webnovel

Mulut Netizen

****

"Bunda, kapan Mas Adam pulang?" tanya Alif dengan wajah polosnya.

"Kenapa Alif nanyain Mas Adam? Kangen, Nak?" tanyaku. membingkai wajah mungilnya, lalu mengecup keningnya dengan lembut.

"Iya, Alif kangen Mas Adam. Di rumah sepi, bukan cuma Ayah aja yang sibuk tapi Bunda juga!" Alif menjawab dengan penuh penekanan.

Hm, mungkin Alif udah merasakan dampak dari masalahku yang sudah berada di ujung tanduk. Semenjak aku mengusir Mas Helmi, dia tak pernah pulang lagi ke rumah ini. Mungkin tinggal di rumah gund*k kesayangannya!

Pagi itu aku aku kedatangan Umi, Bang Diki juga adik perempuanku, Disha. Mereka menanyakan tentang kebenaran video yang tengah viral itu.

"Iya, Umi itu Mas Helmi. Do'akan Dinda, agar kuat melewati ini semua!"  

Hanya itu yang mampu aku ucapkan pada Umi, dan keluargaku.

"Yang sabar, Dinda, kami semua pasti mendo'akan untuk kebaikanmu. Bagaimana Alif dan Adam, apa mereka tahu semua ini? tanya Bang Diki.

"Em, mereka tidak tahu, cuma tahu Mas Helmi sibuk dan nggak pulang-pulang," sahutku lagi.

"Kak, Mas Helmi, kok bisa setega itu? Padahal Kak Dinda itu nyaris sempurna sebagai perempuan," timpal Disha.

"Sutt, Disha, Kakakmu lagi sedih, jangan membuatnya makin sedih, kasihan!" sela Umi, yang sejak tadi hanya diam saja dan mengusap-usap punggungku dengan lembut.

"Maaf, Kak Dinda!" ucap Disha lagi.

"Oke, Kakak baik-baik saja. Jangan khawatir!" ucapku, sambil mencoba tersenyum pada Disha.

Disha pamit ingin bertemu Alif dan mengajaknya sekedar makan ice cream di taman, aku mengijinkan dengan syarat ia harus menjaga Alif dengan baik.

"Em, Din, Abang nggak bisa lama-lama di sini, Abang ada janji sama kolega. Kalau kamu butuh bantuan Abang, langsung hubungi saja!" Bang Diki pamit.

Aku tersenyum pahit, ketika orang-orang terdekatku mengasihani nasibku. Umi memelukku, dengan tangan keriputnya ia menghapus air mata yang lolos saat dalam dekapan hangatnya.

"Menangis saja, jika itu membuatmu lega. Umi paham perasaanmu," bisik Umi di telingaku.

**** 

Karena penasaran aku mengaktifkan kembali media sosialku, menyiapkan hati untuk membaca semua komentar-komentar pedas para netizen yang maha benar.

"Goyangan istrinya kurang liar kali, ya? Sampai-sampai nyari goyangan lagi di luaran, hahaha!"

"Astagfirullah, ceweknya tetanggaku (Emot nangis)"

Dengan serta merta para netizen kemudian menyerbu akun yang mengaku tetangganya si perempuan itu. Termasuk aku.

Dengan memakai akun palsu, aku mengirim beberapa pesan padanya, serta mengiming-iminginya sejumlah uang agar dia mau memberikan alamat si perempuan, tentu saja aku tak perlu jujur siapa aku sebenarnya.

Aku ingin menggali informasi, agar nantinya aku lebih mudah mencari bukti-bukti lainnya dari perempuan itu. Tentu saja, aku tak bekerja sendirian, aku akan menyuruh orang-orangku untuk menyelidiki asal usul perempuan itu.

Tak lama, orang itu mengirimkan sebuah alamat, dan sebagai imbalannya aku segera mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening yang dia kirim.

Aku menghubungi orang suruhanku, dan mengirimkan alamat yang kudapat, lalu memintanya menjadi intel di sana.

Beberapa jam kemudian orang itu mengabariku, bahwa perempuan yang di maksud sudah pindah tiga bulan yang lalu.

'Argh! Sial," umpatku.

Aku mengingat sesuatu, saat aku berusaha membajak aplikasi Whatsappnya, Aku memasang aplikasi pelacak di ponsel milik Mas Helmi.

Aku tersenyum senang saat mendapatkan alamat terbarunya dari aplikasi itu, dan segera meminta orang suruhanku untuk datang ke lokasi itu.

'Lihat, Mas aku akan membuat hidupmu makin tak tenang! di kucilkan semua orang, di hujat habis-habisan dan tak menghasilkan uang. Sama, saat pertama kali aku mengenalmu dulu!'

****

(Pov Helmi)

Duniaku terasa runtuh ketika video itu viral. Bagaimana bisa aku seceroboh ini? Padahal, aku sudah serapat mungkin menyembunyikan hubunganku dengan istri mudaku. Bisa kupastikan siapapun orang yang ada di balik ini akan merasakan akibatnya!

Aku tak bisa berkata-kata di depan Dinda, lidahku rasanya kelu, apalagi ketika ia mengusirku tiba-tiba dari rumah dan aku tak diberikan kesempatan untuk sekadar membela diri. Aku kenal Dinda, makanya aku memilih pergi dan membiarkannya tenang dulu.

Hilang sudah wibawaku di depan teman-teman bisnisku. Kali ini rasanya aku ingin bunuh diri saja karena video itu dan mereka dengan beraninya menyeret akunku dalam komentar-komentar di sana. Tentu saja aku di hujat oleh para emak-emak netizen.

Bukan cuma aku yang kena Imbas dari video itu, tapi istri keduaku juga. Aku hanya perlu bersembunyi sebentar saja lalu nanti akan kukasuskan mereka dengan kasus pencemaran nama baik.

"Mas, ini bagaimana? Kita nggak bisa, diam terus! Lihat, netizen itu menghujatku! Aku malu, Mas!" isak Mariah, istri keduaku.

"Tenang, Mariah! Aku pun sama kalutnya dengan kamu."

"Coba, Mas dulu dengar aku! Berterus terang tentang pernikahan kita sama Mbak Dinda, tak akan sesulit sekarang ini. Kita bisa bersembunyi di rumah Mas yang besar itu," gerutu Mariah, menyalahkanku.

"Cukup, Mariah! Aku sudah pusing dengan video itu jangan kamu tambah-tambahi dengan ocehanmu!" Aku sedikit membentaknya.

"Mas itu nggak adil, padahal waktu itu mas janji akan membuatku tinggal di rumah yang di tempati dengan Mbak Dinda, tapi kenyataannya terus saja aku di suruh sembunyi di rumah ini. Mas Jahat!" Mariah merajuk. Ia menghentak-hentakan kakinya saat berjalan ke kamar.

"Nanti akan Mas usahakan, Mariah!" teriakku prustasi, menghadapi sikap manjanya.

Mariah tak menghiraukan teriakanku, ia malah membanting pintu cukup keras. 

'Akh, manjamu berlebihan, kekanak-kanakkan beda sekali dengan Dinda!'

****

Aku menghubungi pihak hotel langgananku, karena aku sangat yakin itu video rekaman saat di hotel. 

"Maaf, itu di luar tanggung jawab kami, Pak! Karena sebenarnya pihak hotel tak pernah menyimpan CCTV  di dalam kamar, hanya di koridor saja." Jawaban dari pihak hotel terdengar menyebalkan di telingaku.

"Argh, tidak Mungkin! Lalu siapa yang merekam kami lalu menyebarkannya hingga saya mengalami kerugian? Hilang harga diri saya karena keteledoran kalian!" 

Tut. 

Aku mematikan telepon dengan kesal, karena dari pihak mereka hanya maaf, maaf dan maaf saat aku meminta pertanggungjawaban dari mereka.

"Mas, makan dulu?" ujar Mariah, ia duduk di meja makan sambil menatap makanan di meja.

Aku menghampirinya dan segera memeluknya dari belakang  serta mengecup mesra pucuk kepalanya. Namun, sesaat kemudian aku terkejut dengan menu yang Mariah siapkan untukku.

"Loh, kok, menu cuma sayur bening dan tahu tempe. Ayamnya mana, Sayang?" tanyaku heran.

"Tak ada ayam tak ada ikan tak ada daging, Mas! Isi kulkas semuanya habis, aku tak mungkin keluar rumah. Aku takut mereka akan mengenaliku, huhuhu." Jawaban Mariah ada benarnya, kasihan sekali dia!

"Baiklah, nanti Mas yang akan belanja, jangan sedih lagi nanti cantiknya hilang!" rayuku pada Mariah.

Setelah selesai makan aku segera meluncur ke super market terdekat, memilih semua kebutuhan sebanyak mungkin untuk persediaan kami selama masa persembunyian.

Namun, saat aku akan membayar dengan kartu debit, kasirnya bilang semua kartuku tak bisa di gunakan.

'Hm, kenapa, ya? Padahal aku yakin sekali, saldoku sangat banyak.' 

Akhirnya aku pun kembali kerumah Mariah tanpa membawa apapun. 

_________________