webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Cakya lagi pusing

Cakya mengantarkan satpam kampus kembali ke kampus sebelum pulang kerumahnya.

"Disini aja bang", satpam tiba-tiba bicara pelan, saat Cakya mau berbelok masuk kedalam gerbang kampus.

Cakya menghentikan motornya, "G'ak sekalian kedalam aja pak...?!", Cakya merasa tidak enak kalau harus menurunkan satpam kampus di gerbang kampus.

"G'ak apa-apa bang, sekalian saya mau kontrol keliling kampus", satpam kampus bicara pelan.

Cakya merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan uang Rp 50.000-an. Menyerahkan ketangan satpam kampus, "Buat beli rokok sama kopi temen jaga malam", Cakya bicara pelan.

"G'ak udah bang", satpam kampus menolak pemberian Cakya.

Cakya langsung memasukkan uang tersebut kedalam kantong celana satpam. "Terima kasih pak, sudah repot-repot ikut saya mengantar bu Nanya", Cakya bicara pelan. Kemudian berlalu pergi meninggalkan satpam kampus yang tersenyum lembut.

Cakya mengendarai motornya perlahan menuju rumah. Setelah memasukkan motornya kedalam garasi, Cakya melangkah menaiki tangga menuju kedalam rumah.

"Assalamu'alaikum...", Cakya bicara lirih, setelah meletakkan sepatunya disamping daun pintu.

"Wa'alaikumsalam...", serentak terdengar jawaban dari dalam rumah.

"Abang udah makan...?", ibu Cakya bertanya lembut, bermaksud menuju arah dapur menyiapkan makanan untuk Cakya.

"Di kampus", Cakya menjawab pelan. Cakya menuju galon, mengisi gelas dengan air hangat. Kemudian duduk dikursi meja makan yang bisa dia raih, dan menenggak habis minuman yang ada di dalam gelas.

"Malam banget pulangnya bang", ayah Cakya angkat bicara didepan Televisi.

"Ada kuliah tambahan pa", Cakya menjawab pelan.

Wulan melangkah perlahan mendekati meja makan, "Bang... Wulan...", ucapan Wulan terputus karena Cakya sudah menyela.

"Cakya lagi pusing", Cakya bicara lirih.

Kemudian berlalu masuk kedalam kamarnya, meninggalkan adik perempuan, ayah dan ibunya.

"Bang...", Wulan kembali berusaha menghalangi Cakya.

Ibu Cakya langsung memegang pundak Wulan lembut, menahan Wulan untuk menyusul Cakya.

"Abang lagi capek, ngobrolnya besok saja nak", ibu Cakya bicara lembut.

"Wulan tidur dulu ma", Wulan memutuskan untuk kembali kedalam kamarnya.

Ibu Cakya kembali menghampiri suaminya yang duduk di depan Televisi.

"Udah... Jangan terlalu dipikirkan", ayah Cakya mengusap pelan punggung tangan istrinya.

"Tapi... Abang... Wulan...", air mata ibu Cakya langsung mengalir tanpa permisi.

Ayah Cakya langsung menarik istrinya kedalam pelukannya.

"Sudah malam, sebaiknya mama istirahat. Biar papa yang cek kunci pintunya", ayah Cakya menyarankan.

Ibu Cakya mengangguk pelan, kemudian berlalu masuk kedalam kamar.

Ayah Cakya meraih HPnya yang berada diatas Televisi, kemudian mengetik pesan singkat.

'Sudah tidur nak...?'

Hanya 3 kata itu saja, berhasil membuat panggilan masuk kedalam HP ayahnya Cakya. Ayah Cakya memilih duduk diteras rumah, agar tidak menganggu penghuni rumah lainnya yang telah istirahat.

"Assalamu'alaikum nak...", ayah Cakya bicara lirih.

"Wa'alaikumsalam, papa apa kabar...?", terdengar suara perempuan dari ujung lain telfon.

"Alhamdulillah papa sehat. Maaf, papa menganggu waktu istirahat kamu nak", ayah Cakya bicara sungkan.

"G'ak pa, Erfly baru saja sampai dirumah. Erfly ada pertemuan diluar kota dengan pemegang saham", Erfly menjelaskan secara garis besar.

"Ada apa pa...? Tumben, papa sms Erfly...?", Erfly langsung bertanya keintinya, walaupun secara garis besar Erfly sudah bisa menebak tujuan ayah Cakya menghubunginya.

"Ini... Wulan lagi didekatin sama cowok. Candra, tersangka utama kasus putri bungsunya pak Jendral", ayah Cakya mulai membuka topik pembicaraan.

"Hem... Iya, terus...?", Erfly kembali menyelidiki.

"Sepertinya abang g'ak suka. Papa jadinya serba salah ini", ayah Cakya bicara jujur.

"Papa sendiri bagaimana dengan Candra...?", Erfly berusaha melihat dari sudut pandang ayahnya Cakya.

"Yah... Sekilas ketemu kemarin, papa g'ak ada masalah. Dia... Anaknya sopan, ramah, dan... Sepertinya bertanggung jawab juga. Tapi... Papa bingung sama abang ini. Sepertinya abang g'ak suka melihat kedekatan Wulan dan Candra", ayah Cakya menjelaskan panjang lebar.

"Papa tahu dari mana, kalau abang g'ak suka Wulan dekat sama Candra...?!", Erfly kembali menyelidiki.

"Sejak pertemuan kemarin, abang selalu menghindar dari Wulan. Bahkan hari ini, abang malah pulang hampir larut malam, alasannya ada kuliah tambahan. Dan... Langsung masuk ke kamar, katanya capek", ayah Cakya menjelaskan rentetan kejadian dengan lancar.

"Bukannya kemarin jadwalnya abang piket pa di Damkar...?", Erfly malah balik bertanya, untuk memastikan kalau dia tidak salah hitung jadwal piket Cakya.

"Iya, pagi tadi baru pulang. Terus... Kata ibunya langsung masuk kamar, bangun-bangun malah langsung ke kampus", ayah Cakya kembali menjelaskan jadwal kegiatan Cakya seharian.

"Mungkin bener abang capek pa. Abang juga pernah cerita, abang mau mengambil Semester Pendek. Katanya biar bisa mengajukan judul proposal penelitian semester depan. Abang mau Cepat-cepat Skripsi, katanya mau buru-buru lulus. Malu katanya kalah sama Wulan, yang udah lulus duluan", Erfly tertawa renyah, berusaha mencairkan suasana.

"Hem...", ayah Cakya bergumam pelan, kemudian manggut-manggut pelan seperti burung pelatuk.

"Papa jangan terlalu khawatir, abang tahu apa yang dia lakukan. Abang hanya cemburu saja sama Candra, maklumlah pa, Wulan adik perempuan satu-satunya abang. Jadi... Abang ingin yang terbaik untuk menjadi imamnya kelak", Erfly memberikan pandangannya kepada ayah Cakya.

"Tapi... Papa kasihan sama Wulan...", ayah Cakya kembali protes.

"Ntar Erfly coba ngomong sama abang, jangan terlalu keras sama Wulan. Biar bagaimanapun Wulan tetap anak perempuan, g'ak bisa dikerasin", Erfly bicara pelan, berusaha menenangkan ayah Cakya.

"Terima kasih nak", ayah Cakya bicara tulus.

"Jangan sungkan pa. Sudah malam, sebaiknya papa istirahat. Jaga kesehatan", Erfly kembali memberi saran.

"Iya, kamu juga nak. Assalamu'alaikum", ayah Cakya bicara lirih.

"Wa'alaikumsalam", Erfly mengakhiri panggilan telfon.

Ayah Cakya tersenyum puas setelah bicara dengan Erfly. Seolah beban yang ada di pundaknya menghilang, menguap keudara tanpa bekas.

***

Candra masih sibuk dengan berkas yang menumpuk dihadapannya.

Terdengar suara ketukan pintu. "Masuk...!!!", Candra bicara setengah berteriak.

Saat pintu dibuka, Sinta muncul dari balik pintu membawa kantong makanan. Sinta mengangkat kantong makanan yang dia bawa keudara, sembari memberi isyarat agar Candra berpindah duduk ke sofa tamu.

Candra tersenyum, dengan enggan melepaskan kacamatanya, meninggalkan kacamatanya diatas meja kerja. Kemudian melangkah menghampiri Sinta yang telah terlebih dahulu duduk disofa tamu.

"Kok mbak tahu Candra masih disini...?", Candra menyelidiki.

"Tadi mbak kerumah kamu, kata pembantu kamu belum pulang. Mbak telfon satpam kantor, katanya lampu ruangan kamu masih hidup. Makanya mbak putuskan untuk kesini, bawain cemilan malam", Sinta berkelakar panjang lebar.

"Cemilan malam...? Ini mah makan tengah malam namanya mbak", Candra memaksakan tawanya.

"G'ak usah ketawa kalau g'ak niat ketawa. Jelek tau", Sinta malah nyeletuk asal.

Candra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kenapa dek...? Masih kepikiran sama sikap keluarganya Wulan...?", Sinta langsung bertanya tanpa basa-basi lagi.

"Maunya sih g'ak mikirin mbak. Tapi... Tetap aja kepikiran", Candra bicara santai. Kemudian mulai menyuapi suapan besar ayam goreng tepung yang ada dihadapannya.

"Kenapa...? Keluarganya Wulan g'ak setuju Wulan sama kamu dek...?", Sinta kembali mengorek informasi.

"Ya... Wajar sih mbak sebenarnya.

Notabene Candra pernah punya sejarah kelam dengan keluarganya Wulan.

Lagian, kakak mana sih yang mau nyerahin adiknya sama seorang mantan napi kayak Candra.

Harusnya... Candra tahu diri, siapa Candra. Sadar diri kalau Candra g'ak pantas buat Wulan", Candra bicara panjang lebar merutuki dirinya sendiri.

"Lagian mbak, Wulan ketinggian buat Candra. Rasanya g'ak akan mungkin mbak, Candra sama Wulan", Candra tertawa remeh, menertawai dirinya sendiri.