Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya Cakya dan teman-temannya sampai ditempat tujuan. Tamarona ternyata tidak main-main, mereka berhenti di pinggir pantai.
Tamarona turun dari bis diikuti Cakya dan Gama yang mengekor dibelakang. "Yang lainnya silakan main dulu di pantai. Saya, Cakya dan Gama mau ke yang punya vila dulu. Minta kunci", Tamarona memberi instruksi. "Tapi... Jangan jauh-jauh ya", Tamarona mengingatkan.
Tamarona menelfon yang punya vila, mengikuti instruksi di telfon. Akhirnya Tamarona, Cakya dan Gama sampai di depan sebuah rumah. Rumah tersebut bergaya Belanda, dengan jendela yang tinggi. Cukup sederhana dengan halaman yang luas dipenuhi bunga dan pohon-pohon tinggi menjulang, sehingga terlihat lebih rindang, dibandingkan dengan rumah lain disekitarnya.
Tamarona mengetuk pintu rumah, "Assalamu'alaikum...", Tamarona mengucap salam dengan suaranya yang lantang.
"Wa'alaikumsalam...! Sebentar...!", terdengar suara perempuan menjawab dari dalam rumah.
Cakya menatap sekeliling, melepaskan pandangannya kelepas pantai. Gama juga melakukan hal yang sama, menghirup sebebas-bebasnya aroma asin angin pantai.
Pintu rumah terbuka perlahan, seorang gadis muncul dengan memakai dua kruk di kedua lengannya, sebagai alat bantu untuk berdiri. Roknya yang panjang, cukup untuk menutupi telapak kaki kirinya yang tidak menapak ditanah.
"Teh ilen...?", Tamarona kembali memastikan kalau orang yang ada dihadapannya ini orang yang mereka cari.
Gadis itu mengulurkan tangannya, "Ilen...", suaranya begitu familiar ditelinga Gama.
"Tamarona, panggil Rona saja", Tamarona menyambut tangan gadis yang ada dihadapannya. "Oh ya... Ini rekan-rekan saya", Tamarona menarik baju Gama agar berbalik menghadap pintu rumah.
"Dek...?", Alfa bicara heran, tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya saat ini.
"Apa kabar bang...?", gadis itu menyalami Gama, melemparkan senyum yang lembut seperti biasanya. "Itu...?", gadis itu menunjuk kearah Cakya yang masih menikmati pemandangan laut lepas.
Gama tidak menjawab hanya mengangguk pelan.
Cakya yang sadar ada orang lain di teras rumah, menatap kearah gadis yang berdiri di daun pintu rumah. Cakya hanya menganggukkan kepalanya pelan.
"Teh... Kita bisa langsung masuk vilanya sekarangkan...?!", Tamarona memecahkan kesunyian yang tercipta.
"Oh... Maaf, ini kuncinya", gadis itu menyerahkan kunci ketangan Tamarona.
"Kalau begitu kita permisi teh. Terima kasih", Tamarona langsung pamit, menarik lengan Gama yang sedang melamun. Cakya hanya mengekor dibelakang Tamarona dan Gama.
Tinggallah gadis itu sendiri. Setelah Cakya, Gama dan Tamarona menghilang dari tatapannya, gadis itu terduduk lemas di lantai. Air matanya mengalir tanpa permisi.
Seorang lelaki muncul entah darimana,
berlari menghampiri gadis itu, membantunya untuk duduk di kursi teras rumahnya.
"Kamu kenapa dek...?", lelaki itu bertanya cemas.
"G'ak apa-apa Ko, hanya kesandung", gadis itu menghindar dari pertanyaan selanjutnya.
"Kenapa Koko disini...?", gadis itu bertanya lagi.
"Koko ada pasien yang harus operasi malam ini. Kamu... Tidak apa-apa sendiri dek...? Mbakkan baru pulang besok, katanya g'ak dapat bis", lelaki itu enggan meninggalkan gadis ini tanpa pengawasan.
"Ilen baik-baik saja Ko", gadis itu memberi jaminan.
"Ya udah, Koko pergi dulu kalau gitu. Besok pagi Koko bawain sarapan", lelaki itu pamit, tidak lupa mengacak rambut gadis yang ada dihadapannya sebelum pergi.
Gadis itu menutup pintu rumahnya setelah kepergian lelaki yang menolongnya. Seperti biasa gadis itu melangkah mendekati bibir pantai. Menikmati matahari terbenam.
Gama entah datang dari mana, tiba-tiba sudah duduk disamping gadis itu. "Akhirnya dek...! Abang nemuin kamu...", Gama tidak bosan-bosannya menatap wajah gadis yang ada dihadapannya saat ini.
"Apa kabarnya bang...?", gadis itu mulai dengan pertanyaan basa-basinya.
"Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat dek. Tapi... Ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya, dari Butterfly jadi Ilen...?", Gama bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya.
Erfly tertawa kecil mendengar pertanyaan Gama. "Itu... Panggilan kecil Erfly", Erfly menjawab pelan, disela senyumnya.
"Hah...? Kok bisa...? Terus...? Kaki kamu kenapa dek...? Apa karena kecelakaan digunung waktu itu...?", Gama menghujani Erfly dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
"Satu-satu kali bang nanyanya. Erfly bingung mau jawab yang mana dulu ini", Erfly tertawa renyah.
"Dek...! Tiba-tiba ngilang tanpa kabar, abang hampir gila tahu nyariin kamu dek", Gama bicara kesal, karena Erfly malah bercanda.
"Maaf bang...", Erfly bicara dengan rasa bersalahnya.
"Setelah kecelakaan digunung waktu itu, ayah memutuskan untuk pindah ke sini. HP Erfly hilang pas kecelakaan. Makanya g'ak bisa ngasih kabar. Ditambah lagi, Erfly g'ak sadarkan diri selama berhari-hari, yang nemenin Erfly itu tetangganya nenek dulu. Dia tahunya Ilen, makanya disini sekarang dipanggil Ilen", Erfly menjelaskan panjang lebar.
"Ayah sama Bunda apa kabarnya dek...?", Gama kemudian teringat kalau Erfly sudah tinggal dengan kedua orang tuanya.
"Pas... Pindah ke sini, terjadi kecelakaan bang. Ayah sama bunda meninggal ditempat kejadian", Erfly bicara lirih.
"Kamu yang sabar dek...!", Gama meremas pundak Erfly lembut, memberikan kekuatan untuk Erfly.
"Kalau soal kaki Erfly... Ini terpaksa diamputasi, karena hancur terjepit mobil saat kecelakaan bersama ayah dan bunda", Erfly kembali menambahkan.
"Ya Allah dek...", Gama prihatin melihat perjuangan Erfly, gadis yang telah dianggap sebagai pengganti Asri, almarhumah adiknya.
"Em... Tadi itu Cakyakan bang...?", Erfly bertanya tidak yakin.
"Iya dek", Gama menjawab pelan.
"Kok... Kayaknya, dia g'ak ngenalin Erfly...?", Erfly bertanya bingung.
"Saat kejadian di gunung dia amnesia apa gitu kata dokternya, pokoknya intinya itu. Dia melupakan kejadian kecelakaan waktu itu. Malah... Dia ingat ya kecelakaan waktu sama Asri", Gama menjelaskan semampunya.
"Pasti berat buat Cakya, harus melewati itu lagi. Merasa kehilangan Asri lagi, orang yang paling dia cintai", Erfly tersenyum pahit, mengasihani dirinya sendiri.
"Tapi... Di bawah alam sadarnya, Cakya selalu ingat kamu dek", Gama bicara diluar dugaan Erfly.
"Hah...? Maksudnya...?", Erfly mengerutkan keningnya.
"Dia selalu manggil nama kamu setiap kali ngigau, bahkan dia sering mimpi dan terbangun berteriak nama kamu dek. Dia juga sering nanyain Erfly itu siapa...?", Gama bicara lirih.
"Terus...?", Erfly bertanya karena penasaran.
"Dokter melarang kita untuk cerita. Pernah dicoba cerita semuanya ke Cakya, tapi... Malah Cakya berusaha keras untuk mengingat, dan... Itu menyiksa buat dia dek.
Dia malah berteriak kesakitan. Dokter bilang itu karena otaknya dipaksa untuk bekerja lebih keras. Kalau dibiarkan seperti itu terus, Cakya malah akan kehilangan semua ingatannya, bukan hanya sebagian, bahkan dia bisa lupa siapa dirinya sendiri", Gama menjelaskan panjang lebar.
"Allahuakbar", Erfly bicara lirih, berusaha keras menahan tangisnya. "Pantas saja dia kayaknya g'ak kenal Erfly...", Erfly kembali menambahkan. Tergores sedikit rasa kecewa di hati Erfly, dia dilupakan oleh Cakya. Akan tetapi dia bisa apa, mungkin ini yang terbaik untuk semua.
"Kamu kecewa dek, dilupain sama Cakya...?", Gama bertanya asal.
"G'ak bang, mungkin ini jalan terbaik dari yang diatas. Ayah g'ak setuju Erfly dekat sama Cakya.
Dan... Abang tahu sendiri bagaimana perasaan Erfly ke Cakya.
Itu yang ngebuat Erfly berantem sama ayah, dan... Akhirnya kabur ke gunung waktu itu...", Erfly kembali membuka luka lamanya.
"Kok bisa...? Memangnya ayahnya kamu kenal Cakya sebelumnya...?", Gama bertanya bingung.
"Masalah proyek bang. Perusahaan lawannya ayah, menarik furnitur dari Dirgantara Utama. Karena kalah nilai, Dirgantara Utama membatalkan semua pesanan ayah. Padahal mereka udah deal sebelumnya", Erfly mengingat kembali surat pembatalan kerjasama yang dikirim Nadhira secara tidak sengaja ke HPnya waktu digunung.
"Dirgantara Utama...? Bang Utama maksudnya...? Papanya Cakya...? Kok bisa...?", Gama bertanya bingung, lebih tepatnya malah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.