"Oke, kamu mau sarapan sebentar sama aku?" tanya Devan mengalihkan topik. Daisy tampak memikirkan ajakan Devan hingga ia sadar sesuatu bahwa ia sudah berjanji akan membawakan sarapan untuk Zen.
"Nggak, Devan. Makasih untuk ajakannya, tapi aku rasa aku harus pulang." Daisy langsung berdiri dan membersihkan rerumputan yang menempel pada celana belakangnya.
"Sekarang?"
"Ya, sekarang. Aku janji akan sarapan dengan Zen. Bye, Devan!" Tanpa mendengar jawaban Devan, Daisy berlalu dan meninggalkannya. Devan hanya memperhatikannya sampai Daisy tidak terlihat sama sekali.
Perlahan Daisy membuka pintu apartemen dengan satu tangan membawa sebuah kantung plastik berisi sarapan sesuai yang ia janjikan pada Zen. Ia mendengar suara musik yang berderu keras dan Daisy mencari tahu dari mana sumber suara itu. Saat ia mendapati apa yang ia cari, wajahnya terkesima. Zen rupanya sedang berolahraga sendiri tanpa busana atas alias telanjang dada.
Ditatapnya tubuh kekar Zen dengan bagian perut yang terlihat seperti kotak-kotak, membuatnya menggigit bibirnya tanpa ia sadari.
"Selesai olahraga, Daisy?" tanya Zen yang membuyarkan lamunannya. Ia merasa malu karena ternyata Zen sudah memperhatikannya entah sejak kapan. Daisy pun segera mengalihkan pandangannya dan mencoba sibuk membuka sarapan yang ia bawa.
"Ya... dan errr... aku bawa sarapan sesuai janji," timpalnya masih gugup.
"Ayo, kita sarapan kalau begitu," ajak Zen yang melewatinya menuju meja makan. Daisy mengembuskan nafasnya lega begitu Zen melewatinya. Ia merasa panas seketika melihat penampilan Zen yang mempesona seperti itu.
Sarapan sederhana dengan dua orang yang rumit, pikir Zen. Ia menatap nasi uduk di hadapannya dengan sesekali lirikan ke arah Daisy yang begitu lahap menyantap makanannya. Zen memang jarang atau bahkan sangat jarang makan makanan pinggir jalan. Tapi melihat cara Daisy menikmati makanannya membuatnya jadi ikut tergerak untuk menghabiskan nasi uduknya.
"Enak, kan?" tanya Daisy yang lebih dulu berhasil menghabisi sarapannya.
Zen bergumam dan mengangguk hingga kunyahan di mulutnya hilang melalui tenggorokan. "Enak. Mungkin next time bisa makan di lokasinya?"
"Menarik. Kalau begitu kita bisa lakukan hal itu besok."
"Besok? Apa nggak terburu-buru?" tanya Zen terkejut.
Daisy menggeleng dengan senyumannya. "Nggak, Zen. Nasi uduk ini memang lebih enak ketika makan di lokasinya. Jadi besok jam lima pagi kita ke sana sekalian olahraga. Oke?"
Lagi-lagi Zen merasa aneh dengan cara Daisy berbicara. Seakan hal kemarin bukanlah masalah atau mungkin tidak dianggap masalah, lalu keajaiban datang dan membuat Daisy berubah secara drastis. Tapi Zen mengurungkan niatnya sebelum ia ingin bertanya tentang keadaannya. Sebab ia tahu baru saja Daisy bertemu dengan Devan.
Zen hanya mengangguk setuju lalu ia berdeham setelah menenggak susu putihnya yang masih hangat. "So, bagaimana olahraga tadi?" tanya Zen.
"Biasa aja. Dan tadi aku ketemu dengan Devan," jawabnya.
"Oh?" Seakan Zen ingin tahu lebih dalam apa saja yang mereka bicarakan, Daisy pun dengan lancar tanpa merasa gangguan menyampaikan apa yang tadi ia dan Devan bicarakan. Jadi Zen mendengarkannya dengan sangat hati-hati seolah ia memang tidak tahu.
"Udah ah, dari pada bahas yang nggak penting. Bagaimana kalau kita mandi... bersama?" ajak Daisy dengan tatapan menggoda yang entah sengaja atau tidak.
Tenggorokan Zen tercekat. Sulit baginya menelan ludahnya sementara mendengar ajakan Daisy yang sangat bukan dirinya, membuatnya bergidik aneh. Mandi bersama Daisy memang bukan ide yang buruk, tapi mengajukan dengan sendiri? Sangat aneh didengar oleh Zen.
"Zen? Mau, kan? Aku tunggu di kamar mandi." Belum sempat Zen menjawab, Daisy berhambur menuju kamar mandi dan akan menunggu Zen di sana. Awalnya Zen hanya diam. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya tak percaya dengan apa yang ia rasakan pada Daisy. Jantungnya berdetak lebih cepat dan ada sesuatu yang aneh yang membuat hasratnya meninggi.
Daisy terlihat sangat begitu seksi tanpa busana sekali pun. Walau pun ini bukan pertama kali baginya, tapi melihat Daisy tanpa busana dengan keinginannya sendiri membuat Zen semakin bernafsu melihatnya. Bahkan Daisy tersenyum begitu ia merasakan Zen ada di belakangnya. Mengecup bahunya dengan lembut di bawah pancuran air dingin dan membasahi diri mereka secara bersama.
Desahan demi desahan Daisy membuat Zen gelap mata. Ia lalu membalikkan tubuh Daisy. Mengecup bibirnya dan melumatnya seakan itu adalah makanan kesukaannya. Tangannya menangkap kedua bokong Daisy hingga ia mengangkatnya dan menahannya di dinding. Daisy bahkan terasa lebih nikmat dari pada dulu.
"Oh!" erang Daisy memohon Zen untuk segera membuatnya terbang. Zen pun akhirnya bergerak untuk mendapatkan apa yang Daisy dan dirinya inginkan. Mereka bercinta dengan hebat di bawah air dingin yang membasahi keduanya.
Setelah mandi, keduanya memakai handuk. Daisy duduk di depan meja riasnya, mengamati wajahnya yang bersemu merah memikirkan apa yang baru saja terjadi di kamar mandi bersama Zen. Rasanya nikmat, batinnya. Ia menyukai seks dengan suaminya. Atau mungkin ia sudah jatuh cinta pada Zen.
"Kita akan ke studio temanku yang agensi model itu, Daisy. Apa kamu siap?" kata Zen memberitahu.
"Ya, siap."
Daisy bergerak ke lemarinya. Memilih-milih gaun mana yang akan ia pakai untuk bertemu dengan agensi itu. Ketika ia mendapatkan gaun yang cukup seksi, ia pun memandangnya melalui cermin.
"Bagaimana? Apa ini kelihatan bagus di badanku?" tanya Daisy pada Zen meminta penilaian.
Dahi Zen berkerut. Ia tak suka Daisy memakai pakaian yang minim. Tapi ia sadar bahwa Daisy akan pergi dengannya, jadi tidak ada masalah jika Daisy memilih pakaian itu.
"Aturan pertama, kamu hanya boleh memakai pakaian seksi ketika bersama aku, Daisy," ucap Zen tajam.
"Jadi? Apa ini cocok?"
"Ya. Ingat, hanya saat bersamaku!"
Daisy mendekat dan mengecup bibir Zen perlahan. "Aku tahu, Zen. Terima kasih untuk memberi kebebasan padaku."
***
Ketika sampai di studio agensi yang di maksud, Daisy dan Zen keluar dari mobil secara bersamaan. Daisy mengalungkan tangannya di tangan Zen sehingga ia memberikan Zen kedamaian yang tak perlu dicemaskan.
Zen menatapnya dengan serius dan kemudian ia memegang rahang Daisy dengan satu tangannya. Zen mencium lembut bibir Daisy selagi masih ada waktu untuk dicuri.
"Dasar, nakal!" erang Daisy tertawa kecil.
Bahkan erangan kecil itu membuat Daisy menegang. Ia semakin ingin membenamkan dirinya pada tubuh Daisy dan mengguncangnya dengan hebat tanpa ampun.
"Setelah ini, nggak akan ada ampun untukmu, Daisy," ancam Daisy dengan serius.
"Oh? Kenapa?"
"Kamu buat aku gila! Aku bisa aja bercinta dengan kamu di parkiran ini. Sangat keras, sangat cepat dan kamu akan meminta terus," bisik Zen.
Jantung Daisy seakan mau lepas begitu saja. Perutnya seperti diisi oleh kepakan kupu-kupu yang membuatnya sangat ingin melakukannya lagi dan lagi pada Zen. Ia tersenyum nakal pada Zen setelah itu. "Aku nggak sabar untuk itu, Zen."
well, sepertinya di part-part setelah ini akan ada adegan dewasanya. jadi, persiapkan mental kalian, oke? yang puasa bisa baca setelah berbuka ya, yang nggak puasa it's up to you mau baca kapan pun dan di mana pun. dan jangan lupa support kalian di setiap menu pilihan yang tersedia. luv you~