Cakya tersenyum lembut membayangkan wajah Erfly. Cakya dan Erfly memang sudah berencana akan bertemu saat libur semester bulan depan.
"Erfly ngecek dari jauh. Bagian yang turun ke lapangan teh Nadhira", Cakya menjawab pelan.
Gama hanya mengangguk pelan mendengar penjelasan Cakya.
Cakya beranjak dari kursinya.
"Mau kemana...?", Gama bertanya bingung.
"Zuhur, terus kempus lagi. Cakya ada kelas sampai malem", Cakya menjawab pelan, kemudian masuk kedalam rumah Gama.
"Bukannya kita g'ak ada kelas lagi...?", Gama bertanya bingung.
"Cakya ambil SP", Cakya menjawab setengah berteriak dari dalam rumah. (SP=Semester Pendek)
"Curang, mau lulus duluan dia", Gama tertawa renyah. Kemudian bersandar di sandaran kursi menikmati rokoknya.
***
Malaikat kecil tertidur pulas dalam pangkuan Candra.
"Dasar anak kecil, habis makan dia malah tidur", Tasya tersenyum lembut menatap kewajah putrinya.
"Mbak, Candra minta tolong. Rapatnya diundur besok pagi saja", Candra tiba-tiba memberikan perintah.
"Baik", Sinta mengangguk pelan, kemudian berlalu dari ruangan Candra menuju ke ruangannya.
"Kenapa diundur...? Tasya sama malaikat kecil pulang saja", Tasya merasa tidak enak, karena Candra sampai meninggalkan pekerjaannya.
"G'ak perlu", Candra menjawab lembut. Kemudian mengusap lembut kepala malaikat kecil.
"Tasya g'ak mau, gara-gara Tasya dan malaikat kecil, kerjaan Candra malah terbangkalai. Kita pulang saja, tidak apa-apa", Tasya kembali menawarkan.
Candra tersenyum lembut, "Candra... Hanya lagi g'ak bisa konsentrasi buat kerja. Percuma juga kalau dipaksa kak", Candra bicara lirih, tatapannya tetap menatap malaikat kecil yang tertidur dipangkuannya.
"Candra... Lagi ada masalah...?", Tasya berusaha memberanikan diri untuk bertanya kali ini.
"Masalah receh kak, tapi... Tetap saja kepikiran", Candra tertawa renyah, menertawakan dirinya sendiri.
"Maksudnya...?", Tasya bertanya bingung, karena tidak mengerti.
"Candra... Lagi deket sama cewek. Dan... Ternyata keluarganya saksi dalam kasus Candra waktu itu. Keluarganya keberatan Candra sama anak gadisnya", Candra diam sejenak untuk menarik nafas berat sebelum melanjutkan ucapannya.
"Logikanya saja kak, mana ada orang tua yang mau anaknya pacaran sama mantan napi kayak Candra", Candra tersenyum pahit.
"Candra orang baik, InsyAllah ada jalannya", Tasya berucap jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam.
"Terima kasih kak", Candra bicara lirih.
"Candra punya niat yang baik. InsyaAllah, yang diatas akan mempermudah semuanya", Tasya kembali memberikan do'a.
"Aamiin kak", Candra tersenyum lembut.
***
Sudah berjam-jam Cakya di kampus. Pindah dari satu ruangan ke ruangan kelas yang lain. Hingga jam menunjukkan pukul 09.20 Wib. Cakya sudah menyelesaikan kelas terakhirnya.
"Cakya, bisa keruangan saya sebentar...?", dosen memberikan perintah sebelum mengakhiri kelas.
Cakya hanya mengangguk pelan, sembari merapikan buku yang ada di hadapannya. Cakya segera menyusul dosen yang memanggilnya.
Cakya mengetuk pintu dengan sopan. Setelah terdengar suara mengizinkan masuk, Cakya melangkah perlahan menghampiri meja dosen tersebut.
"Duduk", dosen itu bicara pelan, sambil masih sibuk mencari-cari sesuatu ditumpukan berkas-berkas yang ada di samping lemarinya.
"Terima kasih", Cakya menjawab pelan, kemudian duduk dengan sopan dibangku yang ada tepat dihadapan kursi dosen tersebut.
"Nah... Ini dia", dosen itu bicara lega. Kemudian menarik berkas yang dia cari sedari tadi.
"Ada apa bu Nanya mencari saya...?", Cakya angkat bicara, saat dosen perempuan tersebut telah duduk tepat dihadapannya.
"Jangan panggil ibuk. Saya berasa tua banget jadinya. Panggil Nanya saja...", dosen muda yang ada dihadapan Cakya bicara pelan, kemudian melemparkan senyuman terbaiknya.
"G'ak sopan buk. Ibuk dosen saya, lebih tua dari saya", Cakya menekankan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya, agar membuat jarak yang jelas antara dirinya dan dosen muda yang ada dihadapannya saat ini.
Dosen muda itu malah tersenyum mendengar ucapan Cakya. "Saya hanya satu tahun diatas kamu. Hanya beruntung menjalani kelas loncat, jadi bisa lulus lebih cepat", dosen muda itu secara halus membuat batasan yang dibuat Cakya menjadi abu-abu.
Cakya tidak merespon ucapan dosen muda yang ada dihadapannya. Cakya pernah melihat profil dosen yang ada dihadapannya sebelumnya.
Karena otaknya yang cerdas, sehingga hanya menjalani SMP 2 tahun, begitu juga dengan SMA hanya 2 tahun. Kuliahpun dia mulus S1 dengan 3.5 tahun. Lanjut mengambil S2 pada tahun berikutnya. Tidak heran, baru menginjak umur 23 tahun perempuan muda ini sudah hampir menyelesaikan S3 nya.
Nanya menyodorkan beberapa berkas kehadapan Cakya.
Cakya menatap apa yang ada dihadapannya dengan kening berkerut.
"Pada kelas sebelumnya, kamu pernah menyerahkan beberapa judul proposal. Itu sudah saya baca dan teliti. Ada beberapa perbaikan, tergantung kamu mau serius menyelesaikan yang mana", Nanya menjelaskan panjang lebar.
Cakya tersenyum hampir tidak percaya, padahal itu hanya keisengan Cakya waktu menyerahkan beberapa file judul proposal untuk skripsinya. Cakya memang punya niat agar bisa lulus tahun depan.
Cakya membuka lembar demi lembar masing-masing berkas yang ada di hadapannnya. Terdapat beberapa coretan tinta merah dibeberapa halaman.
"Kalau saya boleh saran, lebih baik kamu ambil penelitian yang di Garut itu. Tapi... Otomatis biayanya akan jauh lebih besar nantinya, karena tempatnya yang jauh. Untuk mengambil data awal saja, kamu harus survei langsung kelokasi nantinya, belum lagi mengurus surat izin penelitian dan lain sebagainya", Nanya menjelaskan panjang lebar.
"Kalau tidak mau repot, ambil yang disini saja. Akan lebih mudah untuk mengumpulkan data, apalagi... Lokasinya Cukup terjangkau", Nanya kembali memberikan saran.
"Terima kasih buk", Cakya mengucapkan terima kasih karena diluar ekapektasi Cakya, Nanya mau dengan serius menanggapi proposal pemberiannya.
"Oh ya, saya sudah tanya pihak akademik. Karena kamu mengambil SP 3 mata kuliah sekarang. Semester depan kamu sudah bisa mengajukan judul", Nanya bicara pelan.
"Alhamdulillah...", Cakya mengucap syukur.
"Tapi... Akan sedikit repot, karena kamu harus kejar-kejaran penelitian nantinya dengan KKN", Nanya kembali mengingatkan.
"G'ak apa-apa buk, terima kasih", Cakya bicara pelan.
"Yah... Saya rasa segitu saja dulu. Kalau ada apa-apa kamu bisa langsung konsultasi sama saya", Nanya langsung menawarkan bantuan.
"Terima kasih buk, kalau begitu saya permisi", Cakya mohon diri.
Cakya melangkah perlahan menuju parkiran, setelah menyimpan berkas yang diberikan Nanya dengan hati-hati kedalam tasnya, Cakya segera menaiki motornya. Baru saja Cakya mau menghidupkan motornya, tatapan Cakya tertuju pada lorong kampus. Terlihat Nanya sedang meringis kesakitan dilantai, dihadapan Nanya seorang lelaki bersiap untuk mengayunkan tamparan kepipi Nanya.
Cakya segera meninggalkan tasnya diatas motor, kemudian berlari menahan tangan lelaki yang ingin menampar wajah Nanya. Cakya melempar kasar tangan lelaki itu untuk menjauh dari tangannya.
"Bocah ingusan, jangan ikut campur", lelaki itu berteriak geram.
"Cowok mukul cewek itu, namanya bukan cowok. Tapi... Banci", Cakya bicara pelan, kata-katanya demikian dingin. Tatapannya tajam langsung menusuk menembus tulang lawan bicaranya.
Beberapa orang satpam langsung berlari menghampiri Cakya. "Ada apa ini...?", salah satu satpam bertanya bingung melihat keadaan yang demikian tegang.
"Orang ini sepertinya tersesat, tidak tahu jalan keluar", Cakya bicara dingin, memberi isyarat dengan dagunya menunjuk kearah lelaki yang ada dihadapannya.
"Mari pak, saya antar", salah satu satpam langsung menawarkan diri.
Mau tidak mau lelaki tersebut terpaksa mengikuti satpam tersebut.
Cakya membantu Nanya untuk berdiri. Memunguti barang-barang Nanya yang berserakan di lantai, kemudian menyerahkan tas kembali ketangan Nanya.
"Ibuk tidak apa-apa...?", Cakya bertanya lembut.
Nanya tidak bergeming sedikitpun, mukanya pucat pasi.
Cakya menuntun Nanya menuju parkiran, dengan sopan Cakya meminta kunci mobil Nanya.
"Biar saya yang bawa buk", Cakya bicara pelan, menawarkan diri.
Cakya kembali menuntun Nanya menuju kursi penumpang disamping supir. "Sebentar buk", Cakya bicara lembut setelah menutup pintu penumpang.
Cakya berlari menuju kantin didepan kampus, membeli minuman untuk Nanya. Cakya menyerahkan kunci motornya ke salah satu satpam kampus, kemudian memberi perintah untuk mengikuti mobil Nanya.
15 menit berlalu, tidak banyak suara yang keluar dari mulut Nanya, kecuali meminta Cakya untuk berbelok sekali-sekali menunjuk arah menuju rumahnya. Cakya berhenti tepat dihalaman rumah Nanya, setelah memarkirkan mobil Nanya dengan selamat, Cakya langsung menyerahkan kunci mobil ketangan Nanya.
"Saya permisi buk", Cakya bicara pelan.
"Cakya... Terima kasih", Nanya bicara lirih.
Cakya hanya mengangguk pelan. Kemudian menuju kearah motornya yang dibawa oleh satpam kampus.