Tentang sebuah kisah yang tidak diharapkan untuk berakhir. Wanita bernama lengkap Jessica Stefany Auryn itu mendadak menghentikan ketika tangannya saat ia teringat bagaimana harus membuat akhir dari cerita yang ia tulis.
"Apa aku harus membuatmu meninggal juga dalam cerita ini? Atau ku biarkan ini menggantung begitu saja karena aku sendiri tidak yakin kau telah tiada."
Jessica menutup laptopnya lalu membuka laci. Mengambil sebuah buku harian yang tertinggal oleh pemiliknya. Jessica kembali membuka tiap lembar buku harian itu, senyum di bibir terukir begitu tipis. Ia mencoba menahan tangisnya saat membaca lembar terakhir buku itu.
"Dibalik sikapmu yang dingin dan kadang nyebelin ... aku masih nggak nyangka ternyata kamu semanis ini, Ju."
Jess ...
Ku harap, suatu saat buku ini bisa kamu baca dan saat itu aku harap aku masih yang terindah untukmu.
Biar aku ceritakan bagaimana awal mulanya!
Kamu ingat, bagaimana kamu mengajakku berbincang untuk pertama kalinya?
Saat itu, aku tak henti mengucap syukur dan berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikan aku kesempatan untuk berbincang dengan karyanya yang indah.
Entah kenapa ketemu kamu lagi, rasanya senang banget. Kaya doa-doa dan harapanku selama ini terkabul, iya Jess... Aku memang sudah pernah melihat kamu sebelumnya tapi sikapku saat itu dingin dan datar, aku akui itu!
Jadi mungkin kamu tidak mengingatnya!
Rasa kagumku padamu sudah lama ... tapi, aku terlalu takut untuk menyimpan rasa pada seorang gadis yang seperti bintang, dikagumi oleh banyak orang.
Kamu tahu Jess, aku senang sekali saat kamu menerima aku sebagai kekasihmu. Awalnya aku sudah mempersiapkan diri untuk ditolak karena kamu yang pertama membuatku merasakan getaran itu, tapi kamu juga yang berhasil membuat ketakutanku sirnah.
Aku mencintaimu, Jess... Selamanya, ingat itu!"
Tertanda, Justin.
Jessica mengusap air mata di pipinya. Ia menganggukkan kepalanya, kata-kata itu seakan-akan diucapkan langsung oleh Justin saat ini.
"Dasar Justin, sudah tahu aku sering memberikan perhatian padanya masa nggak peka kalo aku suka sama dia," ujar Jessica dengan suara serak dan senyum tipis yang nampak bersamaan tangisnya yang belum usai.
Jessica kembali membuka halaman selanjutnya, di sana ia melihat selipan foto dirinya. Ia kembali tersenyum. "Paparazi kesayangan aku," ucap Jessica melihat dirinya yang difoto oleh Justin saat sedang bermain volly.
'Foto ini, pertama kali kita bertemu! Rasa kagumku semakin hari semakin menjadi-jadi padamu, kamu periang, perhatian, dewasa, jahil juga, kamu bisa membuat semua orang di sekitarnya tertawa bahagia. Semua yang ada di dalam dirimu membuatku semakin kagum, berbanding denganmu. Mungkin kamu berpikir aku adalah laki-laki yang menyebalkan karena terlalu dingin, cuek dan acuh dengan sekitar. Tapi kamu tahu itu jugalah yang membuatku ragu untuk mendekatimu sampai akhir kamu yang memulai duluan, mungkin kamu gemas, iya kan? Terima kasih, Jess... Saat aku butuh ruang, kamu selalu memberikannya dan kamu juga hadir di dalamnya. Ketika aku sedih kamu selalu bisa menenangkan dan mendengarkan semua ceritaku. Kadang aku bingung kenapa kamu mau dengan cowok yang nggak ada selera humornya ini tapi aku yakin, kamu nggak akan salah milih aku! Aku janji akan selalu ada untuk kamu!'
Jessica menarik nafas dalam-dalam, ia tidak ingin lagi mengeluarkan air mata. Ia sudah terlalu lelah untuk itu.
"Aku pernah berharap kalau suatu saat kamu muncul lagi dan mengatakan kalau kamu sebenarnya selamat! Tapi apakah Tuhan menjawab ku dengan cara yang berbeda, Ju?" gumam Jessica teringat pada sosok Juan.
Tling!
Jessica menoleh pada ponselnya yang berdering. Ia tahu siapa yang mengirimkan pesan padanya dari nada dering yang muncul, karena di ponselnya setiap orang yang sering berkomunikasi dengannya memiliki deringnya sendiri.
Jessica meraih ponselnya, ia membaca pesan Kevin dari layar notifikasi bar yang muncul.
KEVIN :
'Nona Jess, kamu di mana? Michele meminta kita untuk bertemu di cafe Starlight!'
Jemari Jessica dengan lincah membalas pesan Kevin.
'Oke, ketemu di sana. Gue siap-siap sebentar!' Send.
Setelah memastikan pesannya terkirim, Jessica meletakkan kembali ponselnya. Ia menghela nafas, menutup buku harian Justin lalu kembali memasukkan ke dalam laci. Saat laci terbuka lebar, Jessica melihat flashdisk yang tadi ia maksud saat di makam Justin.
Jessica mengambil flashdisk itu lalu memperhatikannya dengan seksama. "Ju, kamu nggak niat ngasih aku petunjuk kode sandinya, kah? Lewat mimpi gitu, kek! Masa selamanya aku nggak bisa buka flashdisk ini,?" ujar Jessica protes entah pada siapa.
Setelah itu, Jessica kembali memasukkan flashdisk ke dalam laci. Ia menutup laci itu lalu pergi dari ruang kerjanya. Jessica kembali ke kamar, mengganti pakaian dengan pakaian pergi.
Tling!
Jessica meraih ponselnya lalu membaca pesan dari Kevin.
KEVIN :
'Aku juga ingin mengatakan sesuatu, Nona Jess. Cepatlah datang, kami menunggumu!'
"Memangnya apa yang ini laki-laki cupu ini katakan, kenapa memburu-buru aku seperti ini," gerundel Jessica bertanya-tanya.
"Dimana lagi ku letakkan kunci mobil ini?" gerutu Jessica mondar-mandir mencari keberadaan kunci mobil BMWnya.
Kaki Jessica melangkah mengitari setiap sudut kamarnya, mencari keberadaan kunci mobilnya. Tak lama, Jessica menemukan kunci mobilnya di bawah tasnya yang ia letakkan di nakas.
Setelah itu, Jessica segera beranjak dari kamarnya. Ia menuju besemen, masuk ke dalam mobilnya yang berwarna putih lalu melajukan mobil kesayangan itu menuju ke cafe Starlight.
Perjalanan Jessica saat itu cukup sejuk, suasana sehabis hujan selalu berhasil membuat syahdunya hari yang semakin gelap menjadi semakin lengkap.
***
Di sisi lain, Michele ditemani Kevin. Michele sudah menghentikan tangisnya tapi ia jadi tidak bisa berhenti mengunyah. Raut wajah yang timbul pun semakin lucu, ingin rasanya Kevin tertawa melihat pundak Michele yang sesekali naik turun karena efek sesegukannya tadi. Tapi, Kevin tidak tega melihat wanita yang nampak lesu itu.
"Vin, kamu udah ngehubungin Jess belum?" tanya Michele setelah mengunyah makanannya.
Kevin mengangguk. "Udah, mungkin dia masih di jalan," jawab Kevin santai sambil meletakkan ponselnya di meja. "Kamu siap-siap aja dulu, pasti kakak ipar bakalan ceramahin kamu habis-habisan."
"Ih, Kevinnnn ... Aku tuh lagi sedih, kenapa sih kamu selalu aja? Bisa nggak sih, baik dikit ke aku?"
Kevin mengerutkan keningnya. "Aku kurang baik apa sama kamu, kamu suruh datang dadakan gini ... aku datang? Terus?"
"Au ah! Kamu mah jahat sama aku."
Kevin menghela nafas berat, ia menyeruput minumannya. Lalu tak lama berselang, Jessica muncul dari balik pintu. Dibalut pakaian casual, aura Jessica terlihat lebih menawan. Cantik dan berkelas, pantas saja Justin begitu mencintainya.
"Kakak ipar ...."
Kevin menyerukan nama Jessica setelah melihat wanita cantik itu celingak-celinguk mencari keberadaan mereka. Kevin mengangkat tangannya agar Jessica bisa melihat dirinya dan Michele.
***
Bersambung ...