"Aku butuh kamu!"
Wat diam, mengerutkan dahinya.
"Yang aku butuhkan kamu … kamu suamiku dan papa si kembar … lantas aku harus bagaimana jika disini tanpa kamu?!"
"Lin … kamu kan sudah—"
"Sudahlah!" gertak Lin, membungkam mulut Wat untuk melanjutkan perkataannya. "Pergi saja … aku tidak apa-apa."
***
Sreeek!
Lin menghalau sinar yang membuatnya silau dengan telapak tangannya. Matanya menyipit, melihat samar, kalau suaminya ada di dalam kamar twins. Lin terkejut, ia segera beranjak dari tidurnya, membesarkan matanya, melihat apa yang ada di hadapannya, memastikan kalau itu adalah Wat, yang pagi-pagi sudah berada di kamar anak-anaknya.
"W—wat? K—kamu, sedang apa?" tanya Lin, heran.
"Merapikan pakaian twins. Kamu istirahat saja, biar aku yang mengemas," jawab Wat, tanpa menoleh pada sang istri, sedang fokus mengeluarkan pakaian anak-anaknya dari lemari.
"Un—untuk apa?!" tanya Lin kini beranjak, menghampiri Wat.
Wat berhenti. Ia menghela napasnya kemudian menoleh pada Lin.
"Pergilah bersamaku. Aku tidak tenang meninggalkanmu sendirian bersama anak-anak. Kita pulang sama-sama, ya …."
Raut Lin mendadak sumringah, ia mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap apa yang baru saja ia dengar, bukanlah sekedar mimpi.
Tangan Wat menyentuh pipi Lin.
"Tidak perlu tercengang seperti itu. Ini memang benar adanya, bukan sekedar mimpi, Lin," ujar Wat tersenyum.
"Kamu benar-benar ingin mengajakku dan juga twins pulang bersamamu?" tanya Lin lagi, memastikannya.
"Huft … iya, Lin … apa kurang jelas, yang aku ucapkan tadi?"
"Oh, t—tidak. Sudah cukup jelas. T—terima kasih, Wat …."
Wat tersenyum, mengusap kepala Lin pelan.
"Sama-sama, Lin."
***
Wat selesai mengaduk secangkir chamomile tea. Ia tersenyum dan menganggukkan kepala. Pandangannya tertuju pada pintu kamarnya yang terbuka. Ia tersenyum kembali dan kemudian membawa cangkir teh itu ke kamarnya.
"Lin … biar aku bantu, ya.?"
Lin menoleh pada Wat, yang datang menghampirinya.
"Nih, minum dulu, gantian sama aku berkemasnya," ujar Wat memberikan secangkir chamomile tea yang dibuatnya itu, ternyata bukan untuknya, tetapi untuk Lin.
"Terima kasih, Wat. Untuk kamu, mana?"
Lin menerima secangkir chamomile tea, dari tangan Wat.
"Untuk kamu saja. Kamu kan sedang sakit, tapi masih harus membantuku berkemas. Sudah, gantian berkemasnya."
Wat mengusap pelan kepala Lin, memberikan senyumnya pada Lin.
***
"Nas … hey, Nas …."
Wat bingung, anaknya sejak tadi menangis tanpa henti. Lin meninggalkan anak-anaknya kepada Wat, karena ia harus pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan dapur, berupa bahan masakan untuk makan malam dan juga selama dua hari kedepan, hingga mereka akhirnya kembali ke negara asalnya, meninggalkan New York.
"Duh �� kenapa ya, dari tadi kok nangis terus?" tanya Wat, bingung, menggerutu sendiri karena ia tidak paham tentang mengurus anak, apalagi Pin dan Nas masih bayi.
Wat mengangkat tubuh anaknya dan melihat popok yang dipakai oleh Nas.
Aroma tidak sedap tercium begitu menusuk hidung.
"Nas … kamu pup ya?" tanya Wat, kembali membaringkan Nas di atas tempat tidurnya.
Wat beranjak mengambil perlengkapan anaknya dan juga kapas dengan baskom berisi air hangat.
"Kalau masih bayi, membersihkannya seperti ini, bukan?" gumam Wat bertanya pada dirinya sendiri.
Ia menarik napas panjang dan mulai membersihkan Nas yang sudah selesai pup.
Ia melakukannya masih kaku, namun rautnya terlihat sama sekali tidak terpaksa. Ia bahkan tertawa, menggoda anaknya yang sudah tidak nangis lagi.
"Kamu … sudah papa bersihkan, langsung ketawa. Dari tadi nangis saja, huh!" gerutu Wat kemudian memberi kecupan di pipi kanan Nas. "Papa rapikan ini dulu, ya. Nas main sama Pin sebentar."
Wat berlalu dari kamar si kembar untuk merapikan kembali perlengkapan milik anaknya.
***
"Wat?" panggil Lin, ketika baru sampai rumah.
Lin menuju ke dapur, untuk pertama kali saat memasuki rumah. Karena ia harus menyimpan belanjaannya lebih dulu. Kemudian ia mencuci tangannya di wastafel dan kembali melangkahkan kakinya untuk mencari Wat, yang tidak terlihat dan juga tidak menyahut saat ia tiba di rumah.
Kaki Lin berhenti di depan kamarnya. Ia membuka pintu dan melihat tidak ada siapapun di sana. Kemudian ia bergeser ke kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya bersama Wat. Lin membuka pintunya perlahan dan ia melihat Wat sedang tidur, bersama dengan anak-anaknya.
Lin tersenyum, ia mengambil ponsel dari dalam tasnya, mengabadikan momen tersebut untuk koleksi pribadinya.
'Terima kasih Wat, sudah menjadi papa yang baik untuk baby Pin dan baby Nas. Meski sampai sekarang, kamu masih bersikap dingin padaku … tapi setidaknya kamu sangat sayang dan peduli pada twins,' batin Lin terharu.
Lin kembali keluar dari kamar anak-anaknya dan menutup pintunya dengan pelan. Ia melangkah menuju ke ruang tamu dan duduk di sofa. Melihat ulang beberapa foto yang berhasil ia abadikan, tadi. Lin tersenyum, menzoom bagian Wat yang tertidur dengan pulas.
'Entah mengapa, aku masih saja mencintaimu, Wat … tetaplah menjadi papa terbaik untuk Pin dan Nas,' batinnya kagum dengan suaminya yang bukan hanya tampan, tetapi pribadinya juga baik.
Cklek
Terdengar pintu kamar dibuka, itu adalah Wat yang baru saja keluar dari kamar si kembar.
"Loh, Lin … kamu sudah pulang?" tanya Wat sembari mengusap matanya yang terlihat masih mengantuk.
Lin yang sudah menoleh lebih dulu, melontarkan senyuman kepada sang suami.
"Iya … beberapa menit yang lalu. Terima kasih ya, Wat … sudah menjaga anak-anak," jawab Lin, kemudian beranjak menghampiri sang suami.
"Oh … aku kan papanya, Lin. Hmmm, jadi belanja apa saja?"
"Itu, ada di kulkas. Malam ini kamu mau makan apa? Biar aku masak nih, sekarang."
"Hmm … aku lihat dulu ya, bahan masakan apa saja yang kamu beli," ujar Wat kemudian melangkah menuju ke dapur dan membuka pintu kulkas, melihat isinya.
Lin melangkah menghampiri Wat yang sedang jongkok memilih sayuran yang ingin ia minta masak kepada istrinya.
"Lin …," panggilnya dengan melambaikan tangan, tanpa menoleh.
"Iya … ada apa?" tanya Lin yang sudah menghampirinya.
"Masak ini dong," pintanya menunjukkan kornet kaleng dan juga brokoli.
Lin menerima bahan masakan itu, lalu diam seolah sedang berpikir.
Wat berdiri dan menutup pintu kulkas, lalu ia menghadap pada Lin.
"Ada ide?" tanya Wat menatap Lin.
Tatapan Wat membuat Lin terdiam. Bola mata cokelat nan bening itu, membuat jatungnya seolah berhenti seketika.
"Lin?" panggil Wat, membuat Lin tersentak.
"Oh ... eu … i—iya … a—aku, belum terpikirkan mau masak apa, Wat," jawab Lin, memalingkan pandangannya, gugup.
Wat tersenyum, kemudian terkekeh dengan menggelengkan kepala, memalingkan pandangannya. Sepertinya ia paham kalau sang istri grogi berada di dekatnya.
"Kita masak bersama, bagaimana?"