Kesibukan Zen cukup mengalihkannya dari Daisy. Pekerjaannya yang tiga hari ini benar-benar mengabaikan Daisy berturut-turut. Hingga Daisy terkadang cemberut merasakan itu. Sebab biasanya Zen memang tidak pernah sesibuk ini.
"Jadi saya harus keluar kota?" tanya Zen saat Ita, sekretarisnya mengatakan bahwa klien ingin Zen menuju kantornya langsung yang terletak di luar kota.
"Benar, Pak. Hanya ini kesempatan satu-satunya untuk memenangi hati Pak Jimmy. Bapak tahu kan, beliau memberikan harga besar?"
Zen mengangguk seraya menerawang kalender mejanya. Ia kepikiran dengan Daisy jika sampai meninggalkannya. Tapi itu tentu tidak akan terjadi. Zen akan membawanya. Bagaimana pun.
"Oke. Atur jadwal penerbangan sepagi mungkin, dua orang. Untuk saya dan Daisy," kata Zen memerintah.
"Apa Bu Daisy berkenan ikut, Pak?"
"Ya... dia sudah pasti ikut. Tolong atur ya, Ita."
Sekretarisnya mengangguk paham lalu keluar ruangan Zen untuk membuat segala agenda dan jadwal untuk Zen.
Zen mengirimi pesan singkat pada Daisy untuk menyuruhnya berkemas sedikit. Ia tidak ada waktu untuk menghubungi Daisy melalui telepon. Setelah itu ia mengantungi ponselnya dan tidak melihatnya lagi.
Pulang tengah malam kini menjadi kebiasaan Zen. Walau begitu, bagj Daisy sangatlah tidak biasa. Bahkan Daisy lebih menjadi pendiam dari pada biasanya. Seakan ia memberikan emosinya yang ia miliki pada Zen, agar tahu bahwa ia sedang kesal.
Namun rupanya Zen terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Laptop yang jarang dipegang di apartemen kini lebih sering ia sentuh, sementara saat di kantor pun sama halnya.
Sekilas Zen melirik ke sisinya, pikirnya Daisy belum ingin naik ke ranjang untuk tidur, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Lalu Zen mendengar televisi berbunyi dan suara di dapur yang cukup berisik. Merasa terganggu dan penasaran, Zen pun keluar kamarnya. Ia memang melihat televisi menyala dan berbunyi, tapi Zen tidak melihat Daisy yang menontonnya. Dimatikannyalah televisinya dan Zen beralih ke dapur.
"Siapa yang matikan, hah?!" pekik Daisy berseru sekaligus berbalik dan melihat ternyata Zen-lah pelakunya.
"Ada apa, Daisy? Kamu kenapa? Dan... apa yang kamu lakukan di dapur malam-malam begini?" tanya Zen berturut-turut. Ia melihat segala mangkuk dan piring berisi berbagai macam adonan berserakan di mana-mana. Indera penciumannya juga mencium bau-bau khas roti dipanggang melalui oven.
Daisy menoleh ke sekitarnya dan mengedikkan bahunya. "Hanya mencoba sesibuk mungkin. Dan oh... aku nggak bisa ikut kamu ke luar kota. Karena di tanggal itu, aku ada pemotretan khusus yang menghasilkan lumayan uang dari biasanya," kata Daisy cuek.
Zen mendekat dan menaikan satu alisnya. "Kamu nggak bisa? Kamu menolak?"
"Hmm... kayaknya kesibukanmu juga membuatmu lupa melihat ponsel, ya? Ya, sudahlah... aku pun juga sedang mencoba sibuk." Nada bicara Daisy terdengar bergetar. Saking getarnya, ia sampai harus beraktivitas dan membalikkan tubuhnya, mencoba menutupi rasa sakitnya di hadapan Zen.
"Daisy... ingat, kamu nggak boleh dan nggak bisa menolak aku," kata Zen mendominasi.
"Yah, aku ingat. Tapi pekerjaanku... pekerjaanku membutuhkan aku. Sama seperti pekerjaanmu membutuhkan... kamu," balas Daisy.
Kini Zen sudah di belakang tubuh Daisy. Perlahan ia memegang kedua lengan Daisy dan mencoba mengembalikkan tubuh Daisy. Kini Zen bisa melihat penampakan Daisy di bawah gemerlap cahaya malam dan sedikit penerangan dari ruang tamu.
"Katakan kalau aku salah," ujar Zen.
"Kamu memang salah. Kamu mengabaikan aku. Kamu nggak peduli aku. Kamu sangat sibuk akhir-akhir ini. Aku... aku merasa sendiri," isak Daisy mengeluarkan segala isi hatinya.
Zen menghela nafas. Ada rasa senang dalam hatinya karena rupanya Daisy merasa begitu, tapi ia juga tak menyangka bahwa dirinya begitu sangat sibuk belakangan ini.
"Maaf. Aku minta maaf untuk segala kesibukanku yang mengabaikanmu. Aku hanya benar-benar sedang sibuk menangani beberapa hal," kata Zen kemudian.
Daisy melepaskan genggaman Zen dan beralih membelakanginya lagi. Pikirnya, sepertinya percuma juga membuat Zen paham akan apa yang ia mau. Jadi, Daisy berusaha menyibukan diri lagi.
"Yah, apa pun itu, aku nggak bisa ikut kamu. Terserah kamu mau marah atau apa, aku nggak bisa. Dan ah, jangan coba menghentikan Gery agar aku nggak ikut pemotretan itu. Oke? Karena nggak akan berhasil."
***
Sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar membuat Daisy terbangun. Matanya mengerjap dan sadar bahwa di sisinya tidak ada Zen. Daisy menghela nafasnya menatap sisinya di mana hanya ada bantal dan selimut yang terbuka, menandakan bahwa Zen memang sudah pergi.
Rasa malas membuat dirinya enggan beranjak, sampai sebuah suara dari arah dapur membuatnya tersentak. Ia pun langsung bangun dan mengendap-endap, mencari tahu siapa pencuri yang berani masuk ke apartemennya yang ketat penjagaannya seperti ini.
Namun nihil, ia tidak menemukan pencuri, malahan ia menemukan Zen sedang sibuk dengan sesuatu yang dimasaknya.
Daisy menahan tawanya sedikit. Seharusnya ia tahu bahwa tidak akan ada pencuri yang bisa masuk ke sini. Tidak sekali pun.
"Aku pikir kamu jadi pergi ke luar kota," kata Daisy seraya meraih air mineral di kulkas.
"Aku nggak akan kehabisan uang walau meninggalkan klien penting itu, Daisy. Bagiku yang penting cuma kamu."
Memerah. Daisy merasa pipinya bersemu setelah Zen mengucapkan kalimat itu. Tapi juga dirinya seperti di tusuk sesuatu, menyindirnya secara tidak langsung.
"Dan sekarang kamu buat aku bersalah," timpal Daisy.
"Kamu bisa tebus kesalahanmu."
"Hmm?" Daisy bergumam.
"Karena kamu udah berpenghasilan, bagaimana kalau traktir aku makanan yang enak di restoran bintang lima paling atas?" tawar Zen menantangnya.
Daisy menimbang-nimbang tawaran yang menantang itu. Bukan masalah uang yang ia pikirkan, tapi ia sendiri tidak tahu lokasi seperti apa yang cocok untuk laki-laki sekelas Zen.
"O... oke," jawab Daisy menerima tantangan itu. Daisy berani menjawabnya karena ia bisa meminta tolong Vino untuk mencari tahu tempat yang memang belum pernah Zen datangi.
Zen menatap tak percaya bahwa Daisy menyiapkan pakaian yang serba resmi untuknya dan diletakkan di atas kasur mereka. Kemeja putih, dasi hitam, jas hitam dan tak lupa celana kain hitam yang perfeksionis jika dilihat. Pikirnya, Daisy tak akan menemukan restoran yang ia maksud. Tapi sepertinya Zen salah.
Saat menatap Daisy yang memakai gaun merah darah dengan dua tali yang membalut bahunya, Zen terpana. Tubuh seksinya terekspos, membuat tubuh Zen memanas.
"Zen? Kok belum dipakai?" tanya Daisy membuyarkan lamunannya.
"Apa kamu dapat restorannya?" tanya Zen masih tak percaya.
"Apa kamu meragukan aku, Zen?"
Tatapan nakal dan menggoda Daisy membuat Zen berbalik dan segera mengenakan pakaiannya. Sementara itu Daisy tersenyum dan keluar kamar dengan suara high heels yang begitu anggun jika didengar.
"Kamu akan menyukainya, Zen..." gumam Daisy pada dirinya sendiri.
haiii~ well, karena adult romance, sometimes aku nggak bisa begitu aja menghilangkan adegan adultnya, but aku bisa menguranginya. jadi, mon maap kalau merasa bosan atau mungkin berlebihan, ya. i try my best for you and for me, especially... trimakasih ^^