webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Dia perempuan yang kuat

Candra masih sibuk dengan pekerjaannya, setelah pertemuannya dengan Wulan. Candra berusaha keras untuk tidak memikirkan Wulan dengan menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

Sinta melangkah perlahan menghampiri Candra. "Dek...", Sinta bicara dengan suara paling pelan.

"Iya mbak...", Candra menjawab pelan, tanpa menatap wajah Sinta.

"Tasya telfon, katanya nomor kamu g'ak bisa di hubungi", Sinta bicara pelan.

Candra spontan meraih HPnya yang berada di atas meja kerjanya, "Astagfirullah, Candra lupa cas mbak", Candra bicara pelan, kemudian menyandarkan punggungnya ke punggung kursi. "Ada apa mbak...?", Candra memijit pelan keningnya.

"Malaikat kecil masuk rumah sakit", Sinta bicara pelan.

"Apa...? Kenapa...? Kapan...?", Candra melemparkan pertanyaan bertubi-tubi.

"Kamu tenang dulu dek, Malika di rumah sakit Umum, kata dokter dia gejala tipes, jadi... Harus di rawat selama seminggu", Sinta bicara lembut.

Candra segera menutup semua berkas yang ada di hadapannya. Kemudian memasukkan HP kedalam kantong celananya, kemudian Candra menyambar kunci mobil. Berlalu pergi bersama Sinta kerumah sakit.

Candra melangkah setengah berlari mencari ruangan rawat inap Malika. Sebelumnya Tasya sudah memberitahukan nama dan nomor ruangan Malika dirawat. Candra membuka kasar daun pintu, terlihat Malika sedang terbaring pucat diatas tempat tidur, saluran infus terpasang di jemari tangan kanannya.

Candra mengecup lembut kening Malika, Malika perlahan membuka matanya.

"Papi...?", Malika bertanya bingung, heran mengapa jam segini Candra bisa ada di rumah sakit.

"Papi jadi membangunkan kamu ya...? Papi minta maaf sayang", Candra bicara dengan nada bersalahnya.

"G'ak apa-apa, lho...? Mami disini juga...?!", Malika menatap kearah Sinta yang sedang meletakkan barang bawaannya diatas lemari kecil.

Candra mengusap pelan pucuk kepala Malika, kemudian mengecup penuh sayang.

"Mayang g'ak apa-apa papi, hanya butuh waktu istirahat aja", Malika tersenyum manis.

"Kamu mau makan apa sayang...? Biar papi beliin", Candra bertanya lembut.

"G'ak usah pi, Malika mau istirahat saja. Tadi... Mama udah beliin bubur", Malika kembali tersenyum.

"Ya udah, kamu istirahat sayang", Candra kembali mengecup kening Malika dengan sayangnya.

***

Alfa keluar dari ruang ICU diikuti dokter yang lain.

"Kalau begitu kami permisi dokter", salah satu dari dokter mohon diri.

Alfa hanya mengangguk pelan.

"Bagaimana keadaan Ilen...?", Satia langsung menyerbu Alfa dengan pertanyaan.

Yang lain juga berdiri dibelakang Satia, menunggu dengan wajah tegang.

Alfa tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Satia, "Dia perempuan yang kuat", Alfa bicara lirih penuh makna.

Satia bernafas lega mendengarkan ucapan Satia.

"Untuk saat ini Ilen baik-baik saja, kita masih harus melakukan beberapa tes lagi kepada Ilen. Ilen... Sudah bisa di pindahkan ke ruang rawat inap, Alfa sudah menghubungi pihak rumah sakit untuk memindahkan Ilen", Alfa menjelaskan panjang lebar.

"Alhamdulillah...", Satia berucap lega.

"Kalau begitu Alfa permisi, ada pasien yang harus Alfa cek", Alfa bicara pelan.

"Terima kasih Ko", Satia bicara lega melepaskan kepergian Alfa.

Erfly segera dipindahkan keruang perawatan, Satia duduk di kursi yang ada disamping tempat tidur Erfly.

"Alhamdulillah kamu udah sadar dek...", Satia bicara lirih, menggenggam jemari tangan kanan Erfly.

"Maaf mas, Ilen bikin semua orang cemas", Erfly bicara pelan.

Daun pintu terbuka, Cakya muncul dari balik daun pintu.

"Kenapa orang ini ada disini mas...? Suruh dia pergi", Erfly tiba-tiba naik darah.

Satia menoleh kebelakang, melihat orang yang Erfly maksud, karena posisi Satia membelakangi daun pintu. Cakya tetap melangkah perlahan menghampiri tempat tidur.

Satia segera berdiri dari posisi duduknya, "Sepertinya ada yang ingin di bicarakan oleh Cakya, kalau begitu mas keluar dulu", Satia bicara lirih.

Erfly segera menangkap pergelangan tangan Satia asal. Satia berhenti sejenak, menatap jemari tangan Erfly yang ada di pergelangan tangannya. Satia tersenyum lembut, kemudian melepaskan genggaman tangan Erfly, meletakkan tangan Erfly dengan lembut kembali keatas kasur.

"Mas percaya sama kamu", Satia bicara lirih. Kemudian berlalu pergi dari hadapan Cakya secepat kilat.

Cakya tetap berdiri kaku disamping tempat tidur.

"Cakya... Minta maaf atas nama keluarga", Cakya bicara lirih.

Erfly tidak merespon, kemudian menoleh kearah lain, Erfly berusaha keras menahan air matanya.

"Cakya minta... Mulai hari ini Erfly jangan pernah menahan diri lagi. Jangan biarkan siapapun buat nyakitin Erfly lagi, Cakya juga akan melakukan hal yang sama untuk Erfly...", Cakya bicara dengan makna yang dalam.

Erfly spontan menatap wajah Cakya lekat, keningnya berkerut karena tidak mengerti dengan ucapan Cakya.

Cakya melemparkan senyuman terbaiknya, "Erfly baik-baik ya, Cakya akan selalu berdo'a untuk kebahagiaan Erfly", Cakya bicara lirih, kemudian berlalu dari hadapan Erfly.

Air mata Erfly segera mengalir melepaskan kepergian Cakya.

Menit berikutnya daun pintu kembali terbuka, Gama kali ini yang muncul dibalik daun pintu. Erfly segera menghapus kasar jejak air matanya.

Gama duduk di kursi disamping tempat tidur Erfly.

"Abang...? Kok ada disini...? Erfly di Bali apa di Sungai Penuh...?", Erfly bicara asal.

Gama tersenyum lembut, "Kamu di Bali dek", Gama bicara lembut. "Abang minta maaf dek...", Gama bicara lirih.

"Kenapa abang malah tiba-tiba minta maaf...?", Erfly bertanya bingung.

"Gara-gara abang kamu jadi seperti ini", Gama mengungkapkan rasa penyesalannya.

"Abang g'ak salah apa-apa kok", Erfly menjawab asal.

"Diluar ada kak Fira dan Wulan", Gama tiba-tiba bicara diluar dugaan.

"Mama...? Wulan...? Kok bisa...?", Erfly bertanya semakin bingung.

Tepat setelah Erfly bertanya, daun pintu kembali terbuka. Benar saja ibu Cakya dan Wulan muncul dari balik daun pintu.

"Mama...?", Erfly bicara bingung, berusaha keras untuk duduk.

Ibu Cakya segera menahan Erfly agar tetap berbaring saja, "Istirahat saja nak, tidak apa-apa, kamu baru saja sadar dari koma", ibu Cakya bicara lembut.

Erfly segera meraih jemari tangan kanan ibu Cakya, kemudian menciumnya dengan penuh rasa takzim.

"Mama apa kabar...?", Erfly bertanya lembut.

"Alhamdulillah mama baik-baik saja sayang", ibu Cakya bicara dengan menahan linangan air matanya.

"Harusnya Erfly yang ketempat mama, kenapa malah repot-repot jauh-jauh ke Bali...?", Erfly bicara sungkan.

"Mama minta maaf sayang...", ibu Cakya bicara lembut, air matanya segera mengalir tanpa permisi.

Wulan yang berdiri tepat di belakang ibunya, mengusap lembut pundak ibunya.

"Mama ngomong apa sih...?", Erfly masih berusaha menghindar.

"Mama sudah tahu semuanya sayang, Candra sudah cerita semuanya", ibu Cakya bicara lembut.

Erfly sudah tidak bisa menghindar lagi.

"Maaf ma...", Erfly bicara lirih.

"Mama yang harusnya minta maaf, mama sama sekali tidak tahu apa yang diperbuat oleh papa. Selama ini yang mama tahu papa adalah sosok suami yang sempurna, ayah yang sempurna untuk putra-putrinya. Mama sama sekali tidak menyangka dia sanggup melakukan itu semua kepada kamu nak...", ibu Cakya bicara pelan, air matanya tidak henti-hentinya mengalir deras.

Hati Erfly terasa terhiris melihat pemandangan didepan matanya saat ini. Yang dia takutkan selama ini terjadi. Erfly akhirnya harus melihat air mata penyesalan ibunya Cakya. Bahkan wajah putus asa orang-orang tersayangnya.

Sudah sejak lama Erfly menahan diri untuk tidak melaporkan perbuatan ayahnya Cakya. Hanya dengan satu alasan kuat, bagi keluarga Cakya 'Ayahnya adalah sosok malaikat yang sempurna'. Akan tetapi semua hancur berantakan hanya dalam waktu sekejap.