webnovel

Alea dan Ambisinya

Rumah sakit. Di sinilah Alea berada, menatap seorang wanita berambut putih dengan seluruh kulitnya yang telah keriput. Sang Nenek terbaring lemah dengan peralatan medis yang terpasang di beberapa bagian tubuhnya.

"Apa Nenek enggak kangen aku? Nek, bangun! Liat rapor aku. Aku berhasil meraih peringkat satu di sekolah. Itu keinginan Nenek dua bulan lalu, kan? Sekarang aku udah mewujudkannya. Kenapa Nenek masih aja tidur begini? Apa nenek enggak sayang sama aku? Nenek mau buat aku terus sedih?"

Senyap.

Hanya alat pendeteksi jantunglah yang menyahut perkataan Gadis cantik itu.

Alea menunduk. Air matanya luruh. Di dunia ini dia hanya memiliki Sang Nenek. Ralat, ia juga memiliki Ibu, tapi rasa sayang dari sosok itu tidak pernah dia rasakan. Oleh sebab itu sampai sekarang, Alea hanya menganggap Sang Nenek di hidupnya. Kecelakaan yang terjadi satu bulan lalu menyebabkan neneknya tidur panjang sampai sekarang.

"Kamu cucunya Pasien?"

Alea menengokkan kepala ke belakang. Melihat sang suster tengah berdiri di ambang pintu, dia langsung beranjak menghampiri tanpa membuang waktu lagi. Siapa tahu suster itu akan memberitahu tentang keadaan sang nenek.

"Ada apa, Sus?" tanya Alea setelah dirinya keluar dari ruangan berbau obat tersebut.

"Peralatan yang melekat pada Nenekmu akan dilepas. Mohon, tanda tangan di sini," Suster menyodorkan sebuah pulpen dan kertas yang sudah dikaitkan di sebuah papan kecil.

"Semua peralatan itu, kan, alat penunjang hidup Nenek. Aku enggak setuju pelepasan peralatan itu, Sus. Aku enggak mau kondisi Nenek memburuk,"

"Jika Anda ingin peralatan itu terpasang lebih lama, maka silakan di administrasi untuk membayar. Rumah sakit ini memiliki peraturan tertentu. Kalau Anda tidak mematuhi aturannya, maka Anda tidak bisa untuk tetap di sini." Bahu Alea merosot usai mendengar perkataan Sang Suster. Memang dirinya tidak membayar biaya sejak Neneknya pertama kali diperiksa. Dia sudah mengumpulkan hasil kerja kerasnya sebagai pramusaji di restoran, tapi itu semua tidak cukup. Malah hanya cukup membayar seperempatnya saja.

"Besok." Alea memandang lurus, kembali menatap suster. "beri aku waktu."

"Apa jaminannya? Kami sudah memberi banyak waktu untukmu."

"Aku bekerja malam nanti. Aku mohon, beri kesempatan satu kali lagi. Aku janji biaya administrasi akan lunas sebelum besok,"

****

Remang-remang cahaya dari lampu kecil yang tersebar di beberapa titik jalanan menemani langkah Gadis dengan pakaian serba tertutup itu. Dia memasukkan kedua tangan di saku untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk.

Alea mendudukkan diri di bangku yang terletak di depan sebuah kafe. Tangannya menyeluk saku, mengambil sebuah amplop yang diberikan oleh bosnya. Ia menghitung lembar demi lembar uang merah yang ada di sana. Wajahnya berubah masam dan murung mengetahui jumlahnya hanya satu juta saja, sedangkan biaya administrasi itu dua puluh juta. Uang tabungannya juga mencapai tiga juta. Kedua matanya memandang jalanan yang sepi itu. Bingung harus mencari pekerjaan ke mana. Sedangkan hari sudah larut. "Ke mana lagi aku harus cari uang?"

Lagi, satu tangan Alea meraih sebuah ponsel yang terletak di saku kiri. Sinar biru menerpa wajahnya. Alea memandang lama wallpaper yang terpampang di depannya. Ia mengusap foto sang ayah tengah tersenyum lebar bersama dirinya di kelulusan SMP tiga tahun lalu. "Alea kira Ayah bakal ada saat aku lulus SMA tiga bulan lagi," Gadis itu tertawa miris, menertawakan nasibnya sendiri.

Ibu jarinya men-scroll seluruh deretan nomor telepon yang tertera di sana hingga berhenti di sebuah kontak dengan nama 'Sarga'. Alea menggigit bibir bawah. Keraguan datang di dalam hatinya. Wajar saja. Sarga adalah kakak kelasnya yang angkuh dan suka berbuat onar, tapi fakta kalau Sarga merupakan anak kaya, membuat Alea harus memberanikan diri menelepon Sarga untuk memperoleh pertolongan.

"Ha—halo?"

"Weh, guys! Liat! Anak jalang telepon gue!"

Alea memutar malas kedua bola matanya. Sabar. Sikap Sarga memang seperti itu. Ia juga sudah terbiasa ketika dipanggil jalang.

"Ada apa lo telepon gue? Mau nawarin jasa BO? Ayo sini. Dengan suka hati gue terima."

"Enggak!" suara Alea sedikit meninggi. Di detik berikutnya, ia tersadar akan posisinya saat ini. "ma--maksud aku..."

"Wohohoho. Udah berani lo sama gue? Gue matiin teleponnya seka--"

"Eh, jangan-jangan! Aku pinjam uang enam belas juta sekarang buat pengobatan Nenek."

"Apa jaminan kalau lo akan bayar hutang lo?"

"Setiap bulan aku bakal transfer uangnya ke kamu."

Hening. Tidak terdengar apa-apa di seberang sana.

"Sarga? Halo? Lo masih ada di sana, kan? Sarga? Ha--"

"Pergi ke klub malam sekarang."

"Tapi--"

Terlanjur. Sambungan sudah diputuskan oleh Sarga. Alea bergerak gusar. Dirinya berpikir keras, apakah harus ke sana atau tidak mengingat tempat itu... tidak pernah ia datangi. Wajah sang nenek tiba-tiba terlintas di benaknya. Hal itulah yang membuat dia bimbang. "Ini demi Nenek, Al! Lo harus bisa."

****

Gemerlap-gemerlap lampu disko membuat mata Alea menyipit. Ia menerobos kerumunan banyak orang yang tengah berjoget tidak jelas. Bau alkohol menyeruak di Indra penciumannya. Sungguh, demi apapun Alea tidak suka tempat ini. Ia mengedarkan pandangan ke kanan kiri, tetapi makhluk bernama Sarga Basilio Agustin itu tidak kelihatan.

"Akhirnya Lo datang juga. Terlambat lima menit. Hukuman dan persyaratan lo akan ditambah." Alea menatap ke depan, mencari asal suara tadi. Ternyata laki-laki menyebalkan itu tengah duduk di bangku sambil menyilangkan kedua kaki. Dan yang membuat Alea berdesis jijik, ada dua orang wanita berpakaian minim tengah memijit kedua pundak Sarga.

"Lo mau uang, kan?"

Kepala Alea yang menunduk itu akhirnya mengangguk.

"Semua orang mendapatkan uang dengan susah payah, jadi gue enggak akan biarin Lo mendapatkan uang semudah itu." Sarga berdiri. Ia menengok ke samping, meninjau Seorang pria berbadan kekar dengan tatapan isyarat. Tidak lama, Sarga menerima sebuah botol besar dari anak buahnya tersebut. "ini,"

Alea dengan ragu menerima botol itu. Sirat bingung kentara jelas di matanya. "Ini buat apa?"

"Minum sampai habis dalam waktu satu menit. Kalau enggak habis, gue gak jadi kasih uang itu ke Lo." Sarga mundur beberapa langkah. Ia mendarat ls kursinya kembali. Sementara Alea bersiap. Hidungnya mendengus, mencium bau air di dalam botol itu. Oh, tidak! Ini alkohol. Kedua mata Alea terbuka lebar, kemudian menggeleng cepat kepalanya.

"Enggak. Aku enggak mau."

"Oke." Sarga menengok ke seorang wanita di sebelahnya. Satu tangannya itu sudah menggenggam sebuah amplop tebal. "buat kamu, sayang."

"Jangan!"

Sarga menengok dan menjauhkan uang itu dari wanita di sampingnya. "Apa, Aleasayang?"

"Aku... aku bersedia minum ini!" Lengking Gadis itu dengan modal nekat. Orang-orang yang ada di sekitar mereka berhenti. Atensinya terpusat pada Alea yang berdiri di tengah-tengah. Semua orang kini memperhatikannya.

"Mulai dari sekarang. Satu... Dua... Tiga!"

Alea memejamkan mata rapat-rapat. Setelahnya ia mengangkat botol itu, kemudian menengguknya perlahan.

"Wanita gila. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dia mabuk nanti."

"Kita bisa memanfaatkannya untuk bermalam di sini,"

"Otakmu penuh dengan pikiran kotor."

"Lihatlah. Dia memecahkan rekor. Siapa lagi yang sanggup meminum sebanyak itu?"

"Dia cantik. Kasihan juga dikerjai oleh laki-laki itu,"

"Apa kau mau menolongnya?"

"Tentu tidak. Aku lebih suka menontonnya. Ini terlihat seru,"

"Kalau Lo enggak kuat, gak usah dipaksain." Sarga bangkit berdiri. Ia berjalan mendekati Alea. Gadis itu tampak meliriknya. Dan hal tersebut membuat tangan Sarga mengepal, kesal dengan lirikan Alea. Sarga mendekat, jarinya mengelus pipi Alea, namun dengan sigap Alea menangkisnya. Tidak mau kalah, Sarga memegang lengan perempuan itu hingga Alea tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menengguk minuman memabukkan itu sampai habis.

Sarga mengikis jarak, kemudian mendekatkan bibirnya tepat di telinga Alea. "gue tau lo enggak akan sanggup. Sebagai gantinya, Lo harus tidur sama salah satu Om-om yang ada di tempat ini."

Alea menghentikan aktivitasnya. "Aku bisa habisin semua ini!" Sisa seperempat botol, dia meminumnya lagi hingga habis tidak tersisa. Jika ada seseorang yang menyebutnya gila, Alea mengakui itu. Dia memang gila demi neneknya. Alea meletakkan botol tersebut dengan kasar hingga terdengarlah decakan kagum dari orang-orang yang menyaksikan mereka.

"Udah lihat, kan? Sekarang mana uangnya?" tagih Alea langsung. Bukan tanpa alasan, dia ingin uang itu ada di tangannya sebelum dirinya mabuk.

"Lo kira gue sungguhan bilang itu?"

"Berhenti bercanda, Sarga. Aku butuh uang itu sekarang!"

"Eh, ada satu persyaratan lagi."

Alea merotasikan bola matanya malas. "Apa?"

"Bersihin sepatu gue pakai cardigan Lo,"

"Kamu gila? Kalau pakai cardigan, aku enggak--"

"Mau gue tambahin syarat lain lagi?" potong Sarga cepat. Senyum miring terbit di bibirnya ketika Alea berjongkok dan mulai mengelap sepatunya.

Tapi tunggu.

Ada yang janggal.

"Gue bilang pakai cardigan! Bukan ujung celana lo!"

"Iya-iya,"

"Lama Lo." Sarga mencondongkan sedikit badannya, kemudian melepas paksa cardigan milik Alea hingga tampaklah tanktop hitam yang melekat.

Kedua tangan Alea langsung menutup dadanya. Ia yakin laki-laki di sekitarnya tengah memperhatikan. "Ini demi Nenek, Alea! Demi Nenek!" katanya pada diri sendiri di dalam batin. Dia merebut cardigan dari genggaman Sarga, lantas mulai mengelap sepatu hitam Sarga. Tidak tahu kenapa, hatinya mendesir. Pandangan matanya kabur juga... terasa perih. Sampai akhirnya satu air mata menitik.

Puluhan menit berlalu, akhirnya tugas Gadis itu selesai. Alea perlahan berdiri dan memandang Sarga yang masih menatapnya dengan tatapan menyebalkan. "Sekarang--"

"ALEA! IKUT SAYA!"