webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Dasar otak anak pengusaha

"Dari umur 5 tahun, Erfly sudah sering ditinggal. Terus jajan dikirim perbulan, awalnya nenek yang mengelola. Sampai akhirnya kelas 2 SD disuruh ngelola sendiri sama nenek.

Erfly lebih suka bawa bekal dari mbak Kinasih, jadi uang jajan utuh. Sampai kelas 6 SD, ada tetangga yang mau pindahan. Nangis-nangis minta tolong beli rumahnya, karena suaminya dikampung kecelakaan.

Rumahnya dijual murah, waktu itu kalau g'ak salah 30 juta. Erfly iseng ngecek ATM, g'ak taunya ada uang segitu, malah ada 36 juta.

Erfly nekat beli itu rumah, terus Erfly sewain. Waktu itu pas ada mahasiswa yang KKN. Malah lanjut sama bu dokter yang baru lulus nyari kontrakan. Erfly tarik sewa tahunan. Beli tanah, pinggiran kota gitu.

Beruntungnya Erfly, itu tanah pas Erfly baru masuk SMP mau pelebaran jalan buat pabrik gitu. Jadinya dibeli, hasilnya Erfly beli kos-kosan dekat kampus Institut Teknologi Bandung. Kan deket rumah nenek tu. Jadi jajan Erfly ya dari sana sampai sekarang.

Sebagian disisihin buat nabung, buat beli tanah lagi, dan bangun kos-kosan lagi.

Makanya, sejak SMP Erfly tidak pernah memakai uang kiriman.

Bahkan Erfly udah ganti uang yang dikirim ke rekening. Erfly buka rekening baru sejak bisa dapat uang sendiri", Erfly bercerita panjang lebar.

"Terus sekarang kos-kosannya ada berapa pintu...?", Gama iseng bertanya.

"G'ak banyak. Bandung 20 pintu, Jakarta 15, Jambi 20, Bali ada rumah sewa 5", Erfly menjawab polos.

"Bulanan atau tahunan...?", Gama bertanya lagi.

"Ngambil bulanan, mahasiswa dan anak sekolahan. Kalau di Bali sewaan reasot gitu, ada yang ngurusin, kalau ada penyewa yang masuk langsung di transfer ke Erfly. Tiap bulan 20 juta masuk ke rekening, hehehe... ", Erfly nyengir kuda.

"Dasar otak anak pengusaha", Gama tertawa kecil.

"Kalau abang mau, kita bikin kos-kosan atau rumah kontrakan. Biar Erfly modalin, abang cari orang yang mau jual tanah atau rumah. G'ak masalah rumah jelek, kita renofasi. Lumayan buat jajan sehari-hari bang...", Erfly bicara santai.

"Deal", Gama langsung menjabat tangan Erfly.

"Abang masih capek...? Udah mulai panas ini", Erfly bicara pelan menatap langit.

"Abang kekamar mandi dulu", Gama berlalu ke arah toilet belakang posko.

Selang beberapa waktu, Gama dan Erfly mulai bergerak pulang dengan motor Gama. Sengaja Gama mengendarai dengan kecepatan sedang, saat azan Zuhur berkumandang, Gama memutuskan berhenti di masjid pinggir jalan. Kemudian mencari rumah makan.

Pukul 13.23 Wib Gama telah tiba dipekarangan rumah Erfly. Mereka disambut dengan Cakya yang baru saja mengetuk pintu Erfly.

"Cakya...?", Gama dan Erfly bicara hampir bersamaan.

Cakya tidak merespon, malah langsung berlalu dengan motornya dengan kecepatan tinggi. Bahkan teriakan Erfly dan Gama tidak digubris sama sekali. Gama bahkan berusaha menahan Cakya, akan tetapi malah di tepis kasar oleh Cakya.

"Salah paham pasti itu bocah", Erfly bicara pelan, sembari membuka pintu rumahnya.

"Abang mau minum...?", Erfly bertanya sebelum masuk kedalam rumah.

"Boleh lah dek", Gama menarik nafas berat, kemudian duduk di teras Erfly.

Erfly keluar dengan membawa dua botol minuman dingin, Erfly menyerahkan satu ketangan Gama. Kemudian menenggak minumannya sendiri. Gama menghabiskan minuman dalam sekali minum.

"Napas kali bang, aus banget...?", Erfly bertanya disela tawa kecilnya.

"Dek", Gama memanggil nama Erfly lirih.

"Hem...", Erfly bergumam pelan, kemudian menenggak kembali minumannya.

"Cakya nembak kamu kan dek...?", Gama bicara diluar dugaan Erfly.

Erfly langsung menyemburkan minuman dimulutnya ke muka Gama. "Ah... Maaf bang", Erfly bicara karena tidak enak hati.

Gama mengusap kasar mukanya, "Berbakat kamu jadi dukun dek, semburannya pas", Gama mulai lagi dengan sindirannya.

Erfly tertawa terbahak-bahak, kemudian berlari kedalam rumah mengambil tisu untuk Gama.

"Maaf bang, g'ak sengaja. Abang sih, bikin kaget", Erfly bicara pura-pura ngambek.

"Lha... Abangkan nanya, kamu ditembak sama Cakya dek...? Kalau reaksi kamu kayak gitu, kayaknya abang bener nih"

"G'ak gitu juga bang"

"Kalau g'ak gitu, terus gimana dek...?"

"Cakya emang sempat ngungkapin perasaannya ke Erfly"

"Lha itu apa...? Dia nembak kamu dek"

"Tapi... "

"Apa lagi dek...?"

"Erfly bingung"

"Kenapa harus bingung dek...?"

"Erfly kayaknya butuh waktu bang"

"Untuk...?"

"Nyari tahu, bagaimana perasaan Erfly ke Cakya yang sebenarnya"

"Karena kamu tahu jantung dan mata itu punya Asri, almarhumah tunangannya Cakya...?"

Erfly hanya mengangguk pelan.

"Dek... G'ak seharusnya kamu terlalu keras sama diri kamu sendiri kayak gini"

"Tapi... Erfly g'ak mau bang ngebohongin Cakya dan keluarganya"

"Kamu tanya sama hati kamu sendiri dek, bagaimana posisi Cakya di hati kamu. Apa kamu siap lihat Cakya sama perempuan lain", Gama bicara pelan, tapi langsung menusuk tepat mengenai sasaran.

Erfly hanya menundukkan kepalanya tidak berani menatap Gama.

"Abang balik dek, kamu istirahat. Jangan sampai sakit karena kecapean", Gama memutuskan meninggalkan Erfly, agar dia leluasa berpikir.

"Hati-hati bang", Erfly bicara pelan.

Gama hanya mengangguk, "Assalamu'alaikum", Gama mengucapkan salam sebelum pergi.

"Wa'alaikumsalam", Erfly menjawab lirih.

Erfly memilih untuk mandi setelah kepergian Gama, kemudian langsung berbaring diatas tempat tidur. Pikirannya berlarian kesana-kemari, kenangannya bersama Cakya dan keluarganya berlarian satu persatu dibenaknya.

***

Gama menuju rumah Cakya.

"Kak, Cakya diamana...?", Gama kearah dapur menemui ibu Cakya.

"Dikamar memang tidak ada...?", ibu Cakya malah balik bertanya.

"Abang pergi dari pagi, belum pulang Om", Tio yang baru keluar dari kamar menjawab pertanyaan ibunya.

"Kenapa...? Kayaknya panik betul kamu Gam...?", ibu Cakya bertanya bingung.

"G'ak apa-apa kak, kalau gitu nanti Gama balik lagi. Assalamu'alaikum", Gama langsung pamit.

"Wa'alaikumsalam", ibu Cakya menjawab pelan.

***

HP Erfly berbunyi, di layar tertera nama Alfa.

"Iya Ko, kenapa...?", Erfly bertanya pelan.

"Kamu dimana dek...?", Alfa bertanya dari sebrang telfon.

"Dirumah Ko", Erfly menjawab malas.

"Lha... Kan Koko bilang kamu harus kerumah sakit. Kita cek jantung kamu dek", Alfa bicara frustrasi.

"Harus hari ini Ko...?", Erfly berusaha bernegosiasi.

"Tahun depan", Alfa langsung memutuskan hubungan telfon karena merasa kesal.

Erfly segera ganti baju seadanya, kemudian memutuskan untuk naik ojek ke rumah sakit. Badannya masih terasa lelah karena baru naik gunung. Tapi kalau dia tidak muncul, Alfa bisa ceramah seminggu penuh dengan pituah-pituahnya.

Erfly langsung menuju ruang Alfa, karena kata resepsionis Alfa tidak ada jadwal praktek ataupun kontrol pasien. Erfly mengetuk pintu ruangan Alfa, setelah diizinkan masuk, Erfly langsung muncul dengan senyum terbaiknya.

"Koko....", Erfly bicara manja, kemudian tiduran di kursi tamu yang dipersiapkan Alfa.

"Hem...", Alfa bergumam pelan, tetap fokus terhadap tumpukan kertas dihadapannya.

"Erfly laper...", Erfly sengaja merengek, agar Alfa tidak marah lagi

"Kamu belum makan...?", Alfa bertanya bingung, kemudian melihat jam tangannya yang susah menunjukkan pukul 15.45 Wib.

Erfly duduk dari posisi tiduran, kemudian menggeleng pelan.

Alfa langsung menutup berkas yang ada dihadapannya, "Kamu ngapain aja dari tadi...?", Alfa bicara kesal.

"Erfly ketiduran", Erfly berusaha menjawab sepolos mungkin.

Alfa geleng-geleng kepala mendengar pengakuan Erfly.