Hari telah menjelang malam dengan ditemani sinar bulan purnama di atas langit hitam dengan bintang-bintang di sekelilingnya. Hewan-hewan telah berada dalam sarangnya bersama keluarganya untuk beristirahat, terkecuali burung hantu yang harus begadang mencari mangsanya seperti tikus dan hewan yang ukurannya lebih kecil dari tubuhnya. Kelelawar pun terbang untuk mencari buah-buahan sebagai pengisi perut, walau buta namun dengan suara ultrasoniknya ia mampu mendeteksi benda di depannya. Warung kopi milik cak Dul dan mas Piet sepi oleh pengunjung karena sangat jarang orang-orang pedesaan yang berani nongkrong di warung kopi. Bukan karena tak tahan mengantuk tapi jalanan yang masih minim penerangan membuat mereka takut diculik oleh wewe gombel, genderuwo atau ditabrak oleh mobil yang tak bertuan. Kadang-kadang berita tentang kemunculan pocong dan kutilanak masih menjadi santapan malam bapak-bapak penjaga pos ronda.
Cak Dul masih terlihat bingung oleh pemesan yang mengatasnamakan dirinya Sulastri. Dari sekian wanita yang dikenalnya, nama Sulastri masih menjadi perempuan misteri dalam hidupnya. Tak tahu dimana ia tinggal, berasal dari keluarga priyayi atau rakyat jelata, memiliki kulit hitam atau putih, berampung lurus atau ikal, ia benar-benar ada atau hanya khayalan belaka. Ia khawatir jika sang pemesan ini adalah orang iseng yang hanya mencari sensasi saja. Atau sang pemesan ini memiliki dendam kepada cak Dul atau mas Piet sehingga ia nekat untuk menuliskan pesananyannya yaitu kopi susu gula darah. Ia masih memandangi gawainya dengan penuh kecemasan. Keringat masih membasahi wajahnya karena takut nyawanya akan menghilang malam ini. Mas Piet yang tak tahu menahu hanya diam dan terus memijat bahu cak Dul agar beban yang menimpanya bisa berkurang.
"Cak, coba kamu telepon lagi. Mungkin saja disana sedang tidak ada sinyal atau hpnya sedang mati." Saran mas Piet dengan perasaan yang sama seperti cak Dul.
"Lamongan ini dataran rendah, mas. Mana mungkin sinyal internet susah?"
"Ya mungkin saja dia masih memakai kartu lama sehingga sinyalnya susah ditangkap oleh teleponnya."
"Enggak. Enggak mungkin kalau di Zombok susah sinyal. Disana itu sinyalnya lancar jaya, mas. Yang aku cemaskan, maksudnya memesan kopi susu gula darah itu apa coba? Nih orang emang sudah enggak waras apa?"
Tiba-tiba gawai cak Dul berbunyi lagi, di layarnya tertulis "1 pesan baru masuk", cak Dul masih memandang layarnya dengan perasaan was-was. Jempol tangannya ibarat hidup segan mati pun tak mau. Jika dibuka akan ada pesan yang membuat jantungnya copot, namun jika tak segera dibuka reputasinya akan turun dan lebih parahnya seorang pembunuh bayaran akan menembakan timah panas ke dalam kepalanya. Cak Dul ingin hidup lebih lama lagi, bahkan seribu tahun ia ingin merasakan surga dunia. Impiannya hanya satu, bisa hidup selamanya dengan Yuli. Memang teman tak tahu berterima kasih, mas Piet yang selalu berada di sisinya kala susah maupun senang harus kalah dengan seorang wanita.
Dengan perlahan, cak Dul membuka pesan tersebut dan membacanya dengan seksama. Pesan itu tertulis, "AKU INGIN 10 GELAS KOPI SUSU GULA DARAH MANUSIA. MASING-MASING GELAS HARUS ADA 5 TETES DARAH MANUSIA, TIDAK KURANG ATAUPUN LEBIH. PESANANKU HARUS DATANG PADA JAM 11 MALAM INI. JIKA LEBIH DARI ITU, SETIAP MALAM AKU AKAN DATANG DAN MENERORMU". Ia langsung diam dengan tangan yang sudah penuh keringat diiringi bulu kuduk berdiri lurus sejajar seperti duri landak. Mas Piet terus memijat punggung cak Dul dengan harapan perasaan tenang bisa datang untuk mengusir ketakutan yang belum mereka rasakan sebelumnya. Beberapa malam lalu mereka telah berhadapan sosok pembawa cangkul tanpa kepala dan sekarang mereka harus mengirimkan 10 gelas yang berisi air perasan kopi robusta, susu kental manis, dan 10 tetes darah manusia di setiap gelasnya.
"Duh Gusti, cobaan apa lagi yang menimpaku ini? Kenapa tiada hari tanpa teror sih? Aku hanya ingin berusaha hidup tenang dan bisa sukses dengan bisnisku." Cak Dul mulai mengeluarkan air mata lalu mengalir deras di pipinya. Telapak tangan kanannya dihantamkan ke dalam tanah sehingga membuat semut semut berlarian dari dalam sarangnya dengan membawa telur-telur mereka dan jangkrik mulai menghentikan suara-suara yang ditimbulkan dari gesekan kedua sayapnya lalu melompat untuk mencari tempat yang aman. Mas Piet mengelus punggung cak Dul dengan halus berulang kali karena masih belum ada ide yang masuk ke dalam otaknya. Ia terus memutar otak agar cak Dul berhenti menangis dan memukul tanah. Hingga akhirnya mas Piet berdiri lalu mengangkat tangan kanannya dan dikepalkan ke depan dada.
"Cak, demi kamu aku akan mengorbankan diriku. Apapun yang terjadi walau nyawa taruhannya, aku akan lakukan semuanya."
"Ma, mas. Kamu."
"Ayo kita buat kopi sesuai dengan pelanggan kita. Kita tak pernah mengeluh walau permintaan pelanggan aneh-aneh."
"Mas Piet. Oh mas Piet, engkau adalah sahabat sekaligus penyelamatku. Terima kasih Gusti, Engkau telah memberikan hamba orang yang baik dan setia kepadaku di kala senang maupun susah."
Mas Piet kemudian mengangkat lengan cak Dul yang berotot lalu cak Dul perlahan-lahan berdiri melawan gravitasi bumi. Ia berusaha bangkit dari masalah yang sangat sepele baginya, sebuah pesan teror tak berguna dengan menggunakan modal ancaman seharusnya bagai buih di tengah samudera. Cak Dul adalah macan yang siap menghadapi lawannya dengan cakar serta taring yang tajam.
Cak Dul dan mas Piet mulai berjalan beriringan seperti dua pemain bola yang baru keluar dari baju ganti menuju lapangan sepak bola. Mas Piet telah berhasil memantik semangat cak Dul dengan penuh membara. Rasa takut mulai dihapuskan perlahan-lahan karena untuk apa harus takut melawan makhluk yang lebih hina dari mereka berdua. Tak perlu risau jika ia adalah manusia atau setan yang akan menerkam.
Cak Dul mulai mengambil kantong yang berisi 5 kilogram biji kopi, ia tuangkan ke dalam mesin penggiling kopi untuk membuatnya lebih halus dan bisa diminum. Setelah kopi masuk, dihidupkanlah mesin penggiling dengan tombol yang menempel di sisi kiri. Mulailah biji-biji kopi itu turun ke bawah melewati bagian penggiling yang berada di dalam mesin. Kopi itu digiling begitu cepat yang awalnya hanya seonggok kopi berubah menjadi partikel-partikel kecil berwarna hitam dengan aroma harum yang khas. Mesin itu seperti pesulap yang mampu merubah apa saja, kelinci menjadi katak atau merubah suara gajah yang mengikik menjadi suara tikus yang menyicit.
"Mas, tolong kamu rebus air putih pakai teko aluminium ya. Isi sampai penuh. Airnya kamu ambil di galon, jangan ambil di keran."
"Siap cak". Mas Piet mengambil sebuah teko aluminium yang berukuran sedang dengan corong yang panjang dan berbentuk seperti belalai gajah. Diisilah teko itu dengan air putih yang diambil melalui galon dengan kapasitas 18 liter. Setelah penuh ia taruh teko di atas kompor lalu direbus dengan api sedang. Mas Piet berdiri di depannya dengan penuh kesabaran, nyamuk-nyamuk mulai berterbangan mengelilingi kepalanya untuk mencari waktu yang tepat agar nyaman menghisap darah dari daging mas Piet yang hangat dan segar itu. Angin malam mulai berhembus menusuk tulang. Perut mas Piet mulai berbunyi sebagai pertanda bahwa lambungnya memerlukan makanan, biasanya waktu malam ia selalu menyantap nasi goreng dengan irisan ayam goreng di atasnya. Namun dalam kondisi ini, ia seperti berada di medan pertempuran yang melawan segorombolan manusia dengan senjata pistol dan pedang di tangannya. Mas Piet bagaikan seorang penembak jitu yang harus menghabisi musuh dari jarak yang sangat jauh dan tak terlihat dengan penuh kesabaran serta perhitungan yang akurat, jika tidak maka peluru tak akan menembus kepala musuh.
Cak Dul tak kalah semangatnya dengan mas Piet, ia mulai menyiapkan 10 buah gelas plastik berukuran sedang. Es batu berbentuk kubus dengan ukuran sebesar batu kerikil ia masukkan ke dalam masing-masing gelas sebanyak 8 buah. "Mas, kamu jangan mengantuk. Tetap awasi tekonya jangan sampai airnya menguap". Cak Dul mengatur nafasnya sebentar, ia mulai kewalahan padahal sejak awal semangat sudah membara dalam dadanya. Namun ia lawan rasa lelah dan malas karena yakin perjuangan membuat campuran kopi dengan resep di atas normal akan berbuah hasil. Memang siapa gerangan yang ingin meminum campuran kopi, susu dan tetesan darah manusia yang berbau tengik. Sekadar mencicipinya pun perut akan terasa mual dan memuntahkan kembali minuman itu.
Air rebusan dalam teko mulai mengeluarkan uap panas yang keluar dari corong. Gelembung air sudah menari-nari di dalamnya. "Mas kompornya tolong matikan sekarang!". Mas Piet mematikan kompor untuk merebus air, asap panas telah mengepul dan mengelilingi badan teko. Gelembung masih berkumpul di air putih yang telah selesai direbus, namun perlahan menghilang. Dengan perlahan, mas Piet mengangkat teko dengan selembar serbet yang telah dibasahi air dingin agar tangannya tidak melepuh karena terkena uap air atau jika ceroboh seluruh badannya akan membengkak karena tumpahan air panas.
Cak Dul baru teringat jika ia belum memiliki Rokpresso. Semacam alat pemeras jeruk yang di tengahnya berbentuk tabung dengan tuas di kanan dan kiri. Untuk memakainya, bubuk kopi ditaruh di porta yang diletakan di bawah tabung kemudian air panas dituangkan di dalam tabung lalu kedua tangan mendorong ke bawah agar menghasilkan kopi yang sempurna.
"Baik kita akan buat kopinya. Perhatikan sang barista bermain, mas." Cak Dul mengikat kepalanya dengan tali rafia yang ia temukan entah dimana, ditarik nafas sedalam mungkin hingga dadanya membusung ke depan lalu dikeluarkan melalui mulutnya. Malam ini ia tidak menghisap satu batang rokok pun, biasanya ia mampu menghabiskan satu bungkus rokok kretek yang berisi 12 batang dalam sehari. Mungkin saja paru-parunya sudah kelelahan mendapatkan racun dari tembakau kering yang dibakar. Ketika orang lain menghirup oksigen lalu menghembuskan menjadi karbondioksida, namun paru-paru cak Dul harus mengalami nasib yang malang yaitu menerima karbondioksida dan nikotin kemudian dihembuskan menjadi karbondioksida. Sungguh nasib sial.
Cak Dul mengambil bubuk kopi dengan wadah berbentuk sendok, dirapikan bubuk kopi itu dan dimasukkan kembali ke rok presso. Gelas kecil ditaruh di bawah rok presso untuk menampung air perasan kopi. Air panas dituangkan ke dalam tabung sampai penuh kemudian cak Dul mendorong tuas rok presso dengan sekuat tenaga hingga keluarlah larutan air berwarna hitam pekat sebanyak 100 ml. Memang butuh perjuangan keras untuk menghasilkan kopi yang sempurna dengan aroma wangi khas kopi robusta.
"Ternyata butuh perjuangan keras juga untuk menghasilkan kopi sebanyak ini. Walah mas memang enggak mudah untuk membuat kopi. Menanamnya harus sabar dan rajin. Dari biji kopi sampai menumbuhkan buah kopi saja selama 6 bulan. Bahkan ada yang sampai satu tahun. Setelah dipanen, kopi harus dikeluarkan bijinya kemudian dijemur sampai benar-benar kering. Baru deh kopi bisa konsumsi. Walaupun yang dihasilkan hanya sebanyak gelas kecil ini. Tapi di zaman sekarang banyak varian kopi apalagi di kota-kota besar".
"Wah cerdas juga kamu, cak. Tahu darimana itu?"
"Cerita orang-orang. Hehe. Yasudah mas, tolong kamu buatkan susu ya."
Mas Piet mengambil satu kaleng susu kental berukuran kecil, dibukalah kaleng susu dengan pembuka kaleng. Lalu dituangkan ke dalam gelas berukuran besar sampai memenuhi seperempat gelas. Setelah itu air dimasukan ke dalam gelas sampai penuh dan diaduk sampai air terlihat putih seperti krim.
Cak Dul masih membuat larutan kopi sampai 10 gelas. Sayangnya apabila kopi telah dimasukkan ke dalam rok presso, ia tidak bisa dipakai dua kali karena intisarinya telah berkurang. Khawatir rasa kopi akan berkurang. Dengan sabar ia lakukan. Setelah cukup, 10 gelas tersebut diisi dengan es batu, air susu kental manis setengah gelas dan terakhir air perasan kopi.
"Cak, masih belum selesai dan waktu kita sudah sangat terbatas. Masih ada yang kurang."
"Apa?"
"Darah. Kita butuh darah, cak. Akan aku campurkan darahku ke dalam kopi ini."
"Tunggu. Aku juga akan menggunakan darahku. Kamu 4 gelas saja sedangkan darahku akan bercampur di 6 gelas kopi susu ini."
Cak Dul mengambil pisau yang tersimpan di laci warungnya. Panjangnya 7 sentimeter dengan gagang dari kayu. Ujung pisau itu sangat tajam seperti katana yang digunakan oleh para samurai di Jepang untuk menghilangkan satu kepala dalam satu tebasan. Ia mulai mengiris ibu jarinya di tangan kiri secara perlahan-lahan. Pisau itu mulai digesekkan oleh cak Dul berulang kali hingga menembus kulit luarnya sampai hampir mengenai daging. Darah segar mulai keluar perlahan, lama kelamaan mengucur deras. Cak Dul berusaha menahan sakit yang teramat perih. Tangan kanannya menahan jempol itu agar darah terus keluar.
"Mas, cepat ambil satu gelas kopi itu. Cepat! Lalu arahkan tanganku kesitu. Teteskan darahku sebanyak 10 kali. Jangan kurang atau lebih". Mas Piet mengambil satu gelas kopi susu lalu meraih jempol kiri cak Dul yang masih mengalirkan darah. Ia taruh di atas dengan memfokuskan pandangan untuk bersiap menghitung tetesan darah yang akan masuk ke dalam kopi. Jantung mas Piet berdetak sangat kencang, wajah dan seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat. Ia mulai meneteskan darah cak Dul. Pada hitungan pertama darah yang menetes cukup banyak dan kental. Hitungan kedua, ketiga, hingga kesepuluh darah menetes seperti tetesan atap bocor terkenan air hujan. Satu gelas kopi susu darah telah selesai. Darah cak Dul telah bercampur dengan kopi, susu kental manis dan es batu. Aroma kopi dan susu bercampur darah yang tengik mulai menusuk hidung mas Piet. Ia ingin muntah namun berusaha ditahannya agar isi perutnya tak keluar. Ia terus lakukan itu sampai gelas keenam. Karena tak kuasa menahan aroma busuk darah, mas Piet pergi menjauhi cak Dul dan muntah. "Mas, kamu enggak apa-apa kan? Ayo mas kurang 4 gelas lagi. Kamu harus kuat, mas. Demi masa depan warung kopi kita."
Cak Dul masih meringis kesakitan dengan tangannya yang mulai dingin dan kaku karena mengeluarkan banyak darah. Jantungnya memompa lebih keras darah agar ia tetap hidup. Tidak hanya satu sayatan saja untuk memberikan 10 tetes darah dalam setiap gelas, namun cak Dul telah memberikan 3 sayatan di jempolnya. Hanya orang gila yang mau menyakiti dirinya dengan mengiris jempol tangan kemudian mencampurkan ke dalam kopi susu untuk dijadikan minuman. Cak Dul bisa saja menolak pesanan tersebut walau teror akan berdatangan di malam-malam berikutnya. Ia bisa melapor kepada polisi atau perangkat desa setempat. Namun dalam pandangannya, mungkin polisi akan menolak laporannya dan malah menjadikan cak Dul sebagai tahanan karena dianggap halu atau telah melakukan pesta minuman keras. Melapor ke perangkat desa pun sama saja ia akan ditahan di kantor pak lurah karena telah mengonsumsi narkoba atau menghisap ganja. Maka jalan terbaik adalah menghadapi masalah seperti seorang ksatria yang tak pantang takut.
Mas Piet menghampiri Kembali cak Dul lalu mengambil pisau. Namun ia tidak mengiris jempol kirinya tetapi jari telunjuk, jari tengah dan jari manis di tangan kiri. Ia rapatkan ketiga jari lalu dengan secepat kilat disabetlah pisau itu ketiga jarinya dan darah merah langsung mengucur deras. Ia cepat-cepat mengambil keempat gelas tersebut. Namun satu ia sisihkan. Tiga gelas kopi susu ia teteskan darah sebanyak 10 kali, ia tak mencium bau tengik darahnya sendiri. Aneh memang.
"Cak, tinggal satu gelas lagi yang belum kita campur dengan darah. Bagaimana kalau campurkan darah kita ke dalam gelas terakhir ini. Tapi jangan memakai ibu jarimu karena sudah ada tiga sayatan. Pakailah jari telunjuk kirimu. Aku takut apabila lukamu yang kering jika disayat lagi malah mengucur lagi dan tidak bisa berhenti. Bisa-bisa jarimu harus dijahit,cak. Apalagi disini jarak rumah sakit sangat jauh ditambah lagi kita tidak punya uang untuk membayar pengobatanmu nanti. Ayo cak, kita pasti bisa ya."
Sekarang mas Piet mengiris ibu jari kirinya dengan cepat agar darah bisa keluar. Dan benar saja dengan sekali goresan cepat, darah keluar dari jempol kiri. Ia raih gelas terakhir dan langsung meneteskan darah sebanyak 5 kali. "Cak, sini aku iris jempolmu." Mas Piet menarik tangan kirinya lalu menekan ibu jari cak Dul dengan kuat. Ia sayat sebanyak satu kali, darah langsung keluar. Ia arahkan ke dalam gelas terakhir. Ia tekan pelan-pelan agar darah tak menetes banyak. Ia tekan sekali, darah menetes satu kali. Ia tekan kedua, darah menetes dua kali. "Waduh, mas. Hati-hati jangan sampai kelewatan dua kali. Hati-hati". Kali ini mas Piet harus ekstra waspada karena darah cak Dul masih mengucur cukup deras. Ia tekan dengan sangat perlahan-lahan. "Plung plung". Darah cak Dul menetes dua kali. "Oh tidak, cak. Darahmu keluar dua kali!". Cak Dul dan mas Piet terkulai lemas karena harus membuang kopi terakhir dan mengulanginya dari awal. Padahal waktu kurang 30 menit lagi. Cak Dul dan mas Piet harus memutar otak serta menerapkan strategi yang tepat agar dalam waktu 2 atau 3 menit kopi terakhir bisa disajikan. Sanggupkah mereka?