webnovel

VI

"Undangan? Cepat sekali kerja orang itu."

Immanuel meraih lipatan kertas berwarna vantablack tersebut, ia dapati sebuah lingkaran dengan ulir sidik jari di sana. Dengan yakin ia tempelkan sidik ibu jarinya dan seketika sebuah sengatan terasa kuat hingga membuatnya spontan menarik kembali jarinya. Sebuah luka terbuka nampak jelas dengan daging serta darah yang sesama merah kulit sidik jarinya lepas dari sana.

Perlahan cahaya berwarna merah tampak mengulir pada permukaan itu sesuai ulir sidik jari Immanuel, kemudian lipatan dari kertas terbuka dan menampakkan hologram sebuah wajah yang tertutup topeng, warna hitam dan merah saling beradu pada topeng yang juga berbentuk seperti sidik jari. hanya ada dua lubang di situ yang berada tepat di area mata.

Si Gelandangan yang berada tak jauh dari meja menatap undangan di tangan Immanuel dengan takjub, belum pernah ia menemukan sebuah teknologi semacam itu di tahun 2025 ini, lalu bagaimana undangan itu bisa? Apa pengirim adalah manusia yang datang dari masa depan?

"Selamat siang, Tuan Immanuel O'Leary. Saya VantaBlack selaku CEO dari Black Corp. hendak menawarkan sebuah perjanjian kerja sama. Jika Anda berkenan biar saya jelaskan isi kerja sama yang ditawarkan oleh kami.

Kami sebagai sebuah perusahaan yang bergerak dalam penyaluran tenaga kerja dan juga bidang promosi hendak menyampaikan ketertarikan kami terhadap perusahaan Anda. Kami pun menawarkan sebuah kerja sama, yaitu di bagian transportasi pengantaran tiap tenaga kerja yang bernaung di bawah perusahaan Anda, serta mempromosikan pekerja tersebut ke tempat yang tepat sehingga dapat menghasilkan lebih banyak keuntungan bagi Anda.

Anda pun dapat menjamin keamanan dari segala hal meski dalam ruang lingkup ilegal sekalipun. Seperti pengiriman budak kerja, wanita tuna susila, juga organ tubuh yang sering Anda tawarkan di dunia gelap."

Sampai situ Immanuel tampak tegang, keringat dingin mengucur lancar dari kening. Dia seperti seorang maling yang baru saja ketahuan mencuri di sebuah supermarket. Tubuhnya gemetar meski hanya sedikit, tapi di mata Si Gelandangan itu terlihat jelas kalau ia merasa takut ketahuan akan apa yang selama ini ia sembunyikan.

Si Gelandangan sedikit mengubah posisinya tapi ternyata hal itu justru membuatnya ketahuan juga, sebab tanpa sengaja sikunya menyenggol sebuah pajangan di dekat tempatnya bersembunyi. Seketika suara nyaring dari benda yang jatuh dan pecah memenuhi udara mencekam yang dirasakan oleh Immanuel.

Keheningan di beberapa detik itu terasa begitu menggantung bagi Si Gelandangan, Immanuel menatap tajam sosoknya yang sudah sempat babak belur di hadapan orang-orang. Tanpa aba-aba Immanuel bangkit dan hendak berlari meminta penjaga di luar untuk meringkus Si Gelandangan sebelum mulutnya terbungkam akibat hantaman sebuah vas lain yang mengenai tengkuknya.

Immanuel oleng akibat serangan Si Gelandangan yang tepat sasaran. Si Gelandangan sendiri berjalan cepat ke pintu kemudian menguncinya.

Suara ajakan VantaBlack masih terdengar dari undangan yang sudah tergeletak entah di mana, Immanuel menahan tubuhnya dengan merapat ke dinding, meski merasa pusing matanya tetap setia menusuk Si Gelandangan dengan tatapan tajam.

"Sialan kau ..." Immanuel berkata dengan parau, "bagaimana kau bisa berada di sini?"

"Kurasa kau tak perlu tahu juga," Si Gelandangan membalas sekenanya, "jadi ini kerjaanmu ya."

"Bukan urusanmu juga."

"Ho, jadi setelah kau menghajarku dan juga gadis itu. Kini kau bisa berkata bukan urusanku?"

"Mau apa kau?"

Si Gelandangan tak segera membalas, tangannya sibuk mengacak isi lemari penghargaan Immanuel, ia keluarkan semua piala-piala penuh kebohongan itu dari dalam lemari setelah melihat bahannya sesaat.

Sebuah piala yang terbuat dari kaca, tanda penghargaan Immanuel sebagai pengusaha muda tersukses menarik perhatian Si Gelandangan, posisinya yang berada cukup dalam di lemari itu membuat pria ini kesulitan menggapai piala tersebut. Piala-piala lain ia lemparkan ke sembarang arah tanpa peduli kalau itu adalah barang berharga.

"Brengsek, berhenti mengacak-acak barangku!" Immanuel maju menerjang Si Gelandangan dengan segala tenaga yang sempat hilang. Ia maju seperti seekor banteng marah dan menubruk tubuh Si Gelandangan yang sepantaran dengannya.

Tubuh Si Gelandangan menjadi sasaran empuk dan jatuh bersama Immanuel, lelaki berwajah tampan itu kembali menjadi iblis kala mendaratkan hantaman tinju ke wajah Si Gelandangan yang ia apit di bawah kakinya.

Dengan usaha keras Si Gelandangan menahan serangan bertubi itu kedua tangannya. Hal itu tentu menambah rasa kesal Immanuel hingga pria itu menambah tenaga dalam setiap serangannya.

"Cukup!" Si Gelandangan memutar tubuhnya hingga Immanuel terjatuh ke bawah, kali ini Si Gelandangan yang menduduki tubuh lelaki itu dan memberi tinju tak kalah keras dari yang ia terima.

Immanuel coba bertahan dengan mencekik Si Gelandangan, tapi tentu saja hal itu mudah lawannya tepis, bahkan dengan tega Si Gelandangan mematahkan tulang di tiap jari pria tampan itu dengan satu gerakan saja.

"Kurang ajar!!" Immanuel berteriak kencang, kata umpatan tak lupa menyertai segala rasa sakit di kata-kata selanjutnya, ia mulai memberontak dan berhasil lepas sebab cengkeraman Si Gelandangan yang sedikit lebih lemah.

Si Gelandangan terlontar ke samping, di waktu yang bersamaan Immanuel bangkit dan kembali berlari ke arah pintu dan berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan kepada siapapun di luar ruang kerjanya.

"Berisik!!" Si Gelandangan melempar salah satu piala yang berserakan tapi kali ini meleset, Immanuel menghindar dengan mudah dan kini mulai menggedor pintu sangat keras seperti seseorang yang sedang dihantui sosok seram.

Kali ini Si Gelandangan menyerbu Immanuel dan memberikan tendangan dari samping. Tubuh Immanuel terempas dari pintu dan menubruk lemari pajangan lain, ia sempat tak mampu bangkit karena jari tangannya yang patah membuatnya sulit membangunkan tubuh.

Tak ada main-main lagi, Si Gelandangan meraih piala apa saja yang ia temukan secara sekilas lalu melemparnya ke kepala Immanuel, ia lakukan itu dengan piala-piala lain yang berserak seperti sedang mendera sepasang pezina dengan batu. Lantaran kesal pula ia begitu bernapsu membunuh Immanuel tanpa peduli dengan kepolisian, dia sudah muak menjadi bahan olokan manusia di sekitarnya.

Immanuel masih berusaha bertahan, sesekali ia lempar balik menggunakan satu tangannya yang masih sehat piala yang tak mengenai kepalanya. Ia bangkit dan maju dengan memberikan tendangan lurus, duel lu tak terelakkan sehingga Si Gelandangan juga memberikan serangan menggunakan tangan kosong.

"Jika kau ingin uang, aku bisa memberikan banyak padamu!" Teriak Immanuel berusaha bernegosiasi. "Kau bisa mengambil semua uang tunai yang ada di brangkasku."

"Aku tidak ingin uangmu. Aku kesal pada sikap aroganmu."

"Kalau begitu kau pergi saja keluar negeri!"

"Aku lebih tertarik membunuhmu, itu bisa membuatku lebih tenang menjalani hidup."

Immanuel memberikan tendangan berputar dan Si Gelandangan beringsut kebelakang demi menghindari serangan tersebut, dia sendiri memilih bertahan sebab rasa sakit dari luka-luka yang ia alami sebelumnya membuatnya sulit bergerak.

"Sebaiknya kau yang mati." Immanuel melompat tinggi dengan memberikan sebuah tendangan lagi.

Si Gelandangan menghindar kesamping dan langsung memberikan serangan berupa tinjuan ke wajah Immanuel hingga membuat lelaki itu limbung. Si Gelandangan mengunci pergerakan Immanuel dengan mencekiknya dari belakang, membuat lelaki itu kehabisan napas dan meronta semakin kuat.

Dalam satu gerakan Si Gelandangan memutar kepala Immanuel hingga membuat tulang lehernya patah, suara derakkannya cukup nyaring hingga setelah tubuh itu tak bernyawa, keheningan mutlak yang mengisi ruangan itu.

Si Gelandangan melepas Immanuel dari kunciannya tanpa merasa bersalah, ia yang sepertinya memiliki sifat Urbach Wiethe kini hanya menatap datar korban ketiganya hari ini.