Ceklek!
Jessica membuka daun pintu unitnya. Ia masuk dan langsung ke kamar mandi. Cukup lama Jessica menatap dirinya di pantulan cermin. Ia tidak bisa tersenyum melihat dirinya sendiri.
"Bagaimana aku bisa menerima kenyataan kalau kamu sudah tidak ada, Ju? Saat di sini muncul laki-laki yang sangat mirip denganmu? Dan entah kenapa aku yakin Juan adalah kamu, Ju?"
Jessica memejamkan matanya sesaat, setelah itu ia menghela nafas panjang. Ia memutuskan mencuci mukanya terlebih dahulu sebelum mandi. Lalu setelah selesai, ia langsung berdiri di bawah shower, membiarkan tubuh basah oleh air begitu saja.
***
Juan berada di ruangan rahasianya, ia melakukan meeting secara online. Sudah hampir satu jam Juan meeting untuk projek film dari naskah milik Jessica. Tapi karena fokusnya sedang pada sang pemilik naskah, Juan memutuskan out dari meeting.
'Gantikan aku, bilang aku tiba-tiba tidak enak badan.' Send.
Juan mengirimkan pesan pada sekertaris pribadinya di kantor. Setelah itu ia mengirimkan pesan pada Kevin.
'Vin, atur jadwal agar aku bisa kembali dekat dengan Jessica. Aku ingin ada di dekat Jessica dan itu akan mempermudah aku untuk menemukan flashdisk itu. Jadi segera aturkan bagaimana caranya aku bisa punya alasan untuk itu.' Send.
Setelah mengirimkan pesan itu, Juan beranjak dari kursi. Ia pindah ke ranjangnya yang empuk dan tidak lupa, ranjang itu adalah pilihan Jessica. Bahkan tidak hanya ranjang, semua perabotan rumah ini, Jessicalah yang memilih.
Juan coba memejamkan matanya, ia harus bisa fokus dan rileks. Tapi, bunyi notifikasi pesan masuk membuat matanya kembali terang. Juan langsung membuka ponselnya, membaca pesan balasan dari Kevin.
'Aku akan atur pertemuan kalian dua hari lagi.'
Juan tersenyum tipis lalu meletakkan ponselnya di atas meja tanpa membalas lagi. Matanya kembali terpejam, mengingat masa-masa indahnya bersama Jessica dulu.
Dalam ingatannya, begitu jelas senyum dan tangis Jessica. Senyum gadis itu adalah candu baginya. Tapi, tangisan Jessica adalah hal yang paling ia hindari.
Flashback On.
Hujan rintik-rintik menemani sepasang sejoli yang sedang duduk di balkon sebuah rumah. Senyum di bibir kedua orang itu tidak pudar sejak mereka bertemu beberapa jam yang lalu.
Terlihat, Jessica sangat bahagia setelah laki-laki yang ia jadikan crush selama ini ternyata menyimpan perasaan yang sama bahkan lebih dulu menyukainya. Jessica memeluk Justin erat, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Justin.
"Ju, aku nggak nyangka ternyata kamu duluan suka aku. Aku pikir aku yang duluan tergila-gila sama kamu sejak pertama aku lihat kamu main basket di sekolah."
Jessica mengangkat kepalanya, ia menatap wajah Justin dari bawah. Jessica bisa melihat dengan jelas ekspresi Justin saat ia mengatakan hal itu. Tersenyum! Senyum yang membuatnya jatuh terlalu dalam pada pesona Justin.
"Aku lebih nggak nyangka ternyata Mama kita itu sahabat dekat."
Dalam pelukan Justin, Jessica mengangguk. Ia pun sama dengan Justin, tidak menyangka kalau orang tua mereka bersahabat. Jika ia tahu lebih awal, sudah jelas ia akan memaksa ibunya tercinta untuk mendekatkan dirinya pada Justin.
"Kamu tahu, Jes. Aku pikir kamu suka sama anak jurusan teknik itu."
Jessica terkekeh sambil menggeleng. "Enggak, dia hanya alasan agar aku bisa terus berada di sekitarmu saat itu...," papar Jessica dalam pelukan Justin.
"Makasih ya, Jes. Aku janji aku akan selalu ada untuk kamu."
Senyum di bibir Jessica semakin mengembang saat mendengar kata-kata Justin. Ia pun mengharapkan hal yang sama, ia berharap Justin akan selalu bersamanya.
Flashback End.
"Maaf Jess, aku belum bisa menepati janjiku padamu untuk selalu ada untuk kamu," sesal Juan.
Juan meraih bingkai foto di atas mejanya. Ia mengusap bingkai foto itu, senyum di bibirnya mengukir melihat foto Jessica yang tertawa bahagia sambil memeluknya. Ingin rasanya mengulang waktu agar ia bisa merasakan hangatnya dekapan Jessica yang selalu berhasil membuatnya.
"Dan nampaknya, aku tidak bisa menepati janjiku karena aku tidak mungkin membahayakanmu seperti saat itu lagi... Tapi, aku akan berusaha selalu menjagamu dari jauh, Ca!"
***
Di sisi lain, Jessica telah selesai dengan ritual malamnya. Ia harus kembali pada dirinya si penulis, dan di sinilah ia berada. Di ruangan bernuansa biru muda dengan aksen serba modern, Jessica duduk dengan laptop terbuka di depannya.
Jessica kembali menulis, ia memasukkan semua cerita hari ini ke dalam naskahnya sebagai perasaan dari tokoh utama dalam ceritanya.
'Sebenarnya ini salahku yang terlalu keras kepala kemarin,' ketik Jessica dalam naskahnya.
Ia memulai memainkan jarinya, menari-nari di atas keyboard dengan kata-kata itu sebagai pembuka. Di temani hujan yang turun, Jessica hanyut dalam tulisannya. Ia bahkan sampai meneteskan air mata karena terlalu larut dalam tulisannya sendiri.
"Langit, bisakah kau turunkan hujan tanpa kenangan?" ucap Jessica mengusap pipinya, ia menghela nafas lalu berhenti sejenak.
"Michele katanya pergi sama pacarnya, kok belum balik-balik juga ya?" gumam Jessica bertanya-tanya. Ia pikir tadi Michele akan kembali lebih dulu dari dirinya tapi ternyata dirinya berakhir sendiri di apartemen ini.
**
Sementara Jessica menulis, di sisi lain Michele sedang dalam pertengkaran dengan kekasihnya.
"Selama ini, sejatinya aku menggenggam tangan yang tak pernah ingin membawaku ke arah yang lebih serius. Rumahmu, tak pernah berniat untuk kau jadikan tempatku pulang...," ungkap Michele pada laki-laki di depannya. "Kamu, orang yang paling aku percayai telah membuatku kembali meragu! Kau mengembalikan aku pada masa lalu untuk kedua kalinya. Dikecewakan karena terlalu percaya."
Laki-laki di depan Michele hanya terdiam. Dia adalah kekasih Michele sejak setahun yang lalu. Lelaki yang Michele harapan bisa menjadi masa depannya, ternyata membuatnya kembali kehilangan kepercayaan.
"Semakin ku tanya mau kamu bawa kemana hubungan ini, tapi jawaban yang kamu berikan semakin membuatku sadar kalau aku tidak pernah benar-benar kamu inginkan!"
"Bukan gitu, Chel! Aku ... Aku hanya nggak bisa menolak permintaan orang tuaku."
"Cukup! Tapi, tanpa kamu sadari!! Jawabanmu itu mematahkan semua harapan yang aku bangun begitu indah sejak awal. Aku mengenalmu lama, Ko! Aku rasa, aku memang masih tanda tanya untukmu. Iya kan?" papar Michele dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Bukan, Chel!"
Michele menggeleng, ia tak lagi bisa percaya dengan apa yang ucapkan oleh lelaki yang masih berstatus kekasihnya itu.
"Aku mundur, Ko! Lebih baik kita jalani semuanya masing-masing saja. Daripada bersama dan saling menyakiti," kata Michele sembari bangkit dari duduk dan hendak pergi dari taman di mana mereka bertemu untuk terakhir kalinya.
"Nggak Chel! Kamu harus dengar dulu semua penjelasannya... Aku nggak mau kita pisah, Chel" ujar Riko yang menahan lengan Michele sambil menarik wanita itu ke dalam pelukannya.
Michele menggeleng tegas, ia melepaskan pelukan Riko lalu mengusap air matanya kasar.
"Tidak ada lagi yang perlu dipertahankan!" kata Michele lalu melangkah pergi.
***
Bersambung ...