Nanya berlari kecil menyusuri lorong rumah sakit yang terasa tidak ada habis-habisnya. Nanya mengetuk pintu salah satu ruang rawat inap, setelah mendapat izin untuk masuk, Nanya membuka pintu perlahan.
Tatapan pertama Nanya tertuju kepada perempuan setengah baya yang sedang berbaring diatas tempat tidur, wajahnya demikian pucat, tangannya bahkan dialiri infus.
Nanya sedikit kaget sekaligus bingung, karena didalam ruangan bukan hanya ada ibu almarhum Dimas. Akan tetapi ada ayah almarhum Dimas, Dwi adik almarhum Dimas dan satu orang lagi lelaki yang tidak dikenal oleh Nanya. Tatapan Nanya tertuju kepada wanita yang duduk disamping Dwi, kalau Nanya tidak salah ingat, dia pacar Dimas semasa hidup.
Setelah menyalami dan mencium ibu, ayah dan adik almarhum Dimas. Ayah almarhum Dimas, memukul bangku yang ada disampingnya, sebagai isyarat agar Nanya duduk di sampingnya.
Nanya duduk dengan perlahan, tidak berani bertanya.
Lelaki yang berada tepat dihadapan Nanya, tiba-tiba membuka sebuah map yang ada dihadapannya. Lelaki itu memakai kacamatanya, kemudian mengangkat map yang ada dihadapannya.
"Baik, saya akan langsung saja membaca surat wasiat almarhum Dimas", lelaki itu bicara pelan, Nanya memasang muka serius, dia bingung mengapa dia dipanggil kesini, padahal ini untuk mengumumkan wasiat almarhum Dimas.
"Saya Dimas Setiawan, dengan ini menuliskan wasiat.
Apabila saya telah tiada:
1. Saya mewariskan perusahaan saya untuk di jalani sepenuhnya oleh adik kandung saya Dwi Setiawan, dan beserta kedua orang tua saya. Setelah saya meninggal mereka berhak penuh atas segala fasilitas yang ada di perusahaan, dan mereka juga berhak membuat keputusan sejauh tidak merugikan perusahaan.
2. Saya mewariskan rumah di Jakarta beserta isinya, dengan nilai total keseluruhan sebesar 1,5 miliar.
3. Saya meminta apartemen yang ada di Singapura untuk dijual beserta isinya, hasil penjualannya akan saya sumbangkan untuk mendirikan yayasan rumah sakit, yang akan dikelola oleh Viola, sebagai ucapan terima kasih saya telah merawat saya dengan sabar. Dan saya dedikasikan untuk orang yang tidak mampu.
4. Adapun semua aset yang tidak tertulis disini, seperti tanah, tabungan deposito, emas, dan lain sebagainya. Sepenuhnya saya serahkan kepada adik kandung saya dan kedua orang tua saya untuk mengelola dengan sebaik-baiknya.
Demikian surat wasiat ini saya buat, dalam keadaan sadar dan tanpa ada tekanan dari pihak manapun.
Tertanda Dimas Setiawan.
Ttd"
Pengacara almarhum Dimas menyelesaikan ucapannya. Kemudian menyerahkan berkas yang ada ditangannya kepada ayah Dimas, untuk dipelajari dan di tandatangani surat serah terima, sesuai dengan isi surat wasiat.
Tanpa pikir panjang ayah Dimas langsung menandatangani, diikuti dengan Dwi dan Viola. Kemudian selanjutnya Dwi menyerahkan berkas kehadapan Nanya.
"Sepertinya ini tidak benar...", Nanya bicara lirih, tatapannya menatap lurus menembus lantai yang dia pijak.
"Apolagi, ini dah jelas surat wasiat Dimas. Dak ado yang nak bisa bantah gi", Dwi tiba-tiba meyakinkan Nanya. ("Apa lagi, ini sudah jelas surat wasiat Dimas. Tidak ada yang bisa membantah lagi")
"Saya bukan siapa-siapanya almarhum, bagaimana bisa saya menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh almarhum...?", Nanya bicara lirih, menatap menghiba kepada Dwi.
Kemudian Nanya mengalihkan tatapannya kepada perempuan yang ada disamping Dwi.
"Viola yang berhak menerima semuanya", Nanya kembali melanjutkan ucapannya.
"Maaf, sepertinya ada salah paham yang perlu saya luruskan disini", Viola merubah posisi duduknya menjadi lebih tegap dari sebelumnya.
"Saya Viola, dokter pribadinya Dimas. Sejak di Singapura, Dimas menjalani beberapa pemeriksaan panjang bersama saya. Dan... Sampai akhirnya difonis kanker. Saya yang merawat Dimas selama disana, Dimas tidak mau keluarganya tahu akan kondisinya yang semakin memburuk", Viola menjelaskan panjang lebar.
Viola menatap lekat wajah Nanya, kemudian meraih jemari tangan Nanya.
"Selama perawatan, Dimas banyak cerita soal gadis yang sangat dia cintai, dan... Itu kamu", Viola bicara lembut.
Air mata Nanya keluar tanpa permisi mendengar ucapan Viola. Nanya menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan ucapan Viola.
Viola menggenggam erat jemari tangan Nanya, "Saya tidak asal bicara, itu adanya", Viola kembali meyakinkan Nanya.
"Lalu... Kenapa selama ini dia begitu kasar...?", Nanya kembali menagih sepotong penjelasan.
"Itu semua dia lakukan, agar kamu bisa membencinya", Viola bicara diluar dugaan semua orang.
"Kamu... Pasti belum baca surat yang diberikan oleh Dimas...?", Viola langsung menebak, mengapa reaksi Nanya begitu terpukul mendengar penjelasan yang dia berikan.
***
Erfly mengalihkan tatapannya, menatap lembut wajah Cakya yang saat ini duduk disampingnya.
"Cakya kemana saja...? Dari kemarin tidak bisa dihubungi", Erfly bertanya pelan, Erfly tetap menatap wajah Cakya, dia seolah tidak ingin melepaskan pemandangan langka yang sedang ada dihadapannya saat ini.
"Cakya lagi dijalan, HPnya mati kehabisan batrai", Cakya menjawab pelan, kemudian merebahkan tubuhnya keatas pasir.
"Kok tiba-tiba muncul disini...?", Erfly bertanya bingung, Cakya memang punya rencana ke Garut saat libur semester, setahu Erfly saat ini bahkan Cakya belum ujian semester.
Cakya perlahan beranjak dari posisi tidur, duduk dengan merangkul kedua kakinya. Kemudian menempelkan pipinya keatas lutut, menatap lekat wajah Erfly.
Erfly membaca raut muka yang tidak seperti biasanya dari wajah Cakya.
"Cakya udah makan...?", Erfly tiba-tiba bertanya, mengalihkan topik pembicaraan.
Cakya hanya menggeleng pelan.
"Mau Erfly beliin apa...?", Erfly bertanya lembut.
"Cakya kangen masakan Erfly...", Cakya menjawab diluar prediksi Erfly.
"Kita pulang sekarang", Erfly kembali memberikan saran.
Cakya segera membantu Erfly untuk berdiri, kemudian menyerahkan kruk milik Erfly. Cakya menuntun Erfly berjalan perlahan menuju rumahnya.
Sesampainya didalam rumah, Erfly meletakkan kruknya ketempat biasa. Kemudian beralih menggunakan kursi rodanya, Cakya dengan sabar membantu Erfly.
Erfly menuju arah dapur, Cakya menatap sekelilingnya. Semua sudah diperhitungkan, Erfly sengaja membangun dapur yang rendah, sehingga dia bisa leluasa memasak menggunakan kursi roda. Bahkan meja makan dan kursi juga dibuat mengikuti kebutuhan Erfly.
"Apa yang bisa Cakya bantu...?", Cakya menawarkan bantuan.
"Bantu makan saja nanti", Erfly bicara disela senyumnya, tangannya masih asik meraih bahan makanan dari dalam kulkas.
Cakya kemudian memilih untuk duduk tidak jauh dari Erfly, mengawasi Erfly yang mulai sibuk dengan kegiatan memasaknya.
Ternyata, duduk dikursi roda sama sekali tidak menjadi penghalang untuk gadis luar biasa yang ada dihadapannya saat ini untuk memasak.
***
Nanya merebahkan tubuhnya kasar keatas tempat tidur setelah melempar asal kunci rumah pemberian pengacara Dimas. Nanya kemudian meraih amplop yang diberikan oleh Cakya pada malam pemakaman Dimas.
Dengan sangat hati-hati Nanya membuka amplop surat, kemudian membuka lipatan kertas yang ada didalam amplop.
"Assalamu'alaikum...
Sebelumnya aku mau mengucapkan terimakasih karena telah sabar menghadapi kekasaranku selama ini. Terima kasih juga sudah menjaga orang tua dan adikku dengan sangat baik.
Disini aku mau jujur, kalau ada gadis yang ingin aku nikahi, jawabannya itu kamu. Tidak ada gadis lain yang aku ingin untuk menjadi pendamping hidupku, tidak ada gadis lain yang ingin melewati sisa hidupku. Hanya kamu.
Aku bahkan sudah membeli rumah, semua dekorasi dan segala isinya. Itu semua adalah impian kamu, karena aku berharap kita bisa menghabiskan masa tua bersama disana, bersama anak-anak kita kelak.
Akan tetapi...
Aku sama sekali g'ak pantas untuk kamu yang begitu sempurna, bahkan semesta g'ak berpihak kepada takdir kita untuk bersama.
Aku tidak mau kamu sedih, oleh karena itu aku melakukan hal-hal yang menyakiti kamu. Agar kamu bisa benci sama aku, jadi... Saat aku pergi nanti kamu g'ak akan sedih.
Aku mendo'akan yang terbaik untuk masadepan kamu.
Wasalam.
Dimas Setiawan.
Nb. Cakya lelaki yang luar biasa, aku berdo'a yang terbaik untuk kalian berdua"
Nanya menangis sejadi-jadinya, mengapa dengan mudahnya Nanya bisa masuk dalam permainan Dimas. Padahal Nanya sudah mengenal Dimas dari kecil, lelaki itu begitu penyayang. Bahkan dia tidak segan-segan membantu yang kesusahan.
Hati Nanya hancur berkeping-keping, saat tahu semua yang diucapkan oleh Viola benar. Nanya tenggelam dalam rasa penyesalannya, bahkan Nanya tidak bisa melepaskan kepergian Dimas dengan benar.
"Dimas....!!!", Nanya menangis tersedu memanggil nama Dimas, malaikat semasa kecilnya. Yang selalu menjaganya dari siapa saja yang membulinya semasa sekolah.