webnovel

Menemui Dinda

****

"Apa kamu sudah pikirkan baik-baik, Din?" tanya Vio, sahabat terdekat perempuan yang beberapa hari lalu di talak suaminya karena tak ingin di madu.

"Ya, memangnya kenapa, Vi?" Dinda balik bertanya.

"Enggak, sih! Membuang buaya buntung itu udah yang paling tepat, tapi bagai mana dengan Adam dan Alif?" ujar Vio.

"Mungkin, nanti aku akan cari waktu yang tepat untuk menjelaskan pada anak-anak," lirih Dinda hampir tak terdengar.

Dinda tahu, hal yang paling menyakitkan untuk dirinya adalah ketika kedua anaknya tahu kebenarannya. Mungkin saja sekarang Alif terlihat biasa saja karena belum paham, Namun beda lagi ceritanya dengan Adam, dia cukup dewasa untuk mengerti semuanya.

"Hai, jangan melamun! Aku tahu kamu dalam situasi sulit, yang sabar, pasti ada jalan!" ucap Vio sambil menepuk pelan bahu Dinda.

"Apapun keputusan kamu, aku do'akan agar menjadi keputusan yang terbaik untukmu dan anak-anak," Lanjut Vio sambil tersenyum, memberi kekuatan untuk sahabatnya itu.

Vio sengaja datang ke toko menemui Dinda, bukan untuk sekedar memberi kekuatan, tapi Vio juga membawa makanan kesukaan Dinda.

"Taraaaa ... mie ayam kesukaanmu. Ini, aku belinya di kedainya Arkan. Masih ingat'kan?" Vio menyodorkan dua porsi mie ayam dari paper bag yang tadi di tentengnya.

"Wah, makasih banget. By the Way, tumben kamu niat banget beli di kedainya Arkan, jauh banget. pasti ada sesuatu 'kan?" tebak Dinda, membuat wajah Vio berubah jadi merah jambu.

"Apaan, sih, Din? Cuma kebetulan aja lewat situ," elak Vio. Namun, tatapan mata coklat itu tak pandai untuk berbohong.

"Kamu pikir aku percaya?" Dinda kembali menggoda sahabatnya.

"Ih, sekarang kamu udah seperti paranormal aja, nebaknya bener. Hehehe," kelakar Vio, membuat Dinda  ikut tertawa lepas. 

"Ngaku aja langsung apa susahnya? Eh, jangan lupa wajib undang aku kalau kamu di halalin sama Bang Arkan!" tegas Dinda sambil menikmati mie ayam kesukaannya.

"Permisi," ucap Resa, ia mengangguk hormat pada Dinda, atasannya.

"Ada apa, Res?" tanya Dinda.

"Maaf, Ibu. Di depan ada perempuan yang ingin bertemu Ibu," jelas Resa, salah satu karyawan Dinda.

"Hm, siapa?" Dinda penasaran. 

Seingatnya, ia tak ada janji dengan siapapun selain Violany, sahabat semasa kuliahnya dulu.

"Namanya Mariah ...." ucap Resa.

UHUK, UHUK!

Perempuan 37 tahun itu, seketika tersedak saat mendengar nama Mariah. Kebayang'kan rasanya kesedak sesuatu yang pedas itu bikin batuk-batuk sampai keluar air mata. 

"Duh, Dinda. Kamu dengar namanya saja sudah menderita, cepat minum!" titah Vio. ia menyodorkan segelas air putih untuk Dinda yang sedang kepayahan karena tersedak mie ayam.

"Ma-makasih, uhuk, uhuk!" Dinda masih terbatuk-batuk.

Ketika Dinda sudah tenang, ia berdiri di depan cermin besar, tangannya lihai membenarkan hijabnya yang sedikit berantakan.

"Din, mau ngapain dia?" tanya Vio, setengah berbisik.

Dinda menggendikkan bahu, tanpa menoleh ke arah sahabatnya.

"Kalau kamu penasaran ikut aku saja ke depan. Nanti, aku kenalkan dia sama kamu, vi." Dinda menjawab dengan tenang.

****

"Assalamu'alaikum," sapa Dinda, ketika Mariah tengah asik memilih pakaian di antara deretan koleksi terbaru.

Mariah hanya mendelik, tanpa menjawab salam dari Dinda. Padahal, menjawab salam itu wajib hukumnya bagi orang muslim.

"Eh, mungkin dia tuli, jadi nggak dengar salam kamu," bisik Vio di telinga Dinda.

Dinda terkekeh mendengar ucapan Vio, sahabatnya baru  pertama kali bertemu dengan perempuan yang menghancurkan rumah tangganya, tetapi Vio sudah terlihat gemas dengan Mariah.

Mau apa datang ke sini, Mar?" tanya Dinda, pada Mariah yang mengacuhkannya.

"Aku mau buat perhitungan dengan Mbak, bungkus semua pakaian yang sudah kupilih itu!" ucap Mariah, sambil menunjuk tumpukan pakaian di sebelah kiri meja kasir.

"Sanggup beli?" tanya Dinda lagi, matanya menyipit, mencoba membaca keadaan. Tumpukan pakaian di kasir itu entah berapa puluh potong jumlahnya.

"Untuk apa aku beli, Mbak? Toh, ini milik Mas Helmi juga' kan? Mbak Dinda saja terlalu serakah ingin menguasai semuanya. Mbak sadar, di sini ada haknya Mas Helmi, hak aku juga!" pekik Mariah, membuat para Karyawan terdiam menatap ke arah Mariah.

"Hentikan, Mariah. Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri kalau begini caranya!" ucap Dinda santai.

"Dia 'kan tak punya malu makanya ngambil Helmi dari kamu, padahal Helmi sudah tua. Oops ... keceplosan!" sindir Vio sambil membekap mulutnya.

"Diam, kamu! Aku nggak ada urusan sama kamu!" hardik Mariah pada Vio yang masih cengengesan melihat perempuan yang membuat Helmi rela kehilangan Dinda dan anak-anaknya.

"Aih, makanya kenalan dulu, dong! Aku Violany sahabatnya Dinda, aku yang paling membenci perempuan yang sudah menghancurkan rumah tangga sahabatku, paham kamu!" pekik Vio dengan lantang, tangannya refleks mendorong tubuh Mariah yang mungil. Tentu saja Mariah langsung terjengkang dan mendarat cantik di lantai layaknya pose Upik Abu.

"Duh, jatuh. Kasian!" ejek Vio kemudian, membuat para karyawan yang memperhatikan kami ikut tertawa.

"Astaga, Vio jangan bar-bar, dong. Ini di tempat umum, Loh!" bisik Dinda di telinga Vio.

"Abis gemes sama pelakor, Din. Andai bukan di toko kamu, udah kucabein dia," ucap Vio sambil tertawa.

Dinda akhirnya membantu Mariah untuk berdiri. Lalu ia berusaha menghubungi Helmi. Beberapa panggilan tak ada jawaban, namun bukan Dinda namanya jika harus menyerah begitu saja, sampai Helmi mengangkat panggilannya.

"Mas, gund*kmu membuat keributan di tokoku, kamu yang akan jemput ke sini atau aku akan meminta Security untuk menyeretnya,"  ucap Dinda tanpa basa-basi.

Tanpa mendengar apa yang akan di katakan oleh Helmi, Dinda langsung menutup panggilan telepon nya begitu saja.

 

Beberepa menit kemudian, ponsel Mariah berdering cukup keras, ia segera mengangkat panggilan dari suaminya. ia hanya terdiam, saat Helmi murka atas kelakuannya yang berani menemui Dinda tanpa seizinnya.

"Sudah? Mariah, mending kamu pulang cari kesibukan jangan malah membuat keributan di sini!" ucap Dinda kemudian.

"Ini semua gara-gara Mbak Dinda! Mbak sudah membuat Mas Helmi miskin, Mbak harus membayar semuanya!" pekik Mariah dengan ancamannya.

"Hai, yang salah itu kamu! Andai kamu tak pernah datang dalam kehidupan Dinda, tak mungkin juga sekarang Helmi jadi miskin! Sadar kenapa jangan ngehalu mulu!" timpal Vio. Ia tampak gereget menahan emosinya sejak tadi. 

"Apa, sih, kamu ikut campur terus!" gerutu Mariah.

"Sudah, cukup jangan buat keributan di sini! Mariah, kamu mau pergi sendiri atau aku akan memanggil security untuk menyeretmu!" tegas Dinda, ia menatap Mariah dengan tajam.

"Awas, ya, Mbak! Aku belum selesai membuat perhitungan sama kamu. Akan kubuat hidupmu jauh lebih menderita, tunggu saja waktunya!" ancam Mariah. Telunjuknya lurus mengarah pada Dinda. Lalu, ia pun pergi tanpa permisi.

"Ajaib, ya?" Vio berbisik pada Dinda yang masih menatap kepergian Mariah.

"Emang, padahal aku sudah dengan ikhlas memberikan Mas Helmi untuknya, tapi tetap saja dia mengusikku. ngeselin ' kan?" sahut Dinda, seraya ia memijit keningnya yang terasa sedikit pusing.

"Sudahlah, nggak perlu dipikirin juga!" imbuh Vio.

****

Mariah masih menitikkan air matanya, kesedihanya begitu mendalam mendengar pembelaan suaminya untuk sang mantan istri.

"Sayang, tolong demi aku, pulanglah sekarang! Jangan membuat keributan dengan Dinda, dia itu wanita baik-baik dan terhormat. Sepintar apapun kamu membela dirimu, tetap kamu yang salah. Kamu salah Mariah!" tegas Helmi lewat sambungan telepon saat ia berada di tokonya Dinda.

Ucapan Helmi masih terdengar jelas di telinganya, tentu saja hatinya perih, seakan di sayat- sayat belati dengan sengaja.

'Aku hanya ingin membantu memperjuangkan hak kamu, Mas! Dinda terlalu serakah dengan hartamu, apa aku salah?' batin Mariah kesal.

'Lalu bagaimana kamu bisa membahagiakanku, jika kamu tak punya apa-apa, Mas? Jangankan rumah semewah mantan istri kamu, uang untuk modal saja kamu mesti menjual semua perhiasanku. Apalagi sekarang aku tinggal dengan mamamu yang seperti Nenek Lampir itu? Huh!' 

Lagi-lagi Mariah hanya sanggup menggerutu dalam hati. menurutnya, Helmi benar-benar tidak adil atas dirinya. Hampir semua hartanya ia serahkan begitu saja pada mantan istrinya, sedangkan untuk dirinya Helmi hanya membawa diri. 

___________________