webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Perjalanan hidup kamu masih panjang dek

Cakya hanya duduk diam menatap layar laptopnya, semua ingatannya yang muncul sudah ditulis Cakya satu-persatu. Cakya kembali membaca perlahan semua tulisannya yang dibuat dalam bentuk kolom-kolom. Menyusun pazzel ingatannya yang berceceran.

Semua info dari Satia, Hendra bahkan Mayang sudah ditulis tanpa ada yang dia lewatkan. Bahkan Cakya sempat meminta fotonya bersama Erfly dan Hendra, dipandangnya berkali-kali foto yang dia dapat.

"Sebenarnya kamu siapa...?", Cakya bergumam pelan.

"Bang... Dipanggil mama makan", Wulan tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar Cakya.

Spontan Cakya menutup kasar layar laptopnya. "Hem...", Cakya bergumam pelan. Kemudian melangkah menyusul Wulan yang sudah duduk dimeja makan.

"Abang ada kuliah bukan hari ini...?", ibu Cakya bertanya bingung. Karena sampai siang, Cakya masih tidak keluar dari kamarnya.

"Sore", Cakya menjawab pelan seperti biasanya.

"Em... Gama kemana ya...? Udah beberapa hari ini g'ak pernah kelihatan...?", ayah Cakya tiba-tiba sekarang yang bertanya.

"Renovasi kos-kosan", Cakya menjawab pelan, kemudian memasukkan makanan dalam suapan besar kedalam mulutnya.

"Kemaren mama arisan dirumah bu RT. Anaknya bu RT baru pulang dari Mesir, kuliahnya sudah selesai. Katanya dia mau buka pesantren tahfiz disini. Anaknya cantik, ayu, soleh lagi, dia ternyata masih ingat abang. Abang ingat g'ak anaknya bu RT...?", ibu Cakya bicara dengan antusias. Sengaja memancing minat Cakya.

Cakya tidak berminat untuk menanggapi ucapan ibunya, dia hanya menggeleng pelan. Seraya mempercepat makannya, agar segera berlalu dari hadapan ibunya. Cakya mencium aroma-aroma perjodohan yang tidak menyenangkan.

"Ntar kapan-kapan, abang ikut mama ke rumah bu RT. Kita kenalan...", ibu Cakya kembali bersemangat.

Cakya segera meletakkan sendok dan garpunya, piring yang ada dihadapannya telah bersih dari makanan. Cakya langsung menenggak habis minumannya, "Cakya duluan", Cakya bicara pelan sesaat sebelum meninggalkan meja makan.

Ibu Cakya tidak berani bicara lagi, tatapannya berubah sendu, menatap kepergian Cakya yang menghilang dibalik daun pintu kamarnya.

"Mama bingung harus bagaimana lagi menghadapi abang...", ibu Cakya bicara lirih, matanya mulai berkaca-kaca.

"Mama yang sabar, mama tahu sendiri bagaimana kerasnya abang. Untuk saat ini, jangan ganggu abang dulu, mungkin dia butuh waktu buat sendiri, kembali menata hatinya", Wulan memberikan pendapatnya, berusaha membesarkan hati ibunya.

"Sampai kapan...? Ini sudah lebih dari 2 tahun abang seperti itu...", ibu Cakya kali ini meneteskan air mata. Dia tidak sanggup lagi membendung tangisnya yang menyerbu keluar.

Ayah Cakya mengusap pelan punggung istrinya. "Benar kata Wulan. Kita tidak bisa memaksa abang begitu saja, ini masalah hati ma", ayah Cakya bicara lembut. "Sebaiknya mama lanjut makan lagi, nanti malah sakit, abang bisa makin sedih lho", ayah Cakya kembali merayu istrinya agar melanjutkan makan.

Cakya merebahkan tubuhnya keatas tempat tidur. Pikirannya menerawang, terbang jauh ke Garut. Gadis yang menggunakan kruk saat dipantai, sepertinya mirip dengan foto yang diberikan Hendra.

"Tapi... Apa iya, mereka orang yang sama...? Tapi... Kata Gama namanya Ilen...? Sedangkan yang difoto namanya Erfly...? Kata Mayang juga Erfly...? Sebenarnya ada apa ini...?", Cakya frustrasi sendiri memikirkan siapa gadis yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.

***

Candra masih banyak diam, sejak kejadian kemarin. Candra memutuskan untuk membawa Mutia dan adiknya ke Sungai Penuh. Memberi Mutia pekerjaan dikantor, dan adiknya Mutia melanjutkan sekolah lagi.

Gadis itu baru berumur 15 tahun, Candra tidak mau gadis belia itu kehilangan masadepan. Sinta sudah berhasil mendaftarkan adiknya Mutia kesekolah terbaik di Sungai Penuh, itupun karena Sinta kenal dengan kepala sekolah, jadi bisa memuluskan usahanya.

Candra duduk menatap keluar jendela. Dilihatnya Mutia dan adiknya sedang sibuk merapikan taman. Padahal sudah dilarang oleh Sinta, tetap saja mereka keras kepala.

"Perjalanan hidup kamu masih panjang dek", Sinta seperti biasa menyandarkan kepalanya dipundak kanan Candra, ditopang dengan punggung tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menggantung di bahu kanan Candra.

Sinta memberi semangat kepada Candra. Sinta selalu tidak tega, melihat kesedihan diraut wajah Candra. Hatinya yang demikian lembut, selalu membuat dia merasa bersalah atas semua kesalahan 2 saudaranya.

Candra tersenyum pahit mendengar ucapan Sinta. Tiba-tiba malaikat kecil langsung memeluk kaki Candra.

"Astagfirullah...", Candra kaget karena malaikat kecil yang tiba-tiba menghantam kakinya.

"Papi tayak patung", malaikat kecil bicara dengan memasang muka kesal nan menggemaskan.

Candra langsung meraih malaikat kecil, menariknya kedalam pelukannya. "Malaikat kecilnya papi mau makan apa hari ini...?", Candra bertanya lembut. Kemudian berdiri, dengan menggendong malaikat kecil dengan tangan kanannya.

Sinta tersenyum menatap pemandangan yang ada dihadapannya saat ini. Untuk saat ini, memang hanya malaikat kecil yang bisa menghibur Candra. Satu-satunya kesalahan Dirga yang Sinta dapat syukuri. Tidak pantas memang, akan tetapi... Memang seperti itu adanya. Hanya malaikat kecil yang selalu bisa membuat Candra kembali tersenyum lagi. Melupakan sejenak masalahnya.

"Em... Apa ya...?", malaikat kecil meletakkan jari telunjuk kanannya dikepala, sebagai tanda dia sedang berpikir keras.

Candra gemas melihat kelakuan malaikat kecil, langsung mencium malaikat kecil sepuasnya. Yang dibalas dengan tawa renyah malaikat kecil.

"Udah dapat belum...? Mau makan apa...?", Candra kembali bertanya setelah melepaskan ciumannya.

"Es teyim stobely", malaikat kecil berteriak girang.

"Oke...! Kalau gitu siap-siap dulu. Kita berangkat", Candra memberi instruksi kepada malaikat kecil, menurunkannya dari lengan tangan kanannya.

Malaikat kecil langsung berlari menerobos kedalam kamarnya tanpa aba-aba.

"Mbak, tolong pesanin restoran keluarga aja. Sekalian pesan aja makanannya untuk 5 orang", Candra memberi instruksi kepada Sinta.

Sinta mengangguk paham, kemudian pergi agak menjauh dari Candra. Melakukan perintah Candra.

Hanya dalam hitungan menit, malaikat kecil sudah berhasil menyeret ibunya ikut serta ke ruang tamu. Menemui Candra yang sedang sibuk dengan HPnya.

"Kak. Jangan lupa bawa makanan dan susu malaikat kecil", Candra mengingatkan Tasya sebelum menarik malaikat kecil kepangkuannya

Tasya hanya mengangguk pelan, kemudian menuju arah dapur. Menyiapkan perlengkapan malaikat kecil.

***

Erfly masih menatap kosong ketengah laut, matahari yang mulai menghilang ditelan laut, selalu menjadi pemandangan favoritnya. Nadhira yang sejak tadi sudah berdiri dibelakang Erfly tidak berani mendekati Erfly.

Saat langit mulai gelap, Erfly berniat untuk kembali kerumah, "Teh Nadhira...? Udah lama...?", Erfly bertanya heran, saat mau mengambil kruknya, Nadhira sudah berdiri dibelakangnya.

"Cukup untuk ikut menikmati mentari yang menghilang ditelan lautan luas", Nadhira bicara diplomatik.

Nadhira tanpa diminta, segera membantu Erfly untuk berdiri. Kemudian berjalan dibelakang Erfly menuju rumah.

"Ilen magrib dulu. Kalau ada yang mau mbak sampein nanti aja", Erfly bicara pelan, kemudian bergegas masuk kedalam kamarnya.

Nadhirapun menuju mushala kecil yang ada disamping taman belakang rumah. Nadhira melakukan sholat magrib dengan khusuk. Setelah sholat, Nadhira membantu Salwa menyiapkan makan malam.

Erfly muncul tepat setelah semua selesai tertata rapi diatas meja makan. Erfly tidak basa-basi lagi, segera makan bersama Nadhira dan Salwa.

Setelah makan, Erfly memilih keruang kerjanya. Erfly sengaja naik kursi rodanya, karena merasa sedikit lelah. Nadhira setia mendorong kursi roda Erfly dengan perlahan menuju ruang kerja Erfly.

"Ada apa teh...?", Erfly bertanya pelan, setelah Nadhira duduk tepat dihadapannya.

"Teteh... Mau minta izin...", Nadhira bicara malu-malu.

"Izin apa...?", Erfly bertanya pelan.

"Sebenarnya... Teteh udah hampir 2 bulan belakangan dekat dengan cowok", Nadhira bicara ragu.

"Terus...?", Erfly bertanya ringan.

"Awalnya kenal di FB. Terus... Kopdar. Dan... Kemarin, dia minta teteh kenalan sama keluarganya", Nadhira bicara pelan.

"Hem... Terus...?", Erfly bertanya pelan, dia mulai tertarik mendengar kisah hidup Nadhira.

"Dia masih pegawai honorer. Orangnya baik, sopan, sholatnya juga rajin", Nadhira menjelaskan secara garis besar, Nadhira menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Dia... Udah nemuin orang tua teteh di kampung, makanya... Sekarang dia minta teteh yang kenalan sama keluarganya dia", Nadhira menjelaskan panjang lebar.

"Teteh sendiri gimana...?", Erfly kembali menyelidiki.

"Sekilas bertemu, teteh cocok. Dia tidak mau main-main. Katanya mau serius, makanya minta teteh nemuin keluarganya, kenalan gitu. Kalau cocok. Mau kejenjang yang lebih serius katanya. Ayahnya siap ngasih modal buat dia usaha. Yah... Walaupun secara umur dia lebih muda dibanding teteh...", Nadhira menjelaskan dengan senyum yang tidak pernah lepas menghiasi bibirnya.

"Jadi... Maksud teteh minta izin apa...?", Erfly bertanya bingung.

"Teteh mau izin beberapa hari kedepan untuk ketempat orang tua dia, biar orang tuanya kenalan teteh begitu...", Nadhira bicara kata perkata dengan perlahan, dia membaca reaksi yang muncul diwajah Erfly.