Kecerobohan mas Piet membuat cak Dul semakin bingung mengingat waktu sudah hampir mendekati jam 11 malam. Gawai milik cak Dul mulai berdering pertanda pelanggan sudah bosan menunggu lama. Sepertinya rasa dahaga yang mencekik membuat sang pelanggan ini emosi sehingga tak bosan-bosan menelepon cak Dul agar pesanannya segera dikirim secepat mungkin. "Mas, ada telepon masuk tuh. Aku angkat ya". Cak Dul hanya mengangguk kemudian berdiri sambil memegang tangan kirinya yang terluka. Darahnya masih belum kering, ia tekan jari telunjuk seperti mencekik tikus dengan harapan darah yang ia keluarkan bisa tersumbat. Jarinya tak ingin diperban karena tak mau dianggap orang yang lemah. Ia sudah terbiasa dengan yang namanya darah dan rasa sakit seperti saat masih bekerja sebagai kuli. Seringkali dimarahi, dibentak, bahkan dipukuli adalah makanan sehari-hari demi bisa makan sesuap nasi. Mas Piet mengangkat telepon yang berbunyi, "Sepertinya itu pelanggan yang enggak sabar" gumamnya.
"Halo selamat malam, kak. Mohon ditunggu ya kak, pesanannya setelah ini akan kami antar segera."
"CEPAAT!!!" Suara wanita itu mulai dinaikkan sampai-sampai gendang telinga mas Piet ingin pecah. Ia tertawa cekikikan lalu ada suara "srink srink" seperti dua pisau yang beradu. Mas Piet mencoba tenang sambil mematikan telepon meskipun keringat mulai keluar di keningnya. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian dihembuskan pelan-pelan. Tarik nafas lagi, hembukan lagi sampai 5 kali. Jantungnya ingin lepas karena suara penelepon itu tidak memberikan aba-aba jika ingin teriak. Langsung sontak begitu saja. Mas Piet masih berdiri sambil memejamkan matanya dengan pikiran kosong yang entah kemana isi pikirannya pergi.
Cak Dul kembali menuju penggilingan kopi dengan harapan masih ada bubuk kopi yang masih layak diminum. Ia melakukan uji coba sederhana yang mungkin belum dilakukan sebelumnya. Ia ambil kopi yang masih berada di dalam rokpresso lalu dimasukan ke dalam gelas. Ia tuangkan air hangat dari teko tersebut. Sayangnya kopi yang dihasilkan tidak sepenuhnya sempurna. Bubuk kopi membumbung ke atas dan melayang di dalam gelas. Air campuran kopi tidak berwarna hitam namun kecokelatan. Karena masih ragu apakah kopi itu terasa pahit atau tidak, cak Dul meminumnya sedikit. "Hem, sial. Rasa kopinya tak terlalu terasa. Ini seperti air tawar saja."
Ia lalu mengambil satu bungkus seberat 200 gram yang berisi biji kopi robusta. Ia lalu memandanginya sejenak. Teringat waktu di pagi hari datang seorang gadis cantik yang memakai kacamata. Berkerudung segi empat dan memakai baju gamis hingga hampir menutupi kedua kakinya yang putih. Cak Dul masih mengingat wajahnya yang membuat siapapun betah berlama-lama memandanginya. Walaupun badannya kurus dan tak terlalu tinggi, namun cak Dul masih menyimpan rasa cinta kepada Yuli. Walaupun ia berbeda kasta dengannya, rasa percaya diri masih terus ada dalam dadanya. Cak Dul yakin suatu hari nanti Yuli akan menjadi pendamping hidupnya dan bahagia hingga akhir hayat.
"Yul, aku akan tetap dan selalu mencintaimu walaupun mustahil." Cak Dul masih memandangi bungkus yang berisi ratusan biji kopi kering yang siap digiling. "Krek". Cak Dul menyobek bagian atas kemudian mencium kopi-kopi tersebut. Aroma harum kopi memasuki kedua hidungnya yang membuat otaknya menciptakan segala inspirasi dan memantik semangat untuk bekerja ataupun berkarya. Langkah kakinya berlanjut menuju mesin penggiling kopi. Dimasukkanlah biji-biji kopi tersebut ke dalam sampai memenuhi setengah tabung. Jari telunjuk kanan cak Dul menekan tombol on/off yang ada di sisi kanan badan dan dengan cepat mesin itu menyala lalu melumat habis kopi-kopi di dasar mesin. Biji-biji kopi yang tadinya berbentuk lingkaran tak sempurna seperti mutiara berubah menjadi butiran-butiran halus berwarna hitam. Tangan cekatan cak Dul mengambil bubuk kopi kemudian memasukkan ke porta. Tak lupa air dipanaskan kembali agar kopi yang dihasilkan lebih mantap. Ia memutar tuas kompor ke kanan hingga api mulai mekar berwarna biru kemerahan membakar teko yang berisi air.
"Mas. Ayo kita pasti bisa". Cak Dul mengangkat tangan kirinya sebagai isyarat pemberi semangat kepada mas Piet. Mas Piet membalas dengan tangan kiri lurus ke depan sambill mengepalkan telapak tangan untuk cak Dul yang semangatnya tak padam walaupun cobaan selalu datang bertubi-tubi.
"Kalau kamu semangat, aku juga tak kalah semangat denganmu."
"Itu baru mas Piet yang aku kenal. Jadilah seperti singa, cah. Ini hanya cobaan paling kecil yang lebih kecil daripada atom. Kalau kita takluk, sungguh sia-sia kita hidup".
"Wushhh. Tumben sekali sampean bijak, cak. Apa yang memotivasimu sehingga kau masih tetap tegar hingga saat ini, cak?"
"Yang jelas, kamu dan Yuli adalah alasanku untuk selalu bertahan."
Mata mas Piet terbelalak dan tertawa kecil mendengar apa yang barusan dikatakan oleh cak Dul. Lagi-lagi ia demi seorang perempuan agar bisa bertahan dalam keadaan apapun. Ia hanya memaklumi apabila cak Dul benar-benar mencintai Yuli, toh dia adalah gadis pujaan cak Dul yang telah lama diidamkan sejak duduk di bangku sekolah menengah. Entah sudah berapa tahun cak Dul menunggu agar Yuli berubah sikap kepadanya, mungkin belasan tahun bersabar agar senyum Yuli memancar ke arah cak Dul.
Malam masih terus menghembuskan anginnya yang masih dingin menusuk-nusuk tulang. Purnama bersandar bersama bintang-bintang sambil menunggu Mentari datang di arah timur dengan cahanya yang kuning kejinggaan ditambah suara burung camar yang terbang di atas lautan bergelombang. Jalan raya Pantura terlihat sepi kendaraan, namun jika ada kendaraan lewat seperti truk gandeng atau bis antar kota maka aspal akan menjadi bergetar seperti gempa bumi.
Air yang berada dalam teko mulai mengeluarkan bola-bola gelembung serta uap panas yang keluar dari corongnya. Bunyi "ngiiik" terdengar oleh cak Dul sebagai pertanda kompor harus dimatikan sesegera mungkin agar air tidak menguap sia-sia. Teko tersebut diangkat kemudian dituangkan ke tabung rokpresso, beberapa partikel bubuk kopi terangkat terkena air yang mendidih. Kedua tangan cak Dul memegang erat-erat tuas rokpresso lalu ia dorong ke bawah dan menahannya sampai air benar-benar bercampur dengan kopi sehingga menghasilkan air kopi yang harum dengan citarasa sempurna. Setelah ditekan, air kopi mengucur berkumpul di dalam gelas kecil sebanyak 100 mililiter. Untuk menghilangkan keraguan cak Dul, ia mencicipi sedikit kopi yang dibuatnya barusan agar rasa yang dihasilkan benar-benar pahit bukan tawar seperti air rebusan teh.
Kopi itu mulai dikecapnya sampai ia berpikir sejenak, lidahnya terus menari dalam mulutnya untuk mendeteksi rasa kopi tersebut lalu menstransfer menuju otak agar dibaca tentang rasa di lidahnya. "Wah pahit dan sempurna! Ini baru enak". Dengan penuh keyakinan ia cepat cepat memasukkan susu kental manis rasa vanilla berwarna putih, es batu sebanyak 5 butir, lalu sisa air yang berada di dalam teko hingga memenuhi setengah gelas. Air kopi yang berada dalam gelas kecil ia tuangkan ke dalam gelas yang berisi susu dan es batu sehingga kopi yang berwarna hitam berubah menjadi cokelat karena berbaur dengan susu putih. Cak Dul mengambil pisau yang digunakan untuk mengiris jarinya dan juga jari mas Piet lalu diirislah perlahan-lahan jari telunjuk bagian bawah di tangan kirinya. Ia memejamkan mata serta gigi bagian atas menggigit bibir bawahnya agar tak berteriak di malam yang sepi dan sunyi. Darah merah keluar begitu cepat, tetapi ia tak tergesa-gesa memasukkan darah ke dalam gelas yang berisi kopi susu. Ia usap sedikit dengan jempol kanannya. Ia tekan perlahan agar darah tak keluar dengan deras. Pelan-pelan ia angkat di atas gelas kopi susu kemudian darah menetes satu kali. Cak Dul meringis kesakitas karena ibu jari dan telunjuknya telah ia sayat untuk 9 gelas kopi susu, ia tak mau gelas terakhir dalam kopi susu ini gagal dalam pembuatannya mengingat waktu sudah hampir mendekati jam 11 malam. Percobaan kedua ia lakukan secara perlahan-lahan lagi agar tidak menetes hingga 2 atau bahkan 5 tetes. Wajah cak Dul telah penuh oleh keringat sambil menahan perihnya luka akibat sayatan pisau. Darah menggumpal di telunjuk jarinya sambil digoyang perlahan, 3 tetes darah masuk ke dalam gelas. "Eureka!" Kata cak Dul dalam hati. Matanya terus berfokus pada jari serta darah yang menggumpal itu. Dengan nafas dalam-dalam, mulut berkomat kamit, mata terpejam, dan kepala mengarah ke atas seperti memohon doa kepada Tuhan agar diberikan kekuatan untuknya. Dengan penuh keyakinan cak Dul menggoyangkan jari telunjuk yang penuh gumpalan darah, "plung" satu tetesan darah telah masuk ke dalam es kopi susu secara sempurna. Tidak kurang dan tidak lebih darah cak Dul menetes ke dalamnya. Ia akhirnya bernafas lega walaupun rasa perih di jari telunjuknya masih mengganggunya. Ia berhasil menyelesaikannya dengan percaya diri serta perjuangan tanpa pamrih.
"Mas Piet, ayo kita berangkat". Seru cak Dul kepada mas Piet yang masih memegang gawainya. Petualangan malam yang penuh tantangan akan dihadapi mereka berdua setelah ini. Semoga saja Sulastri benar-benar manusia. Ataukah bukan?