webnovel

XI

"Bagaimana hasil operasinya?"

Si Gelandangan kini berbalut pakaian serba hitam menghampiri salah seorang dokter bedah di ruangan operasi, ulir pada topeng sidik jari tampak menutupi wajahnya begitu kontras dengan darah di tongkat dan juga beberapa bagian baju. Begitu merah seolah menantang untuk dinodai warna yang lebih menyala.

Dokter bedah menoleh sekilas dan menunjuk ke beberapa titik di bagian pasien. "Jika saja kau tidak memukulnya di bagian sini, dia pasti akan masih hidup sekarang."

"Oh, begitu ya," Si Gelandangan menjawab datar, disekanya tongkat berlumuran darah yang sudah setia menemani ke pakaian pasien, korban kekejaman tongkat tersebut.

Adrenalin di saat lalu terasa memuncak kini mereda dengan terbunuhnya pria tua di depannya. Sesosok menjengkelkan yang selalu saja memburunya saat di pertambangan, bahkan tak segan-segan menembak atau juga melemparinya dengan pisau walau Si Gelandangan tidak melakukan kesalahan apapun. Tampak di mata orang itu berwujud lebih pucat dari yang terakhir kali ia ingat, begitu lemah bahkan sudah tidak ada gunanya lagi.

"Kau memang VantaBlack baru di sini, tapi harusnya kau juga tahu bagaimana permainan yang disukai oleh kalangan atas."

"Ah, masa bodo. Toh, akhirnya mereka menikmati juga."

"Lalu bagaimana soal hasil kerja kerasku?"

"Itu bukan urusanku."

Sementara dokter bedah itu memberengut, gelandangan yang kini diberi julukan VantaBlack pergi meninggalkan ruang operasi. Sebuah ruangan yang justru lebih banyak aroma darahnya dibanding aroma pahit obat-obatan. Dia menari-nari kecil di sepanjang jalan koridor seperti habis memenangkan sebuah lotre, tak lupa senandung pelan keluar dari tenggorokannya yang kering.

'Sebentar lagi, aku akan menguasai dunia.'

Kata-kata itu tak henti menggema di dalam kepala, seperti sebuah doa yang dikabulkan, seperti sebuah keajaiban penentang hukum alam. Apa yang kini ia harapkan sejak awal kemunculan benar-benar terjadi.

Di ujung koridor, mata pria ini bertemu dengan sepasang mata lain, mata itu terlihat lebih berumur dibanding dirinya sehingga VantaBlack harus menunduk hormat pada manusia itu, sosok pria bertubuh tambun juga berkepala sedikit membotak di puncak terlihat tersenyum padanya.

"Mendapat buruan yang pantas, hum?" Si pria tambun berkata entah pada siapa, tapi yang jelas kata-kata itu tentu bukan ditujukan pada pria muda di depannya ini.

Maka VantaBlack hanya terdiam sebab merasa tak layak untuk menjawab, ia masih dalam posisi membungkuk dan melipat satu tangan ke belakang, sementara tangan lainnya menyentuh dada. Bukan tanpa alasan dirinya menunjukkan hormat seperti itu, ia sedang menunggu restu sebagai VantaBlack terbaru untuk perusahaan.

"Aku, The Head menjadikanmu sebagai VantaBlack, sebagai kaki kami, sebagai tangan kami, dan sebagai tubuh andalan kami. Mengabdilah karena hanya kami Tuhanmu, patuhlah karena hanya kami aturanmu."

Pucuk kepala VantaBlack diusap lembut oleh pria tambun berpangkat The Head itu, usapan lembut tersebut menjadi tanda bahwa yang tertinggi sudah merestui lahirnya VantaBlack baru.

Di satu sisi Si Gelandangan itu sedikit tersentuh hatinya, entah sudah berapa lama ia tak diakui seperti saat ini, setetes air mata sedikit lolos dari pelupuk mata yang kemudian sedikit menimbulkan rasa perih di daging wajah akibat kulitnya sudah hilang, berganti dengan topeng dengan bentuk ulir dari sidik jari tengahnya.

"Selamat bertugas, VantaBlack. Aku tunggu kau di arena." The Head beranjak dari sana, berjalan lurus ke arah kedatangan VantaBlack.

Kekehan pelan terdengar dari mulut Si Gelandangan, sampai akhirnya kekehan itu berubah menjadi tawa lepas. Bahu Si Gelandangan bergetar akibat dari tawanya yang terlalu besar, karena kini ia bisa menunjukkan kekuasaan tanpa pandang bulu, ia puas dengan menjadi dirinya yang sekarang.

Tapi tentu saja kenangan saat lalu adalah kenangan yang begitu menggembirakan bagi hidup Si Gelandangan setelah beberapa tahun terakhir, apa yang ia lakukan pada VantaBlack sebelum dirinya benar-benar memuaskan hasrat yang terpendam selama bertahun-tahun.

***

"Dan kau pun pasti ingat aku."

Jantung Si Gelandangan sontak langsung berpacu cepat, dadanya naik turun sebab sesak yang seketika menyerang. Dia tak percaya dengan apa yang ia lihat tepat di depan matanya, bukan karena mengerikannya rupa VantaBlack, tapi sebab ia kenal betul manusia itu.

Pria di depan sana adalah pria berkulit hitam yang gemar menyiksa dirinya di dalam mimpi.

"Ya, aku adalah mimpi burukmu." Pria yang sebelumnya bernama VantaBlack kini berjalan mendekati Si Gelandangan tanpa merasa risi oleh wajahnya yang tak tertutupi oleh topeng.

Bau busuk segera mengeruak dari arah kedatangan VantaBlack, sementara wajahnya yang tak memiliki kulit itu akan tampak selalu menyeringai, Si Gelandangan mulai linglung oleh rasa tak percaya dan hentakan ingatan yang datang bertubi-tubi, menghujamnya bagai meteor. Si Gelandangan mencoba bertahan dengan bersandar pada dinding dan menatap kenyataan bersama derai air mata.

"Lucu sekali, setelah kami menghapus ingatanmu, membuangmu. Kau justru kembali kemari." VantaBlack menyentuh dagu Si Gelandangan, mengangkat wajahnya kemudian meludahinya. Baru setelah itu ia tertawa puas akan apa yang baru saja ia temui.

Tapi tidak seperti sebelumnya, kali ini Si Gelandangan justru gemetar ketakutan. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya sekehendak yang ia suruh, seolah segala gravitasi datang dari berbagai sisi dan menyedot dirinya ke dalam lubang hitam.

"Sudah, kau tak perlu bersedih." VantaBlack menepuk pundak pria di depannya, wajahnya yang penuh bercak darah justru berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya yang penuh ketakutan. Trauma yang datang di kehidupan sebelumnya membuatnya tak berkutik, terutama kala sumber rasa takut itu tepat ada di hadapan.

VantaBlack menjauhi Si Gelandangan dan berjalan ke sisi lain ruangan putih, ia berjalan dengan berjingkrak-jingkrak layaknya pemenang undian satu juta dollar.

"Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senang ini, kau tahu?" VantaBlack mulai berceloteh. "Melihatmu di sini saat ini merupakan sebuah permainan lain yang sangat seru."

Tapi tanpa diduga, VantaBlack meraih sebuah gergaji mesin yang tergeletak di pojok ruangan, dengan semangat ia hidupkan mesin alat tersebut dan menatap ke arah Si Gelandangan tanpa menyembunyikan seringai di wajah.

"Kuharap kau akan berlari lagi seperti tikus kecil di lorong itu. Hahahaha!!!"

Tanpa perlu disuruh dua kali Si Gelandangan segera beranjak dan berlari sekencang mungkin menuju jalan masuk ia bersama VantaBlack sebelumnya. Tapi begitu langkah kaki itu sampai ia melihat tiga prajurit abu sedang berjaga dengan shotgun di tangan, segera Si Gelandangan berlari ke lorong lain saat suara gergaji mesin semakin kencang meraung.

"Larilah terus! Sama seperti tiga tahun lalu!!"

Suara VantaBlack sudah seperti suara pemanggil arwah, tawa jahatnya turut menggelegar di dinding-dinding lorong yang bagai sebuah labirin. Ada begitu banyak jalan dan juga kelokan, membuat Si Gelandangan merasa mual karena tak dapat melihat hal lain selain lorong gelap panjang yang bahkan terasa lebih buruk dari pada neraka.

Dia berlari dan bertemu dengan jalan buntu, jalan itu jelas ditutupi oleh berbagai macam kayu yang dipaku. Rasa panik langsung membuat Si Gelandangan menggila, terutama kala suara gergaji mesin terasa semakin dekat dengannya seperti ikut menyedot udara di sekitar, dada Si Gelandangan sesak disertai detak jantung yang tak karuan. Keringat dingin mengucur membasahi setelan tuxedo yang sudah compang-camping di beberapa sisi. Si Gelandangan hanya bisa menghadapi sang kematian dalam pasrah.

"Tak bisa lari lagi ya?" Suara VantaBlack mengiringi suara gergaji mesin bagai simfoni. "Sayang sekali hahaha!"

Dengan sisa akal terakhir, Si Gelandangan menarik sebuah batang kayu di penutup jalan di belakangnya. Ia bersiap kala VantaBlack mulai menerjang dan mengayunkan gergaji mesin seperti orang gila.

Si Gelandangan segera menghindar ke samping dan VantaBlack melesat melewatinya, pisau gergaji menggilas kayu-kayu pembatas jalan dan membuat sebuah lubang besar. Selanjutnya, VantaBlack kembali mengayunkan gergaji mesin ke sisi di mana Si Gelandangan sedang merunduk, di saat yang bersamaan Si Gelandangan menusuk VantaBlack dengan kayu di tangannya, membiarkan paku-paku yang meruncing itu menancap di tubuh VantaBlack.

Tapi hal tersebut bukannya menjadi masalah buat pria berkulit hitam tersebut, ia justru tertawa kencang.

"Bagus! aku benar-benar suka pada kegigihanmu," ucap VantaBlack seraya mematikan mesin gergaji di tangannya. Kemudian ia membuang alat itu dan memiting Si Gelandangan. Ia seret pria itu ke tempat lain, masuk ke sebuah ruangan operasi dan mengikatkan di dipan.

Si Gelandangan tak banyak melawan karena kelelahan, dia sendiri masih merasa trauma tiap kali berdekatan dengan pria berkulit hitam yang justru ikut berbaring di dipan sebelah. Seorang dokter datang dengan jas putih yang penuh darah, bahkan masker medis di wajahnya sudah sangat kotor hingga berganti warna dari hijau ke cokelat.

"Cepat gantikan aku! Aku sudah tak tahan mengemban tugas baru dari The Head." VantaBlack menyuruh dokter seenak hati, sementara itu dokter sendiri mulai memainkan pisau bedah ke wajah Si Gelandangan tanpa merasa perlu melakukan anestesi.

Si Gelandangan tak bisa menahan sakit itu berteriak lantang, tak henti dia coba menghindari pisau bedah dengan memberontak di atas dipan sampai membuat engselnya hampir lepas, tapi dokter justru mengunci kepalanya ke kuncian yang terpasang di situ, membuat Si Gelandangan tak mampu lagi berkutik kala dokter mulai mengambil wajahnya.

Operasi berjalan cepat, wajah Si Gelandangan kini sudah berada di kepala VantaBlack, sementara Si Gelandangan sendiri wajah tak bermukanya hanya ditutupi oleh topeng ulir sidik jari. Lambang khas dari CEO Black Corp. Dokter melepas ikatan pada Si Gelandangan dan membiarkannya melakukan apa yang ia mau.

Sementara VantaBlack masih pulas dalam anestesi, napasnya teratur seolah ia sedang dalam lindungan Tuhan, begitu dokter pergi untuk memberikan alat bedah, Si Gelandangan kembali dengan sebuah tongkat dan menggebuk VantaBlack tanpa ampun, membiarkan tengkoraknya retak juga beberapa tulang patah tanpa bisa ditolong.

"Berhenti, bodoh!!" Dokter yang baru datang langsung menembak Si Gelandangan menggunakan pistol listrik. Segera kemudian ia memanggil prajurit abu untuk menyeret Si Gelandangan keluar dari ruang operasi.

Ya, mengingat bagaimana ia bisa mengakhiri hidup VantaBlack yang merupakan mimpi buruk dalam mimpi adalah sebuah tindakan mulia. Kini ia berdiri di atas podium, menatap angkuh pada para pasukan putih dan abu yang sedang bersujud padanya di bawah sana.

"Akan kubuat dunia yang lebih indah dari hari kemarin!"