menghiba kepada Candra.

"Kamu tenang dulu, kamu harus istirahat", Candra memberi saran.

"G'ak bisa... Adik aku masih disana...", perempuan itu bicara dengan tangisnya yang mengalir deras.

"Maaf suster, dokter... Bisa tinggalin kami berdua...?", Candra memohon seketika.

Hanya dalam hitungan detik ruangan IGD langsung sepi, hanya ada Candra dan perempuan yang masih duduk diatas tempat tidur dengan jarum infus yang menembus kulitnya. Lukanyapun sudah dijahit, dan diperban dengan baik.

Candra duduk diatas tempat tidur, duduk tepat dihadapan perempuan yang menangis menghiba kepadanya.

"Kamu bisa cerita pelan-pelan, ada apa sebenarnya...?", Candra bertanya pelan.

"Aku Mutia, aku tinggal bersama ayah tiri yang suka mabuk-mabukan dan judi. Karena hutangnya yang menumpuk, dia selalu dikejar preman dan dipukuli. Sampai akhirnya bertemu tangan kanan germo bernama Wika", perempuan yang diketahui bernama Mutia menangis tersedu sebelum melanjutkan ceritanya.

"Siapa...? Wika...?", Candra berharap dia salah dengar, atau seg'aknya itu bukan Wika saudara perempuannya.

"Iya, Wika. Dan... Aku dan adikku dijual ke rumah bordir", Mutia kembali terisak.

"Lalu kenapa kamu bisa menabrak mobilku...?", Candra bertanya bingung.

"Aku lari saat disuruh melayani pelanggan. Tapi... Adikku masih disana, bantu aku...", Mutia kembali terisak memohon belas kasihan Candra, tangannya menggenggam erat jemari tangan kanan Candra.

Candra memijit pelan keningnya yang terasa pening, Mutia masih menangis dan memohon dengan keningnya ditempelkan ke punggung tangan Candra.

"Kita kesana", Candra tiba-tiba saja mengeluarkan ucapan tanpa pikir panjang lagi.

Candra bergegas menuju mobilnya, meraih jaket yang ada dikursi belakang, memberikan kepada Mutia. "Pakai itu", Candra bicara lembut.

Mutia mengangguk pelan, kemudian memakai jaket pemberian Candra, menutupi bajunya yang sudah compang-camping.

20 menit perjalanan Candra sampai disebuah rumah yang cukup terpencil. Candra tanpa pikir panjang lagi langsung masuk, beberapa wanita genit memakai baju belum jadi langsung mendekati Candra. Candra tidak menggubris mereka satupun, sampai akhirnya langkah Candra terhenti saat seorang perempuan yang dikenalnya berdiri tepat dihadapannya.

"Candra...?!", perempuan itu bicara heran. Perasaan takut, malu dan bingung bercampur aduk dalam pikirannya.

"G'ak punya otak", Candra mendaratkan tamparan ke pipi Wika. Emosinya sudah naik ke ubun-ubun.

Wika menangis merangkul kaki Candra.

"Apa yang ada diotak kamu...?!", Candra berteriak memaki Wika. Mukanya sudah merah padam karena amarahnya.

"Wika minta maaf... Wika salah...", Wika menangis sejadi-jadinya, memohon ampun kepada Candra.

"Mati-matian aku cari kamu...!!! Apa yang ada di otak kamu...? Butuh uang...? Tinggal ngomong begok...!!!", Candra berteriak kesal. Dia sudah tidak menyaring lagi omongannya, semua amarah mengalir begitu saja.

"Aku gelap mata. Setelah aku bahkan g'ak dianggap sama Cakya. Bocah ingusan. Dia aja nolak aku. Makanya... Aku...", Wika berusaha mencari pembelaan atas perbuatannya.

Candra memegang dagu Wika dengan jemari telunjuk dan jempol tangan kanannya, "Jangan nyalahin orang, untuk membenarkan perbuatan kamu...!!!", Candra bicara geram. Sudah menjadi tabiat Wika, selalu mencari kambing hitam atas perbuatannya.

Perempuan yang menggoda Candra tadi mundur beberapa langkah, mereka berteriak ngeri melihat Candra murka. Dua lelaki berbadan besar langsung menghampiri, dan berusaha meraih Candra.

"Jangan ada yang menyentuh dia, dia pelanggan saya", Wika bicara dingin.

Dua lelaki berbadan besar itu langsung mundur beberapa langkah, menjauh dari Candra. Wika tidak mau mengambil resiko, dia meraih pergelangan tangan Candra, kemudian masuk kedalam salah satu kamar terdekat.

Candra menghentakkan lengan tangannya kasar, sehingga cengkraman tangan Wika terlepas.

"Ke... Kenapa kamu bisa disini...?", Wika bertanya pelan, air mata sudah menyerbu ke bola matanya.

"Aku yang harusnya nanya, kenapa kami disini...?", Candra membalas sengit.

"Saat aku hilang arah, seorang teman menawarkan pekerjaan dan tempat tinggal. Dan... Aku dicekoki obat perangsang, dan...", Wika tidak sanggup melanjutkan ucapannya, tangisnya pecah tidak mampu dibendungnya lagi.

"Kamu bisa pergi dengan aku sekarang", Candra bicara pelan.

"G'ak bisa, mereka punya Vidio aku...! Dan... Aku... G'ak bisa biarkan keluarga angkat aku dibunuh, kalau tahu aku kabur, belum lagi kamu dan bang Dirga...", Wika menangis tersedu-sedu. Entah meratapi nasibnya, atau malah mengutuki keadaan. "Kamu kenapa bisa disini...?", Wika balik bertanya, dia menghapus kasar air matanya.

"Aku kesini mau menyelamatkan adiknya Mutia", Candra langsung keintinya, tidak berminat untuk main-main.

"Kamu g'ak akan keluar dengan selamat", Wika tiba-tiba bicara diluar dugaan.

"Hah...?", Candra bertanya bingung, berusaha memastikan ucapan Wika sebelumnya.

"Bang Bogel g'ak akan ngelepasin kamu gitu aja. Dia g'ak kenal ampun", Wika bicara ngeri.

"Pasti ada jalan", Candra bicara penuh keyakinan.

"Hanya ada satu cara", Wika bicara lirih.

"Apa...?", Candra kembali mengejar jawaban.

"Kamu tebus dia dari bang Bogel. Tapi... Dia g'ak akan kasih harga murah. Apa lagi Mutia berhasil kabur", Wika kembali memberikan gambaran.

"Berapa...?", Candra bertanya dengan penuh keyakinan.

"1 m", Wika bicara asal.

Candra diam sejenak, kemudian menelfon Sinta. "Siapin uang satu Miliar, dalam 1 jam temui Candra. Nanti Candra kirim alamatnya", Candra langsung memutuskan hubungan telfon.

Wika tertawa pahit, "Demi orang lain kamu bersedia mengeluarkan uang yang segitu banyaknya", Wika kembali tertawa remeh.

"Kalau kamu mau membusuk disini. Setidaknya jangan pernah merusak masadepan orang lain", Candra melemparkan kritikan kasar kepada Wika.

Wika kembali tertawa, kali ini dia menertawakan dirinya sendiri. "Sebaiknya kamu keluar, pergi ke ujung jalan. Disini kamu tidak aman", Wika memberi saran.

"Aku g'ak akan bergerak sedikitpun dari sini, tanpa adiknya Mutia, aku udah janji akan bawa adiknya", Candra malah memutuskan untuk menantang Wika.

"Aku yang akan bawa dia ke kamu tepat 1 jam dari sekarang", Wika memberikan janji.

"Aku harap kamu pegang kata-kata kamu barusan. Seg'aknya jadilah orang yang berguna buat orang lain, walaupun hanya sekali dalam seumur hidup kamu", Candra memberi pituah sebelum meninggalkan Wika.

Sesuai janjinya, Wika muncul tepat dalam 1 jam kemudian bersama seorang gadis belia. Wika menyerahkan gadis itu yang langsung berhambur kepelukan Mutia, tangisnya terdengar memilukan ditelinga. Candra menyerahkan sekoper uang ketangan Wika.

"Terima kasih", Candra bicara lirih, saat Wika menerima koper pemberiannya.

"Sebaiknya bawa dia keluar kota. Jangan sampai bang Bogel dan anak buahnya bisa menemukan mereka", Wika memberikan saran, sebelum menghilang dari hadapan Candra.

Sinta menghampiri Candra yang mematung, menatap punggung Wika yang kian menghilang dalam remang lampu jalanan nan redup.

Sinta menarik Candra kepelukannya secara perlahan, Candra langsung duduk lemas keatas aspal jalanan. Candra memeluk Sinta seerat yang dia bisa, kemudian menangis sejadi-jadinya.