webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Cakya tahu jawabannya, terima kasih

Erfly tiba disekolah hampir bersamaan dengan Gama, setelah memarkirkan motornya, Erfly melangkah bersama Gama menuju kelas.

"Dek, pas abang kesekolah. Ada yang jual rumah kontrakan gitu", Gama bicara antusias.

"Dimana bang...?", Erfly girang menatap Gama.

"G'ak terlalu jauh dari rumah abang", Gama menjawab pelan.

"Sip, pulang sekolah kita langsung kesana", Erfly menempali.

Saat masuk kedalam kelas, Erfly melihat Cakya sudah duduk dibangkunya. Erfly langsung menghampiri, "Pagi Cakya...", Erfly tersenyum girang.

Cakya langsung berdiri, dan beranjak mau pergi.

Erfly menahan tangan Cakya, "Cakya mau kemana...?", Erfly bertanya bingung.

Cakya bukannya menjawab malah menarik paksa tangannya, kemudian berlalu pergi keluar kelas.

Gama yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Cakya geleng-geleng kepala. Gama menghampiri Erfly setelah meletakkan tasnya.

"Dek", Gama duduk dikursi disamping Erfly.

Erfly menghapus air matanya yang keluar tanpa permisi, "Kenapa bang...?", Erfly memaksakan senyumannya.

"Kayaknya Cakya masih salah paham soal kita", Gama bicara pelan.

"Sepertinya begitu", Erfly menjawab lirih.

"Itu jeleknya manusia yang satu itu. Dia keras kepala, tidak pernah mau mendengarkan omongan orang", Gama menjelaskan watak keponakannya yang satu ini.

Erfly hanya tersenyum pahit mendengar ucapan Gama.

"Nanti abang coba jelaskan ke Cakya pelan-pelan", Gama menghibur Erfly.

"Bang...", Erfly bicara pelan.

"Kenapa dek...?", Gama bertanya pelan sembari menatap wajah Erfly.

"Erfly... Boleh minta tolong...?"

"Apa dek...?"

"Tolong bang, Cakya jangan sampai tahu masalah... Donor itu"

"Kenapa...? Cakya berhak untuk tahu dek"

"Erfly... Hanya mau menata hati bang, Erfly g'ak mau Cakya dan keluarganya melihat Erfly sebagai bayangan dari Asri..."

Gama mengangguk pelan, kemudian menarik nafas berat. "Oke.. Kalau kamu maunya kayak gitu dek", Gama menyetujui permintaan Erfly walaupun dia merasa keberatan.

***

Alfa membaca laporan yang bertumpuk diatas mejanya. Alfa kemudian mengangkat ganggang telpon yang ada diatas meja kerjanya.

"Maaf suster, bisa minta tolong keluarga Dirga keruangan saya sekarang...?", Alfa bicara dengan ketenangan yang sama seperti biasanya.

"Baik dok", suster diujung telfon menyanggupi permintaan Alfa.

Tidak perlu menunggu lama, orang yang ditunggu Alfa muncul diruangannya.

"Permisi dokter", Sinta berucap santun saat memasuki ruangan Alfa.

"Silakan duduk", Alfa bicara pelan, dengan isyarat tangan mempersilakan Sinta untuk duduk.

"Ada apa dok...?", Sinta bertanya cemas.

"Sebelumnya saya minta maaf, saya cuti 3 hari kemarin. Jadi... Saya baru sempat mempelajari hasil CT Scan Dirga", Alfa mulai dengan ucapan pembukanya.

"Iya, tidak apa-apa dokter", Sinta melemparkan senyuman kecil kepada Alfa.

"Hem... Apa Dirga pernah sakit atau mengalami kecelakaan...?", Alfa mulai dengan diagnosa keadaan Dirga.

"Dia baru saja mengalami kecelakaan minggu lalu"

"Itu penyebabnya"

"Ada apa dok...?"

"Ada Herniated Nucleus Pulposus (HNP)"

"Her... Apa dok...?"

"Oh... Maaf, maksud saya syaraf terjepit "

"Lalu bagaimana dok...?"

"Kalau saran saya sebaiknya dilakukan operasi secepatnya"

"Bukannya bahaya ya dok operasi syaraf terjepit...?"

Alfa tersenyum sebelum menjawab. "Ini pertanyaan yang selalu ditanya oleh pasien saya sebelumnya", Alfa kemudian menyandarkan punggungnya kesandaran kursi.

"Sekarang sudah ada teknik operasi Percutaneous Endoscopic Lumbar Discectomy atau lebih dikenal dengan PELD. Itu teknik operasi dengan membuat sayatan 8 mm, sebagai saluran pipa kecil dan kamera. Walaupun keberhasilannya bukan 100%, setidaknya tingkat keberhasilannya mencapai 90% sampai 95%", Alfa mulai menjelaskan.

"Apa tidak bisa dengan terapi saja dokter...?", Sinta bergindik ngeri mendengarkan penjelasan Alfa.

"Bisa saja, kalau kasusnya tidak seperti yang dialami Dirga. Dirga mengalami robekan pada bantalan tulang belakang, sehingga gel di dalam bantalan tersebut keluar menekan syaraf. Bila dibiarkan syaraf terjepit bisa menimbulkan nyeri yang mengganggu kualitas hidup, bahkan bisa menyebabkan kelumpuhan"

"Lumpuh dok...?"

"Sebaiknya anda diskusikan dengan pasien. Saya harap jangan lama-lama, semakin lama maka akan semakin membahayakan nyawa pasien nantinya", Alfa memberi peringatan.

"Baik dokter. Kalau begitu saya permisi. Terima kasih dok", Sinta menyalami Alfa sebelum meninggalkan ruangan Alfa.

***

Saat pulang sekolah Cakya tidak langsung pulang, karena ada pertandingan basket antar sekolah dalam waktu dekat. Maka Cakya dan teamnya diminta berlatih sepulang sekolah.

Satu jam Erfly menunggu Cakya selesai latihan, saat semua bubar meninggalkan lapangan Erfly menghampiri Cakya bersama Gama.

Erfly meraih tangan Cakya saat mau pergi, "Cakya, Erfly mau ngomong", Erfly bicara penuh harap.

Cakya menatap Gama penuh aura permusuhan, "Sayangnya g'ak ada yang perlu Cakya omongin sama Erfly", Cakya bicara dingin, kemudian melepas paksa tangannya dari genggaman Erfly.

"Cakya kamu dengar dulu", Gama berusaha menahan Cakya.

Gama langsung menerima bogem mentah dari Cakya, Gama tersungkur jatuh ke lantai.

"Abang...!!!", Erfly berteriak kaget, kemudian menghampiri Gama yang meringis kesakitan.

"Mhk... Jadi abang sekarang", Cakya tertawa kecil meremehkan dirinya sendiri.

"Kamu apa-apaan sih...!!!", Erfly naik pitam kali ini, dia berdiri tepat dihadapan Cakya. "Itu Om kamu sendiri. G'ak sepantasnya kamu mukulin dia kayak gitu...!!!", Erfly berteriak meluapkan kekesalannya.

Cakya tidak bergeming sedikitpun dari posisinya saat ini.

"Liat, dia kesakitan gara-gara kamu...!!!", Erfly kembali berteriak dengan emosinya.

"Sakit...?", Cakya bertanya pelan.

Erfly mengerutkan keningnya karena tidak mengerti.

"Cakya lebih sakit, tapi... Tak berdarah", Cakya bicara dengan nada paling rendah. Matanya menatap frustrasi kewajah Erfly yang penuh amarah.

"Cakya... Erfly...", kata-kata Erfly terputus karena Cakya melangkah pergi.

"Erfly belum kasih jawaban atas pertanyaan Cakya malam itu", Erfly kembali bicara berusaha menahan langkah Cakya untuk pergi.

Cakya berbalik menatap Erfly, sesaat kemudian Cakya menatap Gama yang duduk di lantai memegang bekas pukulan tadi. "Cakya tahu jawabannya, terima kasih", Cakya menekankan jawabannya dengan menatap tajam kearah Gama.

"Erfly belum bilang apa-apa lho...", Erfly bicara bingung.

"Kamu jangan GR, kapan aku pernah nembak kamu...?", Cakya kemudian berlalu pergi, tidak perduli berapa kalipun Erfly dan Gama berteriak memanggil namanya.

"Dasar resek...!!! Kepala batu banget sih jadi orang...!!! Dia pikir dia siapa...?!", Erfly mengupat kesal.

"Udah lah dek, dia masih emosi. Biarin aja dulu", Gama bicara pelan disela ringiasan rasa sakitnya.

"Abang g'ak apa-apa...?", Erfly bertanya cemas, menghampiri Gama.

"G'ak apa-apa sih, cuma... Rada mual aja ini perut", Gama bicara pelan.

"Apa kita kedokter saja bang, biar diperiksa...?", Erfly memberi saran.

"G'ak perlu dek"

"Tapi... Abang kesakitan gitu"

"Kerumah makan aja", Gama bicara pelan, sembari menggosok perutnya pelan.

"Ini mah alamat laper", Erfly tertawa kecil.

Gama malah nyengir kuda melihat ekspresi Erfly.

"Hayu jalan, kita cari makan didekat rumah abang saja. Sekalian kita tanya-tanya rumah yang abang bilang tadi pagi", Erfly melangkah meninggalkan Gama.

Gama langsung berjalan sambil merangkul Erfly, tawa renyah Gama terdengar di daun telinga Erfly. Spontan Erfly mengukir senyum di bibirnya.

Akan tetapi ada tatapan kecewa dan sinis dari kejauhan yang menatap mereka tanpa berkedip.