"I--ibu?"
Tidak menjawab, Venia justru melayangkan tamparan keras pada sang putri. Alea tertoleh, memegangi pipinya yang mungkin sudah memerah.
"Kamu membuat saya malu! Kenapa kamu di sini? Dan apa ini," Venia mengangkat tali tanktop hitam Alea. "saya tidak pernah mengajarkanmu untuk berpakaian minim seperti ini! Tadi kenapa kamu sampai minum sebanyak itu? Apa kau mau mabuk dan digerayangi oleh banyak laki-laki yang ada di sana?!"
Alea mengenakan kembali Cardigan miliknya. Ia mendongak, menatap Sang Ibu dengan mata berkaca-kaca dan memerah. "Aku ke tempat ini karena Nenek, Bu! peralatan medis Nenek bakal dicabut karena biaya administrasi Nenek di rumah sakit belum aku bayar. Ke mana aja Ibu selama ini? Aku udah berusaha telepon, spam chat, dan datang ke rumah Ibu. Tapi selalu aja Ibu enggak ada! Seolah-olah ibu menghindar dan enggak mau tau masalah tentang nenek!"
"Oh, sekarang kamu berani melawan, iya?! Saya menghilang dari kamu bukan karena saya enggak mau tau, tapi selama ini saya sedang bekerja keras."
"Bekerja keras? Aku minta enam belas juta buat biaya administrasi. Apa Ibu punya uang sebanyak itu? Katanya Ibu bekerja keras," tagih Alea. Ia sebenarnya tidak berniat untuk kasar seperti ini, tetapi mengingat keadaan sang Nenek, membuat dirinya lebih emosional.
"Setelah kamu dapat uang ini, jangan kembali lagi di hadapan saya!" Venia meraih dompet tebal miliknya di balik saku, setelahnya ia mengeluarkan banyak lembaran uang merah dari sana. Baru saja Alea akan menerima, Ibunya itu justru melemparkan uang itu tepat di hadapan wajah Alea.
Gadis itu tersentak dengan mata terpejam. Usai mendengar suara derap langkah menjauh, barulah Alea menengok ke bawah, menatap lembaran merah berceceran. Bulir bening keluar dari kedua matanya, menetes begitu saja tanpa permisi. Alea berjongkok dan mulai mengambil uang itu satu persatu.
Dari dulu, Ibunya memang membenci dirinya. Entah tidak tahu kenapa. Alea tidak tahu itu. Ia juga tak tahu apa penyebab orang tuanya bercerai beberapa tahun silam. Banyak rahasia yang belum dia tahu selama ini. Tapi entahlah. Alea tidak mau tahu rahasia itu karena tujuan hidupnya sekarang adalah sang nenek.
Setelah selesai, Alea berdiri. Namun kepalanya berdenyut pening setelah itu. Dia harap jangan sekarang ia mabuk. Karena urusan dia belum selesai di sini. Dia harus pergi ke Sarga untuk menagih uang itu. Lumayan, untuk berjaga-jaga ke depannya.
"Bro, lihat tuh. Cewek lo datang,"
"Iya noh. Dia ngapain ke sini, yak? Apa dia mau main sama kita?"
"Idih, emang lo mau main sama Gadis kampungan kayak dia?"
"Gue, sih, mau aja. Mau kampungan atau enggak, yang penting dedeknya gemes."
"Geli gue lama-lama denger perkataan Lo,"
Mendengar kedua temannya ribut tidak jelas, Sarga meletakkan botol minum yang sudah belasan menit dia pegang. Sudut bibirnya tertarik melihat Alea tengah berjalan menghampirinya.
"Gue kira lo udah mabuk. Kuat juga fisik lo. Apa jangan-jangan selama ini Lo suka minum-minum?" tanya Sarga dengan nada meledek.
Alea memalingkan muka ketika Sarga akan menyentuhnya. "Mana uang yang kamu janjin tadi?" tagihnya langsung.
"Mana, ya?" Sarga menengok ke Alden dan Rion. "Lo punya uangnya enggak?"
"Uang apa, Bos?" tanya Rion yang tidak tahu apa-apa. "lo jual diri ke Sarga, Al?"lanjutnya bertanya pada Alea tanpa rasa malu. Murni dari otaknya.
"Dia terlalu polos buat itu." sergah Alden.
"Cepat kasih. Aku enggak punya banyak waktu lagi." gemas Alea. Sedari tadi Sarga hanya membuang waktunya saja.
"Santai dong. Emang Lo habis ini mau apa, sih? Mau bermalam sama om-om yang ada di sini, ya?" gelak tawa Sarga dan Rion pecah bersamaan. Alea memandang sebal ke arah mereka berdua. Lain dengan Alden yang diam dengan sirat mata sulit diartikan.
"Denger. Minuman yang tadi Lo minum itu enggak murah. Harga minuman itu puluhan juta. Lo tau? Dan dari harga itu udah masuk enam belas juta. Malah Lo yang punya hutang ke gue lima juta. Seharusnga Lo yang bayar ke gue bukan gue yang bayar ke Lo." jelas Sarga panjang lebar. Alea mengerjap tidak percaya. apa kata Sarga tadi? Membayar? Gila! Ini benar-benar tidak masuk akal.
"Aku ke sini buat pinjam uang ke kamu. Bukan buat minum minuman mahal itu. Lagian kenapa kamu kasih minuman itu? Pokoknya kamu harus beri uang itu sekarang! Aku udah..." perkataan Alea menggantung. Ia memegang kepalanya yang berdenyut kencang. Keseimbangan tubuhnya juga ikut terganggu. Alea berusaha untuk berdiri tegak, namun kepalanya malah terasa semakin pusing. Oh tidak. Jangan sampai efek minuman itu datang sekarang. Ia belum menagih uang itu...
Lama kelamaan, pandangannya menjadi kabur. Semua terlihat menjadi dua. Alea tidak bisa menahannya lagi. Tidak untuk saat ini. Tubuhnya ambruk. Seketika semua gelap gulita tidak tersisa secercah cahaya apapun.
****
"Pacar Lo, Bang? Buset cantik amat. Imut lagi,"
"Kasih tips buat si Johan tuh biar dapet Cewek persis sama dia. Kasihan udah lima tahun dia belum move on dari pacarnya,"
"Wuih! pajaknya, Bang! Lu kudu kasih pajak sekarang! Traktir kita bertiga ke restoran bintang lima. Setuju enggak, kalian?"
"SETUJU DONG!"
"Apaan sih kalian. Dia bukan pacar gue,"
"Lah, terus dia siapa, Bang? Berani amat Lo bawa orang asing ke rumah. Apa enggak takut kalau dia penjahat,"
"Cewek secantik dia mana mungkin juga penjahat,"
Kelopak mata itu mengerjap berkali-kali. Pandangannya kabur. Samar-samar dia bisa melihat tiga orang laki-laki dan satu perempuan memperhatikannya. Alea... tidak mengenal mereka berempat. Ruangan ini juga terlihat asing...
"Dia udah sadar weh!"
"Gila, matanya bening banget."
"Apaan. Beningan juga gue,"
"Yaelah, syirik mulu Lo, Jamilah."
"Berhenti panggil gue Jamilah!"
"Diam. Lo baik-baik aja? Sekarang bagian mana yang sakit? Biar gue panggilkan Dokter,"
Alea memegang kepalanya sambil beringsut duduk, kemudian menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari laki-laki yang duduk di sebelahnya ini. "Kalian... siapa?" tanyanya, memandang setiap orang yang ada di sana dengan raut bingung.
"Kenalin gue Abi," salah satu laki-laki yang berdiri di tepi ranjang, agak jauh darinya langsung memperkenalkan diri. Dengan mata berbinar-binar, laki-laki tersebut menyodorkan tangannya.
Alea hanya mengangguk sekali sebagai jawaban. Tidak ada niatan untuk menjabat tangan laki-laki itu terlebih lagi mereka orang yang belum ia kenal.
"Tadi aku lihat kamu di klub malam. Dalam keadaan mabuk dan banyak laki-laki yang mempermainkan kamu jadi aku berinisiatif buat bawa kamu ke rumah aku biar lebih aman," kata Laki-laki yang terlihat seumuran dengan Alea. Yang jelas, Alea tidak tahu namanya.
"Makasih,"
"Cieee! Aku-kamu. Kok ke kita-kita pakai lo-gue?!" goda seorang wanita yang ada di sebelah pria dengan raut datar.
Menghiraukan godaan mereka, Alea meraba-raba pakaiannya sendiri. Seketika kedua matanya terbelalak lebar menyadari ia memakai pakaian berbeda. "Ke--ke mana baju aku?!"
"Ini," perempuan yang ada di sana mengangkat pakaian yang sudah dilipat rapih. "tenang aja. Kemarin gue yang gantiin baju Lo,"
Alea menghela nafas lega. Dugaannya ternyata salah. "Makasih kalian semua udah nolongin aku,"
"Sans aja kali. By the way, siapa nama lo?"
"Aleanatta Raveena," jawabnya ramah.
Mereka semua kompak ber'oh' ria.
"Kenalin, gue Lavina. Mereka bertiga kakak-kakak gue. Abi, Joshua, Deren. Yang nyelamatin lo namanya Reynal." Lavina melirik menggoda ke arah Alea. "kayaknya si Reynal suka Lo,"
"Heh. Apaan. Dosa nyebar fitnah."
"Tapi bisa aja, kan? Siapa tau aja di masa depan kalian berjodoh,"
"Enggak usah bicara omong kosong,"
****
Alea beranjak cepat ke tempat administrasi. Sekarang sudah jam delapan pagi, sedangkan dirinya berjanji akan memberikan uang itu sebelum hari ini.
"Sus, saya mau membayar uang administrasi." kata dia, langsung menyerahkan amplop tebal berisi lembar uang merah.
Suster itu meraihnya, kemudian menghitung lembar demi lembar. Setelahnya, dia memandang kembali ke arah Alea. "Kondisi Pasien sempat memburuk malam tadi. Dia terus memanggil nama 'Venia'. Kamu lebih baik mempertemukan orang yang dicari pasien untuk kebaikannya,"
"Terimakasih, Sus, sudah menjaga nenek saya." Alea membungkuk sebentar, lantas melanjutkan jalannya ke ruangan sang nenek.
Tangannya menggenggam kenop pintu yang terasa dingin itu. Alat pendeteksi detak jantung berbunyi, membuat hati Alea lega. Neneknya masih hidup dan bersamanya. "Nek, aku pulang." Alea mendudukkan diri di kursi sebelah brankar. Kursi yang sudah beberapa kali ia duduki. Jemarinya menggenggam jari-jari sang nenek yang sudah keriput. "Nenek harus cepat sadar. Aku udah bekerja keras buat dapetin semua biaya itu, masa Nenek enggak sadar juga? Kalau nenek terus kayak gini, aku bakal marah dan enggak akan muncul di sini lagi!" katanya dengan mata yang sudah mulai basah.
"Nenek kangen sama Ibu, ya? Aku juga, Nek. Aku kangen Ibu sama Papa bersama. Aku juga pengin makan kue buatan nenek yang sering dibuat di hari raya. Kita berdoa di detik-detik tahun baru, ngerayain semuanya bareng-bareng. Aku kangen,"
Baru saja akan menyeka air matanya, jari telunjuk neneknya bergerak. Dan hal itu membuat Alea tersentak. "Nek?" panggilnya dengan raut tidak percaya.
"Cu..." Meski lirih dan samar-samar, Alea masih bisa mendengarnya.
"Nenek sadar?!" Alea membekap nulutnya. Ia bergegas bangkit, akan memencet tombol merah, tetapi cekalan lengannya membuat dia berhenti.
"Nenek... mau... ngomong..."
Alea mengangguk cepat. "Nenek mau ngomong apa? Aku dengerin semuanya, tapi Nenek harus tetap sadar. Jangan tinggalin aku lagi,"
"Ve...Venia..."
"Ibu? I--ibu sebentar lagi akan ke sini. A--aku mau telepon dulu,"
"Nenek cuma mau minta... buat Ibumu bahagia, ya? Venia kasar ke kamu karena dia... diceraikan oleh Ayahmu. Buat Ibumu tersenyum dan bahagia. Maafkan kesalahan Ibumu yang pernah dia perbuat padamu..., Nenek mau..., Kalian hidup rukun seperti dulu lagi..."
"Nenek enggak boleh ngomong sembarangan. Ki--kita bertiga akan hidup rukun. Bukan cuma aku dan Ibu," genggaman tangan Alea pada neneknya semakin erat. Ia takut Nenek yang selalu ada untuknya pergi. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan semua yang akan terjadi setelah kepergian neneknya. Alea... tidak bisa berdiri sendiri.
"Jaga diri baik-baik, ya, Cu..., nenek yakin cucu bisa baik-baik aja tanpa Nenek..."
"Enggak. Aku enggak bisa! Cuma Nenek yang ada buat aku. Orang lain enggak bisa gantiin Nenek. Enggak! Gak ada. Nenek--"
Perkataan Alea terhenti ketika melihat alat pendeteksi detak jantung bergaris lurus. Ia menggelengkan cepat kepalanya sambil mengguncang kencang pundak Sang nenek. Isak tangisnya pecah. Dia tidak ingin Neneknya pergi sekarang. Tidak. Sampai kapanpun ia belum siap menerima, tetapi... Takdir tidak pernah melihat siap atau tidaknya seseorang untuk menghadapi sesuatu.
Beberapa Suster datang usai Alea memencet tombol merah yang tidak jauh darinya. "Dua puluh satu Desember jam delapan lewat tiga puluh satu menit, Pasien menghembuskan nafas terakhir. Catat waktu kematiannya,"