Seminggu berlalu setelah kejadian di ruang kerja Erfly. Satia membuka perlahan daun pintu, badannya menggunakan perlengkapan pelindung lengkap rumah sakit. Baju steril, masker, penutup kepala, sarung tangan.
Begitu pintu dibuka, Satia disuguhi pemandangan Erfly yang sedang terbaring diatas tempat tidur, alat-alat medis terpasang untuk memantau keadaan Erfly. Satia duduk disamping tempat tidur Erfly, perlahan meraih jemari tangan kanan Erfly yang terpasang infus.
"Dek...? Bagaimana kabar kamu hari ini...? Sudah seminggu dek kamu tidur seperti ini, bangun dek, anak-anak nyariin kamu dek. Mas... Kangen sama kamu...", Satia bicara lirih, kemudian tanpa sadar meneteskan air mata.
Setelah beberapa saat, Satia memutuskan untuk keluar dari ruangan Erfly karena mendengar suara orang bertengkar di luar ruangan ICU. Satia meninggalkan perlengkapan pelindung dari rumah sakit kedalam keranjang sebelum membuka daun pintu.
Satia disuguhi pemandangan Nadhira yang menangis dan memukul dada Cakya. Seorang perempuan setengah baya duduk dengan perempuan muda lain sedang menangis. Gama juga bersandar tidak jauh dari posisi Cakya yang hanya diam menerima pukulan Nadhira.
Satia menahan pergelangan tangan Nadhira. Dengan kaget Nadhira menatap Satia, wajahnya penuh tanya.
Satia tidak bicara apa-apa, hanya menatap kosong kearah Cakya.
"Mas... Cakya...", Cakya tidak punya nyali untuk melanjutkan ucapannya, karena melihat ekspresi wajah Satia yang datar.
"Masuk, Ilen didalam", Satia bicara lirih, dengan suara paling rendah.
"Mas...", Nadhira berusaha protes.
"Ini rumah sakit, jangan ribut-tibut, pasien lain butuh istirahat", Satia bicara pelan. Kemudian berlalu dari hadapan semua orang.
Satia memilih untuk duduk di taman, meraih rokok dari dalam saku celananya.
"Mas...", Gama memutuskan untuk menyusul Satia.
Satia tidak merespon sapaan Gama, malah menggeser bungkus rokok miliknya kehadapan Gama. Tidak ada pilihan lain, Gama memutuskan untuk duduk tepat dihadapan Satia.
Hari ini Gama melihat sisi lain dari seorang Satia yang dia kenal, selama ini Gama hanya tahu sosok Satia yang ramah dan hangat. Akan tetapi hari ini, sosok Satia yang ada di hadapannya saat ini begitu Agung dan tinggi, mukanya datar tanpa ekspresi bahkan terkesan dingin.
"Kenapa ibu, adik dan Cakya ada disini...?", Satia bertanya santai, kembali menghisap dalam rokoknya.
"Mereka memaksa kesini, setelah tahu kalau Erfly dirawat", Gama bicara pelan.
Tidak ada tanggapan dari Satia.
Gama meraih sebatang rokok, kemudian menyelipkan diantara bibirnya. "Em... Terima kasih mas...", Gama bicara pelan, nyaris tidak terdengar oleh Satia.
"Untuk...?!", Satia mengerutkan keningnya karena tidak mengerti.
"Sudah mengizinkan Cakya masuk", Gama bicara pelan.
"G'ak perlu berterima kasih, saya melakukan itu bukan untuk Cakya. Melainkan untuk Ilen", Satia menjawab dingin.
"Bagaimana keadaan Erfly mas...?", Gama berusaha keras mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya.
"Sejak kejadian hari itu Ilen koma, setelah hasil CT Scan keluar. Ternyata tubuh Erfly tiba-tiba menolak jantungnya", Satia bicara dengan suara paling pelan.
"Kok bisa...?", Gama bertanya bingung kali ini, padahal selama ini Erfly baik-baik saja menggunakan jantung Asri.
Satia menggeleng pelan, "Belum tahu, makanya... akhirnya Alfa memutuskan untuk memindahkan Ilen ke Bali. Dan... Ilen g'ak pernah sadar sampai hari ini, Alfa bahkan hampir putus asa", Satia bicara pelan.
"Lalu...? Kita harus apa...? Apa g'ak ada yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan Erfly...?", Gama kembali bertanya tanpa daya.
"Karena Ilen menolak jantungnya yang sekarang, berarti solusi satu-satunya transplantasi jantung ulang", Satia menjawab pelan.
"Kita tidak menemukan pendonor...?", Gama berusaha menebak.
Satia menggeleng pelan, "Om Bambang siap untuk menjadi pendonor", Satia bicara lirih.
"Lalu...? Apa masalahnya...?", Gama kembali mengejar jawaban.
"Ilen belum sadar juga sampai hari ini, jadi... Operasi tidak bisa dilakukan. Karena itu akan jauh lebih berbahaya untuk Ilen", Satia mengulang ucapan Alfa saat di ruangannya.
"Terus...? Kita harus bagaimana...?", Gama bertanya frustrasi.
"Menunggu keajaiban. Semoga Ilen cepat sadar. Jadi... Bisa di lakukan tes secara menyeluruh, kalau memang harus transplantasi jantung, harus memastikan jantung Om Bambang akan cocok dengan Ilen", Satia menjawab pasrah.
Satia meraih HPnya saat mendengar panggilan masuk.
"Assalamu'alaikum Yah...", Erfly bicara pelan, wajahnya terlihat sendu.
"Wa'alaikumsalam... Apa kabarnya kamu cantik...?", Satia berusaha ceria.
"Bunda bagaimana Yah...?", Erfly bertanya pelan.
"Sampai sekarang masih belum sadar", Satia bicara lirih. "Adek, abang sama kakak do'ain Bunda ya, biar Bunda cepat kembali kerumah, kita bisa kumpul sama-sama lagi", Satia kembali menambahkan.
Erfly hanya mengangguk pelan.
"Keadaan kamu gimana sayang...?", Satia malah balik bertanya.
"Erfly udah cek-up ke rumah sakit diantar abang dan kakak. Kata dokter lusa gips udah bisa dibuka", Erfly menjelaskan pelan.
"Alhamdulillah, maaf ya sayang ayah sama bunda g'ak ada di samping kamu saat seperti ini", Satia merasa bersalah.
"Ayah jagain bunda aja buat kita", Erfly bicara diluar dugaan Satia.
"Iya sayang, kalian baik-baik ya disana. Assalamu'alaikum", Satia segera mengakhiri hubungan telfon, telat beberapa detik saja Erfly akan melihat ayahnya menangis.
Satia mengusap kasar jejak air matanya, tidak pernah dia merasa sehancur ini. Satia bahkan tidak pernah takut dengan serangan peluru yang bertubi-tubi di medan perang, Satia bahkan tidak pernah gentar saat tubuhnya di sayat benda tajam saat menjadi tawanan musuh.
Tapi kali ini, Satia seolah merasa tidak berguna. Melihat Erfly yang terbaring lemah. Belum lagi putri bungsunya yang belum pulih dari jatuh ke jurang.
***
Cakya masih duduk terpaku disamping tempat tidur Erfly. Tubuhnya di balut pakaian steril dari rumah sakit.
"Erfly... Cakya g'ak masalah kamu akhirnya memilih untuk bersama mas Satia. Bangun Erfly... Cakya banyak dosa sama kamu, jangan hukum Cakya dan keluarga dengan cara seperti ini", Cakya bicara lirih, air matanya mengalir tanpa permisi.
"Erfly.... Bangun. Cakya pasrah Erfly mau apa, mau nampar Cakya, mau maki Cakya, mau menghindar dari Cakya, apapun itu Cakya pasrah. Tapi... Kamu jangan kayak gini, bangun Erfly...", Cakya bicara lirih.
Perlahan Cakya meraih jemari tangan Erfly yang pucat, jarum infus menusuk kulit Erfly. Cakya menempelkan telapak tangan kanan Erfly ke pipi kiri Cakya. Dengan rakus Cakya menciumi aroma dari telapak tangan Erfly.
Perlahan jemari tangan Erfly bergerak, "Erfly...", Cakya spontan meletakkan kembali jemari tangan Erfly keatas kasur.
"Mas...", Erfly bicara lemah, matanya perlahan mulai terbuka.
***
Nadhira berlari menghampiri Satia dan Gama dengan nafas yang terengah-engah. Satia segera melemparkan rokok yang masih setengah ke atas lantai, kemudian menginjaknya agar mati.
"Teh...? Ada apa...?", Satia langsung duduk siap begitu melihat Nadhira.
"Ilen... Sadar", Nadhira bicara dengan nafas terengah-engah.
Tidak memerlukan aba-aba, Satia dan Gama langsung berlari menuju ruang ICU tempat Erfly dirawat.
Begitu Satia tiba di depan ruang ICU, Cakya sudah duduk di salah satu kursi yang ada di lorong ruang ICU. Dari kaca Satia bisa melihat ada 3 orang yang menggunakan jubah putih mengelilingi tempat tidur Erfly.
Alfa berlari dengan tergopoh-gopoh, begitu berpapasan dengan Satia. Alfa hanya menepuk pelan lengan kiri Satia.
"Jangan putus berdo'a", Alfa melemparkan senyuman terbaiknya, kemudian berlalu masuk kedalam ruang ICU, bergabung dengan dokter yang lain yang telah terlebih dahulu datang.