webnovel

Kerinduan Adam

****

Pagi-pagi sekali Dinda dapat kabar dari Bu Nuri, kalau adam sedang sakit. tentu saja membuatnya sangat khawatir dengan kondisi Adam saat ini, apalagi Adam tengah jauh dari dirinya.

"Ibu Dinda tenang saja, semalam sudah di bawa ke klinik terdekat. Tapi, jika siang ini Adam belum membaik Ibu dan Bapak boleh menjemputnya, untuk di rawat di rumah saja." Bu Nuri pelan-pelan menjelaskan lewat sambungan telepon.

Kekhawatiran Dinda mulai menjadi ketika mengingat rumah tangganya yang telah pincang, bagai mana jika Adam menanyakan Mas Helmi ketika di rumah nanti? Apa yang akan ia katakan pada putra sulungnya?

Dinda terus merapalkan do'a untuk kesembuhan Adam, walau bagaimanapun ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Adam, apalagi saat ini ia sedang sakit.

Akhirnya Dinda meminta saran Umi Aisyah, karena masalah ini menyangkut kesehatan putranya, tak mungkin juga ia tega membiarkan Adam melawan sakitnya sendirian.

"Jemput saja, Din, biar Umi nanti yang temani, masalah lainnya nggak usah di pikirkan dulu, fokus saja dulu sama kesehatan Adam!" ucap umi, lewat pesan WhatsApp.

"Adam butuh kamu di sampingnya," tambah Umi lagi.

Seperti saran dari uminya, Dinda pun segera berangkat menjemput Adam saat itu juga bersama Pak Dahlan, supir pribadinya.

****

"Assalamu'alaikum, Bu Nuri." Dinda, mengucapkan salam ketika ia tiba di depan rumah orang yang selama ini menjaga putranya selama di pesantren.

"Wa'alaikumussalam. Alhamdulilah Ibu Dinda sudah datang, baru saja saya mau mengabari Ibu, kalau keadaan Adam masih demam tinggi." 

Bu Nuri terlihat cemas, sama halnya seperti Dinda, karena walau bagaimanapun Adam sudah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri.

"Bu, saya ingin bertemu Adam," ucap Dinda. 

"Ayo, saya antar."  

Mereka berjalan menuju kamarnya Adam, Dinda sudah mulai tak bisa mengendalikan kepanikannya, bulir bening hendak meluncur begitu saja dari sudut matanya.

Tubuh kecil, terbaring lemah di atas kasur. Sesekali ia bergumam dalam tidurnya.

"Ayah ...." lirih Adam dalam tidurnya.

Pertahanan Dinda untuk tak menangis kini tumpah begitu saja, melihat keadaan putranya yang sedang tak baik-baik saja.

Segera ia menghapus air matanya yang sudah kadung terjatuh, ia duduk di kursi dekat ranjang putra sulungnya. mengelus rambut nya, lalu mencium kening Adam dengan lembut.

"Assalamu'alaikum, Adam. Ini Bunda, Nak." Dinda berbisik di telinganya Adam. 

Mendengar ucapan sayang dari Dinda, Adam perlahan terbangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan tersenyum senang saat melihat bundanya duduk di sampingnya. 

Adam berusaha untuk bangun, namun sepertinya karena keadaannya yang lemah, Adam tak sanggup, hingga ia terbaring kembali.

Dinda hendak membantunya agar Adam Bisa duduk, namun tangan Dinda di genggam kuat oleh Adam. Ia menyalimi, lalu mencium tangan bundanya dengan takzim.

"Maafin Adam, sudah membuat Bunda khawatir!" ucap Adam pelan.

"Loh, kenapa minta maaf, Adam 'kan nggak salah," sahut Dinda.

"Ayah mana, Bund?" tanya Adam sambil menatap pintu, seperti ada yang sedang di tunggunya.

"Ayah di Jakarta, kenapa?" tanya Dinda, penasaran ingin mendengar apa tanggapan Adam.

"Oh,"

Ya, cuma kata itu yang keluar dari mulut Adam, ia kembali berbaring dan berbalik menghadap tembok.

Dinda Paham, pasti Adam sedang merasakan kecewa karena Ayahnya tak ikut datang, lalu bagaimana kalau Adam tahu yang sebenarnya? Dinda bergidik, ia tak sanggup membayangkannya, kekecewaan itu akan bersarang dalam jiwa anaknya.

'Astaghfirullah'

****

Kekhawatiran Dinda semakin menjadi, ketika Adam masih demam, suhu tubuhnya masih berkisar di angka 39,6. Padahal, hari telah hampir sore. 

Ketika Dinda mengajaknya untuk ke rumah sakit, Adam bersikeras menolak. Ia malah menghabiskan waktunya dengan tidur.

"Adam, kenapa tak mau di ajak ke rumah sakit?" tanya Dinda, mencoba berkomunikasi kembali. 

Ya, sedari ia menanyakan ayahnya yang tak datang, ia banyak diam, kalau di tanya ia akan pura-pura tidur.

"Adam nggak mau di rawat, Bunda. Mending pulang saja ke rumah, Adam kangen banget sama Alif sama Ayah. Boleh, Bun?" tanya Adam.

Degh!

Jantung Dinda rasanya ingin lompat saja dari sarangnya mendengar permintaan Adam yang bilang kangen sama Ayah dan adiknya. Tetapi, melihat binar mata Adam, Dinda sangat sedih. Terlebih, di sana ada harapan besar agar bertemu dengan sang Ayah.

"Bun, Bunda!" Panggil Adam, membuyarkan lamunan Dinda yang sedang berpikir keras.

"Ya, gini, deh. Adam sekarang ikut Bunda dulu ke rumah sakit, nanti Bunda minta Ayah untuk pulang ke Bandung, ya. Gimana?" bujuk Dinda. 

Sebenarnya, hati Dinda sedang risau. Dari siang ia mencoba menghubungi, Helmi. Namun, nomor ponselnya tak aktif- aktif.

Tak berhenti di situ, Dinda menghubungi lewat sosial medianya, namun sampai detik ini tak ada balasan satupun dari Helmi.

"Ya sudah, Adam mau, Bun." 

Dinda tersenyum. akhirnya, anak sulungnya luluh juga. Urusan mantan suaminya yang masih belum bisa di hubungi itu biarlah urusan nanti, yang penting Adam harus segera di tangani terlebih dahulu.

Setelah izin pada Bu Nuri, Dinda segera membawa Adam ke rumah sakit. Perjalanan dari pesantren kali ini berbeda jauh dari sebelumnya. Biasanya, ia akan bersandar pada bahu suaminya, atau sekadar bercerita panjang lebar tentang pekerjaan atau tempat-tempat yang ingin di kunjungi saat akhir pekan.

****

Ketika sampai di IGD Adam langsung di tangani oleh para Dokter. Dinda berkali-kali menggigit bibir bawahnya saat melihat lengan Adam di suntik berkali-kali.

"Maaf, ya ,bu. Nadi Adek sulit ketemu, kemungkinan Adek dehidrasi," ucap sang Perawat.

Dinda hanya sanggup mengangguk menanggapi ucapan perawat, ia tak tega melihat Adam terus meringis karena menahan rasa sakit di lengannya. Andai saja ia bisa menggantikan posisi Adam saat ini, ia rela.

Setelah beberapa kali gagal, akhirnya Perawat berhasil memasangkan jarum Infus di lengan kanannya Adam, Dinda segera mengurus administrasi.

Setiap kali ada kesempatan, Dinda mencoba menghubungi Helmi. Namun, tetap tak bisa di hubungi. Air matanya luruh begitu saja, ia sadar keberadaan Helmi saat ini jauh lebih berarti untuk Adam.

Umi Aisyah dan Abi Ahmad telah tiba di rumah sakit. Umi Aisyah langsung menghambur memeluk Dinda, menenangkan putri pertamanya dalam dekapan tangannya.

"Yang sabar, Nak!" bisik Umi Aisyah di telinga Dinda. 

Dinda menguatkan hatinya, ketika ia harus bercerita tentang Adam yang sangat merindukan Helmi, namun sampai saat ini Helmi masih belum bisa di hubungi.

"Umi, Abi, apa keputusan Dinda untuk bercerai dengan Mas Helmi itu salah? Nyatanya, di saat seperti ini Adam hanya mengingau menyebut-nyebut nama Mas Helmi, bukan aku," lirih Dinda, menatap kedua orang tuanya bergantian.

"Istighfar, Nak! Allah sedang mengujimu untuk menjadi orang yang lebih baik lagi," ucap Umi Aisyah pelan tapi tegas.

****

Adam telah di pindahkan ke ruang rawat inap. Kondisinya masih lemah, ia hanya tidur dan sesekali masih menyebut Helmi dalam tidurnya.

Sementara Dinda makin gelisah, ia masih tak bisa menghubungi Helmi. Puluhan pesan ia kirim ke nomor WhatsApp milik Helmi, namun hanya centang satu dan tak pernah jadi centang dua sejak pagi tadi.

'Kamu dimana, Mas? Tak bisakah kamu merasakan anakmu sedang dalam keadaan lemah? Dia sangat membutuhkanmu saat ini,' batin Dinda.

Nihil, hingga sampai larut malam pun, Dinda masih belum mendapatkan kabar dari Helmi.

Dinda menyerah? Tidak sama sekali, ia hanya mengikuti waktu yang terus bergulir. Ia berniat akan mencari Helmi sampai ketemu dan membawanya untuk Adam, pagi nanti.

****

Azan Subuh berkumandang dari mesjid terdekat, Dinda semalam ketiduran di kursi sambil memeluk tangan Adam. Ketika kesadaran telah memenuhi jiwanya, ia langsung mengecek keadaan Adam.

'Alhamdulilah.' 

Adam sudah jauh lebih baik, demamnya sudah turun. Namun, ketika Dinda hendak melangkah untuk mengambil wudhu, Adam terbangun.

"Bun, Ayah belum datang juga?" tanya Adam dengan lirih.

Dinda berusaha tersenyum untuk menghilangkan kegugupannya, sebenarnya ia bingung harus memberi alasan apalagi.

"Mm, si-siang nanti, Ayah baru sampai. Sabar, ya!" ucap Dinda gugup, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Adam mengangguk tanpa senyum. Ya, sejak Dinda sampai di pesantren, ia tak melihat senyuman di bibir anak pertamanya.

Matahari telah terbit, Dinda berusaha terus mengajak Adam bercerita. 

"Assalamu'alaikum, Adam!" 

Suara itu begitu Adam kenal, ia menoleh. Seketika saja ia tersenyum. Dinda, hanya menunduk karena tak sanggup menahan air mata yang memaksa jatuh, demi melihat pemandangan yang begitu menyakitkan di depan matanya.

______________