Berada dalam keadaan yang paling terpuruk, aku berusaha menahan hembusan napas, berlindung di balik penyangga beton raksasa yang dingin.
Keringat membasahi sekujur tubuh ku, tapi paradoksnya, aku merasa seperti tengah membeku.
Apakah inilah yang mereka maksud dengan 'keringat dingin'? Tapi tak perlu kita pikirkan itu sekarang. Yang lebih mendesak adalah bahwa dia tengah berjalan mendekat ke arah ku.
Aku berbincang-bincang panjang dalam hati, berdebat antara menyerah dan mengungkapkan semua kebenaran, atau melarikan diri, meski aku ragu dengan opsi kedua tersebut. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyerah, berharap Lucia dapat menyelamatkan ku.
Dengan kendaraan yang menjadi titik awal dari semua kekacauan ini, aku dibawa ke sebuah bangunan yang tampak megah. "Tidak! Ini adalah kesalahanku," bisik hati ku, menolak untuk menyalahkan faktor eksternal yang tampaknya tak masuk akal.
Namun, apa yang benar-benar mengejutkan ku adalah benda persegi ini yang orang-orang sebut sebagai mobil. Sebelumnya, aku tak pernah melihat sesuatu seperti ini. Aku bahkan tak tahu apa yang membuat benda persegi ini mampu bergerak. Satu hal yang aku tahu, benda ini sungguh ajaib.
Pada era ku sebelumnya, terdapat hanya dua pilihan untuk berpergian. Pilihan pertama adalah naik kuda atau delman, yang memang dapat memakan waktu cukup lama jika jaraknya jauh, dan tentunya kuda juga perlu beristirahat. Secara umum, kuda dapat berlari tanpa henti sejauh dua puluh tujuh kilometer per hari.
Pilihan kedua adalah berjalan kaki, sejelas itu.
Aku sendiri di sini, tak ada yang mengendalikan benda aneh ini. Sejujurnya, aku telah berusaha menghubungi Lucia, namun tak ada balasan.
Seandainya saja aku tak berkelana sendiri di tengah kota, layaknya kucing yang tersesat. Sungguh, aku merasa seolah-olah aku adalah kucing yang tengah kehilangan jalan.
Baru tiba di negeri asing ini belum genap sebulan, aku sudah menciptakan masalah. Andai Lucia ada di sini. Andai aku tak terpisah dengan Lucia. Pikiran seperti itu terus mendera kepalaku. Aku penuh penyesalan. Namun, semua itu terbayar. Aku berhasil menemukan pemegang Buku Takdir.
Mobil yang aku tumpangi tiba-tiba berhenti, seolah ada sesuatu yang menghalangi jalannya.
Kami telah sampai, di sebuah bangunan yang terlihat seperti kastil-kastil di Eropa. Namun, entah mengapa aku merasa sangat gelisah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.
Seorang penjaga membukakan pintu mobilku, dua penjaga lainnya berdiri dengan waspada, berbalik menghadap kami.
Aku dipandu masuk ke dalam bangunan ini, sepanjang perjalanan aku terpesona oleh interior bangunan ini. Dari luar, bangunan ini tampak seperti bangunan abad pertengahan, namun di dalamnya sangat modern dan minimalis.
Sejak tadi, aku ingin menanyakan banyak hal kepada penjaga yang mengantarku. Namun, mereka hanya diam dan saya merasa tidak nyaman untuk memecah keheningan tersebut.
Setelah beberapa menit berjalan, kami tiba di sebuah ruangan. Di ruangan ini hanya terdapat satu meja dan dua kursi. Dindingnya pun tampak hanya terbuat dari tanah liat. Aku menduga ini adalah ruang bawah tanah, lebih tepatnya ruang interogasi.
Mungkin karena aku tertangkap basah mengintip orang yang sedang menggunakan buku kuno itu, mereka menganggapku sebagai ancaman. Mengingat sifat rahasia dari buku tersebut.
Kepalaku dipaksa untuk berpikir lebih dalam, namun aku terlalu lelah dan memutuskan untuk berhenti memikirkannya. Aku duduk di salah satu kursi, menyandarkan bahu di sandaran kursi. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini adalah sebuah lampu yang biasa saja, tetapi yang membuatnya spesial adalah kenyataan bahwa itulah satu-satunya sumber cahaya di sini. Ruangan ini remang-remang, tapi entah mengapa aku merasa nyaman. Mungkin karena ruangan ini mirip rumahku dulu? Aku memejamkan mataku sejenak.
Keheningan ruangan ini seketika pecah ketika pintunya dibuka dan seseorang memasuki ruangan ini. Itu adalah orang yang menggunakan Buku Takdir!
Dia duduk di kursi di seberangku, dipisahkan hanya oleh sebuah meja kecil. Suasana ini benar-benar mirip ruang interogasi.
"Kenapa kamu tidak terluka atau pingsan saat kejadian itu?" Dia langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Kenapa? Seharusnya orang yang baru pertama kali bertemu perkenalkan diri mereka terlebih dahulu," aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, melainkan membalas dengan pertanyaan.
"Maaf. Biar aku perkenalkan diri, aku Sharman, Kepala Polisi di negara ini. Jadi, balik lagi ke pertanyaan sebelumnya. Tolong dijawab."
Aku sangat terkejut mendengar kalau dia adalah Kepala Polisi, aku harus berhati-hati agar tidak terlibat lebih jauh.
"Aku adalah Lutfi, warga biasa dari sebuah desa. Aku hanya kebetulan sedang berkunjung ke kota dan terlibat dalam masalah ini. Dan kenapa aku tidak terluka? Aku sendiri tidak tahu," aku berusaha menjawab sejelas dan sejujur mungkin.
"Mustahil! Tidak ada orang biasa yang bisa bertahan dari objek itu," Sharman tampak tidak percaya dengan apa yang kukatakan.
"Lebih dari itu, aku lebih tertarik pada buku yang kamu miliki," kataku, menunjuk ke tas kecil yang selalu dia bawa.
"Kau pengguna Buku Takdir, bukan?" Aku mengajukan pertanyaan lain.
Sejak tadi aku merasa jengkel dengan situasi ini. Aku hanya berencana berkeliling kota, menikmati suasana pagi dengan berjalan kaki. Namun malah terseret ke sini.
"Kau! Bagaimana kau tahu tentang buku kuno ini?!" Dia tampak sangat terkejut ketika aku menyebut Buku Takdir.
"Tentu saja, karena aku juga adalah pengguna BUKU KEHIDUPAN," jawabku.
"Bisakah kamu memastikan itu?" Tanya Sharman, mencoba menutupi rasa terkejutannya.
Aku merogoh tas ransel yang telah menjadi teman setia sejak berkelana di sini, mengambil sebuah buku kuno yang kupegang. Dengan hati-hati, aku memperlihatkannya kepada Sharman, berharap kejadian ini akan membawa pembebasan bagiku.
"Mustahil! Sudah berlalu waktu yang sangat lama sejak kami terakhir kali menemukan orang yang memegang Buku Kehidupan," ucapnya, tampak terkejut namun kini dengan sedikit percaya.
Dengan gerakan yang cepat namun penuh perhatian, Sharman mengeluarkan Buku Takdir miliknya dan menaruhnya di meja, berdampingan dengan Buku Kehidupan milikku.
Tak memerlukan waktu lama, kedua buku tersebut seolah bergetar dan mulai memancarkan cahaya. Cahaya tersebut berasal dari ukiran-ukiran indah yang menghiasi kedua buku itu, seolah-olah mereka sedang berbicara satu sama lain.
Buku milikku memancarkan cahaya berwarna hijau zamrud, sedangkan buku Sharman memancarkan cahaya ungu tua yang misterius. Kedua sinar itu menari-nari, menerangi ruangan yang sejak tadi hanya diterangi oleh cahaya remang-remang. seketika ruangat tersebut di penuhi cahaya biru dan ungu tua yang misterius.
Aku melirik ke arah Sharman. Dia tampak begitu terpana, seolah tidak percaya dengan apa yang sedang dia saksikan. Tubuhnya beku seakan-akan waktu berhenti baginya. hal itu juga berlaku untuk ku.
Sementara itu, sinar dari ukiran-ukiran di kedua buku tersebut berkelip-kelip, memantulkan cahaya yang seolah-olah menjadi sandiwara cahaya yang sedang berkomunikasi.
Namun semua kegembiraan itu lenyap seketika, terdengar suara peringatan dari benda berbentuk kotak yang selalu di bawa oleh Sharman.
"Lapor, telah terjadi serangan yang tidak diketahui di wilayah pasar. Segeralah untuk menuju ke sana."