webnovel

VII

Si Gelandangan berjalan mendekati meja tempat undangan tadi berada, dia raih undangan vantablack tersebut yang tergeletak di lantai dan melihat jadwal acara pertemuan dari rapat kerja sama yang ditawarkan. Tapi tepat setelah itu undangan tersebut menghancurkan diri di tangan Si Gelandangan dan berubah menjadi abu seutuhnya.

Sesaat pria ini hanya bisa tertegun melihat abu dari undangan dan mengingat tanggal pertemuan, ada satu hal lain yang tak begitu ia pahami yaitu letak dari lokasi pertemuan. Tak disebutkan di mana tempat itu berada, hanya titik koordinat sesuai garis bujur dan garis lintang planet yang tentu saja harus dicari menggunakan satelit.

Matanya melirik ke arah jasad dari Immanuel dan berpikir untuk menggunakan harta benda lelaki itu, dia tentu akan sangat bahagia jika bisa mendadak menjadi orang kaya, tanpa perlu usaha dari bawah. Dia bisa bebas dari hidup menggelandang selama entah berapa tahun itu, sungguh sebuah jalan pintas yang menyenangkan.

Di sisi lain Si Gelandangan mulai memikirkan bagaimana ia memanfaatkan semua fasilitas tanpa membongkar kematian dari empunya harta. Dering telepon yang terus berbunyi di dua gawai sekaligus membuatnya agak frustrasi, ia baru tahu kalau kehidupan menjadi boss tidak selamanya benar menyenangkan.

Si Gelandangan meraih salah satu gawai dan mengangkat telepon tersebut.

"Tuan Immanuel, aku memberitahukan bahwa tugas kami sudah selesai, Rumah Biru sudah diruntuhkan dan penghuninya sudah kami bantai. Bangkai dari kesemuanya kami bakar bersama rumah itu."

Si Gelandangan hanya terdiam dan membiarkan orang di sana berbicara, menjelaskan detail pembunuhan dan jumlah orang yang dibunuh, serta laporan orang yang berhasil kabur dan sedang dalam pengejaran. Si Gelandangan mendengar semua itu dengan tangan terkepal karena bukan hanya orang dewasa yang mereka bunuh, tapi anak-anak bahkan bayi tak luput dari kekejaman tangan kotor mereka, dia melirik kesal ke arah jasad Immanuel dan menyesal membunuhnya sekarang, setelah tahu begini dia akan menyiksanya lebih dulu sampai orang itu mengenal apa yang namanya sakit dan menyesal.

"Kami berharap kau membayar sesuai janjimu, Tuan."

Di sini Si Gelandangan mulai panik, karena nada bicara orang itu adalah nada meminta balasan.

"Tuan?"

Si Gelandangan berdeham. "Baik, akan kukirim sekarang."

"Terima kasih Tuan."

Telepon segera diputus oleh Si Gelandangan, ia berjalan ke tempat jasad Immanuel dan menendang tubuh tak bernyawa dengan keras. Kata-kata umpatan keluar sebagai luapan emosi.

"Percuma kau punya wajah tampan dan harta melimpah!! Kau tak lebih baik dari Lucifer!"

Tapi tentu apa yang ia lakukan tak akan berpengaruh apa-apa pada mayat itu, bahkan bisa jadi Immanuel sedang tertawa melihat tingkah Si Gelandangan yang seperti anak kecil merajuk meminta mainan baru.

Dering telepon di gawai kedua kembali berbunyi setelah lama tak diacuhkan oleh Si Gelandangan, dengan frustrasi ia raih gawai dan mengangkat telepon itu, sama seperti sebelumnya ia membiarkan orang yang menelpon berbicara lebih dulu.

"Immanuel!! Apa kau sudah mendapat undangan?"

'Sial,' Si Gelandangan berdeham dan membalas dengan suara yang dibuat-buat. "Ya, aku baru saja membacanya."

"Bagus, kau mendapat sebuah keberuntungan! Kau harus memenuhi pertemuan itu, kuyakin kau tak akan menyesal."

"Jelaskan."

"Mereka sudah menemukan pulau tambang baru dengan berlian yang berlimpah ruah, pulau itu masih perawan sehingga kau bisa tahu sendiri betapa menguntungkannya menjadi bagian dari Black Corp."

Si Gelandangan agak tertegun memikirkan apa lagi yang mesti ia cari tahu soal undangan tadi.

"Immanuel? Kau masih di sana?"

"Ya ya ya, kau lanjutkan saja penjelasannya."

"Sial, kau sedang apa, sih? Bercinta dengan Rebecca? Atau dengan Marylin?"

"Bisa cepat saja? Aku sedang sibuk menyusun piala-pialaku."

"Hah~ kau selalu saja melakukan hal tidak penting." Penelepon tertawa di ujung sana. "Baiklah, kau pasti tidak akan melewatkan kesempatan emas ini karena ..."

Hening sejenak di situ, Si Gelandangan sampai melihat ke arah layar gawai mengira kalau sambungan telepon itu terputus, tapi ternyata tidak.

"Karena apa?"

"Ayahmu ada di sana, kau bisa membalaskan dendammu kali ini."

Si Gelandangan merasa bingung dengan pernyataan barusan. "Baguslah, aku tak perlu memendam dendamku lama-lama."

"Hei, tumben sekali kau tidak meluap-luap saat membahas ayahmu," penelepon terdengar curiga dari nada suaranya kala bertanya itu. "Kau baik-baik saja?"

"Aku hanya sedang lelah."

"Oh, baiklah. Aku akan kabari lagi setelah mendapat berita lain. Oh ya, kau jangan lupa membayarku!"

"Tentu saja akan kubayar, sialan. Kau tutup saja teleponmu!" Si Gelandangan mulai berimprovisasi untuk menutupi kecurigaan si penelepon.

"Hahaha, iya iya. Kau nikamtilah malam ini."

Telepon diputus oleh Si Gelandangan, ia mulai berpikir soal isi undangan tadi, apa yang ditawarkan oleh seseorang bernama VantaBlack tadi dan langkah untuk memenuhi persetujuan hingga mencapai kesepakatan. Sebenarnya mudah, tapi tentu dia tidak bisa datang karena bukan dialah yang diundang.

'Tapi bagaimana jika undangan itu bisa mengubah hidupku menjadi lebih baik?' Si Gelandangan mulai berpikir, ia duduk sambil memainkan gawai dan memenuhi pembayaran dari dua transaksi yang sempat dijanjikan oleh Immanuel. Banyak dugaan dan impian yang lebih besar, tapi ia tak tahu harus memulainya dari mana.

Pintu kantor diketuk beberapa kali hingga membuat Si Gelandangan terperanjat dari tempat duduknya. Suara wanita memanggil nama Immanuel dengan lembut dan penuh gairah. Entah siapa wanita itu antara Rebecca dan Marylin seperti yang tadi disebut oleh intel Immanuel, tapi Si Gelandangan tak mengharapkan kehadiran dari siapapun.

"Sayang, cepat buka pintunya," suara itu terdengar manja dan penuh desahan. "Ranjang sudah mulai dingin tanpamu."

Tetiba sebuah ide cemerlang menghinggap di benak Si Gelandangan, ia berjalan ke pintu dan memutar kunci lantas membukanya sedikit, tanda kalau ia mempersilakan si wanita untuk masuk tapi tak menunjukkan apa yang ada di dalam sana.

Tanpa perlu disuruh dua kali wanita itu dengan senang hati masuk ke dalam ruang kerja Immanuel, kekasih kedua dari Immanuel itu tentu senang jika 'desakkannya' diterima oleh pria itu. Namun setelah masuk ke ruangan betapa terkejutnya ia melihat tubuh sang kekasih tergeletak di lantai, belum lagi posisi kepalanya yang menghadap ke belakang tampak mengerikan.

"Imm--" Jeritan wanita itu tertahan sebab seseorang membekap mulutnya dari belakang.

"Jangan berisik atau kau akan bernasib sama seperti dia," Si Gelandangan berbisik di telinga wanita itu. "Aku ingin menjadikanmu sebagai kaki tanganku. Maka jangan berani-berani melawanku."

Karena ketakutan si wanita buru-buru mengangguk paham, Si Gelandangan sendiri melepas wanita itu dari dekapan dan berjalan ke arah pintu untuk menguncinya. Suara sesenggukan wanita itu cukup mengganggu Si Gelandangan jika ia tetap berada di dekatnya.

"Siapa namamu?" Tanya Si Gelandangan yang sudah berdiri di depan wanita itu, ia bersedekap dan memperhatikan wanita itu untuk mengenal fisiknya secara keseluruhan.

"A--aku, namaku Marylin," wanita itu menjawab dengan kegugupan besar, ia takut terhadap pria berwujud acak-acakan di depannya itu.

"Bagus, Marylin. Aku ingin kau menarik semua uang di rekening berdebah itu dan berikan semuanya padaku," Si Gelandangan mengeluarkan titah pertama. "Dan aku juga ingin kau ikut bersamaku."

"Kemana?" Marylin tampak khawatir mendengar ajakan yang lebih terdengar seperti sebuah putusan hukuman mati.

"Nanti kau juga akan tahu."

Marylin terdiam memikirkan apakah ini merupakan sebuah keuntungan atau hanya menambahnya ke dalam masalah lain. Setalah ia menggoda Immanuel dan berhasil menduduki kekasih kedua demi harta lelaki itu, begitu melihat kematian Immanuel ia tidak merasa senang, justru takut dan marah yang hanya bisa ia tahan dalam hati. Wanita itu memperhatikan gerak-gerik Si Gelandangan dan memikirkan untuk menyerangnya kemudian melapor polisi.

"Tak perlu berpikir sejauh itu, Marylin." Suara berat Si Gelandangan memecah susunan strategi di kepala Marylin, sampai membuat wanita itu membelalak tak percaya pada Si Gelandangan. "Kau pasti akan terkejut bagaimana aku bisa sampai sini."

Sebab rasa takut Marylin tak membalas perkataan pria itu dan memilih untuk menundukkan kepalanya. Ia remas kuat mantel bulu yang ia kenakan tanpa dalaman, ia mulai memikirkan hal lain untuk membebaskan diri.

"Oh ya. Sebelum kau memakai pakaian pantas dan menarik semua uang dari rekening seperti yang kuperintahkan sebelumnya, aku ingin kau melakukan satu hal lain."

"A--apa itu?"

"Bawakan aku makanan, aku lapar sekali."

Mendengar itu Marylin tersenyum maklum lalu segera beranjak dari tempat, ia biarkan jasad Immanuel dan juga ruang kerja yang sangat tidak karuan, segera ia menyuruh salah seorang penjaga di situ untuk memesan makanan tanpa memikirkan berkhianat pada Si Gelandangan, dia pun menemukan ide brilian yang bisa ia pakai pada pria buluk tersebut.

Marylin segera berganti pakaian dengan baju hangat, tak lupa riasan ringan ia pulihkan setelah sebelumnya ia menangis hingga membuat riasan di wajahnya menjadi kacau, rambut ia tata agar menunjang kecantikan di wajah berbentuk oval tersebut. Baru kemudian ia kembali ke tempat Si Gelandangan berada dan hendak memberikan kesan mempesona.

"Di mana makanannya?" Hal pertama yang ditanya oleh Si Gelandangan adalah makanan, tentu saja hal itu membuat Marylin kesal.

"Sedang dipesan," Marylin menjawab dengan sedikit ketus. Ia dapati Si Gelandangan yang sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah, setelan hangat kesukaan Immanuel tampak sesuai di tubuh pria itu. "Omong-omong, siapa namamu?"

Si Gelandangan melirik sekilas sebelum matanya kembali menatap layar monitor di meja kerja Immanuel. "Jangankan kau, aku sendiri pun tak tahu siapa aku."

"Jangan bercanda."

"Apa aku terlihat seperti sedang melucu bagimu?"

Keheningan mengambil alih perdebatan mereka sesaat, Marylin membuang muka saat mata tajam Si Gelandangan menusuk pandangnya.

Si Gelandangan kembali membaca berkas-berkas bisnis di monitor komputer kerja Immanuel dan membiarkan Marylin berkelakar dengan pikirannya sendiri, ia tidak begitu tertarik dengan wanita penggila harta sampai rela menjual diri, jadi dia tak acuhkan Marylin yang tampak cantik dalam pakaian hangat serba merah muda tersebut.

"Kau sedang apa?" Marylin mulai mendekati Si Gelandangan yang tidak memedulikannya.

"Aku sedang mengambil alih kekuasaan si brengsek itu."