webnovel

Tiba-Tiba Viral

****

"Non, ada telepon dari Non Vio," kata Mbak Sri memberitahuku.

"Oh, iya, makasih Mbak Sri," sahutku. 

Mungkin, karena ponselku yang raib di ambil jamret itu sudah tak aktif makanya Vio menghubungiku lewat telepon rumah.

"Ya, Vi, ada apa?" tanyaku santai.

"Kenapa sulit banget dihubungi, sih, Din? Dari semalam aku chat kamu berulang-ulang tapi nggak aktip terus. Ponselmu rusak?" cecarnya dari seberang telepon.

"Ponselku kena jamret, Vi. Aku belum sempat cari gantinya, mungkin nanti sore," sahutku santai.

"Pantas, aku ke rumah sekarang, ya! Ada yang mesti aku tunjukin sama kamu!" 

Tut.

Sambungan telepon dimatikan sepihak olehnya tanpa pamit, malah di akhir percakapan seperti ada kata penekanan kalau dia punya sesuatu yang penting denganku.

'Hm, Vio itu memang begitu. Selain grasa-grusu, orangnya penuh dengan teka teki.'

Aku melanjutkan acara memasakku, biasanya Mbak Sri yang membuatkan sarapan. Tetapi, kali ini aku sedang rajin saja membuat sarapan untukku dan Alif.

"Hm, kamu sudah bangun, Dinda?" Mas Helmi memeluk pinggangku dari belakang, namun perlahan aku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku.

"Sudah," jawabku singkat.

"Loh, tumben nggak mau di peluk, kenapa?" tanya Mas Helmi.

"Kamu, kan sudah mandi, Mas. Nanti kamu bau bawang, loh, mau?" dalihku.

Sebenarnya aku sangat jijik, ia so' romantis di depanku padahal di belakangku dia main sama perempuan lain.

"Oke, aku tunggu di meja makan. Jangan lama!" sahutnya, sambil berlalu meninggalkanku.

Suasana di meja makan terasa beda. Biasanya, celotehan Alif mampu membuat aku dan Mas Helmi tertawa bersama. Kali ini aku hanya fokus pada makananku sambil memperhatikan Mas Helmi yang bercanda dengan Alif, dari raut wajahnya ia terlihat biasa saja. Sungguh, pandai sekali dia memainkan perannya!

"Aku hari ini berangkat ke jakarta. Aku mohon banget sama kamu, nggak perlu datang ke toko lagi, biar aku saja yang berjuang mencari rupiah. Kamu cukup nikmati di rumah saja!" 

Bualan Mas Helmi, sungguh ingin membuatku muntah.

****

"Nih, Lihat saja sendiri!" titah Vio, ia menyodorkan ponsel miliknya padaku, padahal ia baru saja sampai.

"Astaga, video itu!" gumanku, aku panik setengah mati.

Tubuhku lunglai, bagai mana bisa videonya tersebar bebas di aplikasi berlogo F? Apa yang akan aku katakan pada anak-anakku jika mereka tahu tentang video yang sudah viral sejak semalam.

"Ini Mas Helmi, kan, Din?" tanya Vio.

"I, iya, Vi." jawabku gugup.

"Atau jangan-jangan kamu yang menyebarkan video ini?" Vio memicingkan matanya, seolah menelisik kebenaran dan menuduhku pelakunya.

"Sumpah demi Allah bukan aku, Vi. Ponselku hilang!" sahutku hampir menangis.

"Oke, oke, aku percaya. Kamu tenang dulu, ya!" 

Vio mengusap-usap punggungku, tangisku pecah ketika Vio memelukku. Aku menumpahkan rasa sesak di bahu sahabatku. pelan, tapi detail aku ceritakan semua tentang suamiku, perempuan itu dan keterlibatan Hana.

"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Din?" tanya Vio, membuatku seketika mengingat Adam dan Alif. Mereka pasti sangat malu ketika mengetahui semua ini.

Aku menggeleng lemah. Entahlah, jika mengingat kedua anakku, otakku terasa buntu. Mungkin, jika aku tak memikirkan perasaan mereka, dari kemarin aku saja yang viralkan video bejad suamiku.

"Dinda, kamu harus cepat mengambil keputusan!" kata Vio lagi.

****

"Itu pemeran cowoknya, kok, seperti nggak asing, ya!"

"Wah, ini parah mainnya gila."

"Astagfirullah, nggak nyangka banget, ya! Padahal istrinya cantik, loh."

Dan banyak lagi komentar-komentar pedas lainnya, malah beberapa akun ada yang menyeret nama akunku di sana. Terpaksa aku menutup akun media sosialku untuk sementara waktu.

Deru mobil berhenti depan rumah. Aku yang berdiri di balkon kamarku, tersenyum sinis saat melihat Mas Helmi berlari memasuki rumah dengan raut wajah panik dan ketar-ketir.

"Din, apa kamu di dalam? Buka pintunya, aku mau bicara sama kamu!" pintanya seraya tangannya terus menggedor-gedor pintu kamarku.

Dengan malas aku melangkah dan membuka pintu untuk Mas Helmi.

"Din, biarkan aku menjelaskan semuanya!" ucapnya kaku.

"Nggak perlu, Mas! Aku sudah tahu semuanya, dan aku tak bisa mentolelir kamu yang sudah berkhianat," sahutku sinis.

"Mas terpaksa, Din!" ucapnya lagi dengan prustasi, ia mengacak kasar rambutnya.

"Hahaha, terpaksa? Tak salah bicara kamu, Mas? Adegan itu tidak menunjukan kamu sedang terpaksa tapi kamu menikmatinya, jangan munafik kamu!" sergahku, membuat ia tak berkutik.

"Baiklah, apapun penilaian kamu tentangku, aku hanya bisa meminta ampunan darimu. Maaf atas semua salahku!" 

"Pergi, aku tidak ingin melihatmu di sini!" bentakku kemudian. 

Rasanya tak tahan lagi dengan emosi yang sedari kemarin kutahan-tahan. Aku butuh pelampiasan, meluapkan segala beban yang kerap membuatku sesak dan ingin mati saja.

"Ta-tapi, Din," 

"Aku bilang pergi, Mas!" teriaku.

Ya, kali ini sabarku telah habis, rasa hormatku hilang seketika saat aku menemukannya sedang bercinta dengan wanita muda. Hati perempuan mana yang tak akan hancur berkeping- keping? Setelah 15 tahun pernikahan, mengabdikan diri pada makhluk yang bergelar suami.

'Umi, Dinda rasanya tak kuat lagi!' jeritku dalam hati.

****

Sore ini mendung, serasi dengan hatiku yang setiap detik terus berkabut karena luka yang begitu menganga. Namun, aku harus segera mengambil keputusan.

Aku ada janji bertemu dengan pengacara keluarga untuk membicarakan masalahku. Dengan bukti video yang sudah viral itu rasanya tak akan sulit untuk memenangkan hak asuh anak-anakku, tapi apa salahnya kalau sekedar berkonsultasi dulu?

"Ibu Dinda, bukti ini sudah sangat kuat menjelaskan bahwa Bapak Helmi berselingkuh, hak asuh atas Adam dan Alif saya pastikan akan jatuh ke tangan Ibu," ujar Pak Gani.

Aku lega mendengarnya, mungkin nanti tinggal memikirkan bagaimana caranya aku memberi penjelasan untuk Adam dan Alif?

Setelah selesai bertemu dengan Pak Gani, aku mampir ke toko ponsel ternama di kota Bandung. Bermaksud mengganti ponsel yang di ambil jamret itu, tak mungkin juga aku menggunakan onselnya Alif terus menerus.

Aku menggunakan Jilbab panjang, masker dan kaca mata hitam agar tak ada yang mengenaliku. 

"Eh, gila, pemilik toko ternama punya skandal. Video mesumnya lagi viral, loh!" kata salah satu karyawan.

"Iya, tadi pagi juga aku sempat lihat. Kabarnya punya istri dan dua anak, kasihan istri dan anak-anaknya," sahut karyawan yang sedang melayaniku.

"Jadi semuanya berapa, Mbak?" tanyaku, menghentikan aktivitas mereka.

"Lima juta dua ratus, Bu," jawabnya sopan.

Aku segera menyelesaikan pembayaran, tak kuat lagi mendengar orang-orang membicarakan tentang video itu. Hati rasanya nyeri.

'Lihat, Mas! Kamu yang berbuat, aku dan anak-anak yang menanggung malu.'

Tak terasa air mataku jatuh begitu saja, padahal ini sedang di tempat umum. Rasanya, orang-orang seperti menyorakiku, memertawakanku, dan memojokkanku.

_________________