webnovel

Cemburu

****

Raut kecewa tergambar jelas di wajah Helmi. Ia tak habis pikir dengan sikap Mariah yang selalu kekanak-kanakkan dan tak terkendalikan. Tak masalah jika ia menganggap Dinda sebagai saingannya, tapi jika anak-anak rasanya tak pantas untuk disaingi.

"Adam itu anakku. Dewasalah sedikit!" ucap Helmi penuh penekanan.

"Mas, ini nggak semuanya salah aku juga, wajar aku cemburu, karena kamu tak bisa membagi waktumu."

"Hah, cemburu? Lagi-lagi kamu cemburu. Mariah dengar aku, Adam  itu anakku!" tegas Helmi sekali lagi.

Helmi berharap Mariah bisa memposisikan dirinya sebagai Ibu dari anak-anaknya.

"Aku tak cemburu dengan Adam, Mas. Aku cuma tak suka kamu dekat-dekat lagi dengan Mbak Dinda!" kilah Mariah, membuat Helmi pusing seketika.

"Astaga, susah kalau ngomong sama kamu!" 

Helmi beranjak dari duduknya, ia mengacak rambutnya dengan kasar, lalu berjalan keluar kamar. Ia benar-benar murka pada perempuan yang dulu ia puja-puja sampai-sampai ia khilaf dan melupakan keluarganya.

"Maafkan aku, aku salah." 

Mariah menyusul Helmi keluar, lantas memeluknya dengan kencang, seolah dia tak ingin lepas dari sang suami. Ia tak akan segan memainkan dramanya di depan Helmi, berpura-pura menangis dan bercucuran air mata.

"Ya, tapi Mas mohon sama kamu, jangan di ulangi lagi. Berdamailah dengan anak-anak Mas, Mar! Mereka itu anak-anak baik, mudah akrab. Mas Yakin pelan-pelan, mereka akan menerimamu sebagi ibu sambung mereka." Helmi, masih berusaha membujuk istrinya.

"Aku akan mencobanya, Mas,' ucap Mariah bersemangat, lalu ia kembali tenggelam dalam pelukan suaminya.

'Kamu tak bisa mengaturku, Mas! Aku akan melakukan apapun agar  mereka tak akan pernah berhubungan denganmu lagi!' batin Mariah.

"Nanti malam aku berangkat ke Jakarta, apa kau mau ikut?" 

Helmi bermaksud mengajak Mariah tinggal di Jakarta, tentu saja agar ia bisa dengan mudah mengontrol  istrinya

"Kita akan tinggal di mana? Apa kamu sudah membeli rumah untukku, Mas?" tanya Mariah dengan senyum bahagia yang merekah di bibir tipisnya.

"Belum. Untuk sementara kita akan tinggal di rumah kontrakan.  Menurutku itu akan jauh lebih baik dari pada kamu tinggal di sini bersama Mama," bujuk Helmi, seakan sengaja membuat Mariah agar mau ikut tinggal di sana.

"Hah, kontrakan? Kamu tak salah, Mas? Asal kamu tahu, aku memutuskan menikah denganmu itu alasannya agar aku hidup enak, seperti yang kamu janjikan waktu itu!" Mariah cemberut.

"Kan, Mas bilang sedang di usahakan. Kita tinggal di kontrakan itu hanya sementara, kok. Kamu tenang saja!"  kilah Helmi, beralasan. Padahal ia sendiri tak yakin sanggup membeli rumah semewah yang ia beli untuk Dinda.

"Janji, ya, Mas!" Mariah kembali bermanja-manja pada Helmi. 

Mariah itu tipe mudah marah dan mudah sekali untuk di rayu, meskipun dengan gombalan sederhana. 

****

Dinda merasa lega, ketika Adam Kembali ceria. Ia senang ketika kedua anaknya baik-baik saja meskipun tanpa kehadiran Helmi di sisi mereka.

"Bunda, besok Mas kembali ke pondok, ya."

"Besok?" tanya Dinda kaget.

"Ya, soalnya Mas nggak mau ketinggalan hapalan di pondok, Bund."

Mendengar alasan anaknya yang tak mau ketinggalan pelajaran, ia tersenyum. Setidaknya, Semangat Adam telah kembali.

Begitu, ya ... Oke, besok pamit Ayah dulu, ya!"

"Enggak perlu Bun," tolak Adam cepat.

Dinda terdiam, lalu memeluk putranya. Ia paham penolakan Adam, pasti karena masih kecewa atas sikap Helmi.

"Ya sudah, biar nanti Bunda saja yang bilang," ucap Dinda, tak ingin memaksa.

Lusa, Disha sudah mulai kembali sekolah. Dinda sedikit khawatir karena sampai saat ini belum ada kabar dari pihak Yayasan yang mencarikan babysitter untuk Alif. 

Ia berpikir keras. Meskipun di usianya yang baru lima tahun, ia sudah terbilang mandiri. Alif belum bisa di tinggal tanpa pengawasan orang dewasa.

Sebelum Dinda berangkat ke toko, ia terlebih dahulu mampir ke yayasan yang berbeda dari sebelumnya. Berharap ia menemukan Babysitter yang cocok untuk anaknya. Namun, lagi-lagi ia harus bersabar ketika pengurus yayasan memintanya untuk menunggu terlebih dahulu seperti yayasan sebelumnya.

****

Helmi memarkirkan mobilnya di halaman rumah yang terbilang mewah.  Senyumnya mengembang tatkala melihat sang Kakak sudah menunggunya di pintu rumah.

"Hel, ayo sudah di tunggu sama Mas Bram!" ujar Galuh, ketika melihat adiknya melangkah dengan ragu.

"Em, Mbak kira-kira Mas Bram mau bantu nggak, ya?" tanya Helmi. 

"Mbak nggak mau ikut campur, nanti kamu tanya langsung saja, ya, Hel!" jawab Galuh acuh.

Helmi pun hanya bisa diam mendengar ucapan kakaknya yang seolah niat tak niat membantunya. Helmi cukup paham karena Galuh tak menyukai pernikahannya dengan Mariah. 

Helmi mengikuti langkah kakaknya dengan perasaan campur aduk, karena tak lama lagi ia akan bertemu dengan orang yang sebelumnya tak pernah akur dengannya. Siapa lagi kalau bukan Bram, suami Galuh.

"Mas, ini Helmi sudah datang," ujar Galuh, memberitahu Bram, lalu ia pamit ke belakang untuk membuatkan minum.

"Silakan, duduk, Hel!" lelaki itu menyambut kedatangannya dengan ramah.

Namun tidak untuk Helmi. Baginya senyuman itu seolah senyuman mengejek dan sedang menertawakan hidupnya yang sekarang berantakan.

"I-iya, Mas." 

Galuh kembali dengan dua cangkir kopi di atas nampan yang ia bawa, lalu meletakkannya di atas meja. 

"Ini minumnya, biar nggak garing ngobrolnya, Hel!" ucap Galuh, bermaksud menyindir Helmi.

Sementara Helmi yang dari awal menginjakkan kaki di rumah ini terasa gerah, ia semakin gelisah mendengar sindiran dari kakaknya.

"Saya sudah mendengarnya dari Galuh, Kamu datang kemari untuk meminjam uang untuk modal, kan?" todong Bram. Kali ini, Bram memang terdengar sombong.

"Iy_iya, Mas." 

"Hm, berapa?"

"500 juta, Mas." 

"Wow, itu jumlahnya lumayan." 

Helmi merasa seolah tak punya muka. Pasalnya, dulu Bram pernah ada di posisinya. Memohon bahkan bisa di katakan mengemis pada Helmi, namun sekarang keadaan berbalik kepada dirinya.

"Lima puluh juta? Uang sebanyak itu apa kakak 

akan sanggup menggantinya?" Helmi mencibir.

"Mas akan usahakan," jawab Bram waktu itu.

"Aku nggak percaya, Mas!" ucap Helmi dengan angkuh.

"Tapi, Hel. Tolonglah, Mas ingin membahagiakan Galuh, Mas Janji akan ganti secepatnya, Hel!"

"Sudah, pergi sana! Aku tidak akan memberikan pinjaman sedikitpun untuk orang miskin seperti kamu!" usir Helmi dengan kasar.

Seketika kata-kata kasar yang Helmi ucapkan dulu, jadi bumerang dalam hidupnya. Kini, dia sedang merasakan di posisi Bram sepuluh tahun yang lalu.

"Oke, Mas akan kasih kamu pinjaman, tapi dengan satu syarat!" ucap Bram, tegas.

"Apa itu, Mas?" tanya Helmi tak Sabar.

"Jangan pernah lagi menyakiti hati Adinda!" bisik Bram.

Helmi terkesiap mendengar nama yang di sebutkan Kakak iparnya barusan. 

"Kenapa harus ada  hubungannya dengan Dinda?" tanya Helmi penasaran. 

"Dinda itu orang baik, perempuan baik-baik.Aku bisa sesukses sekarang itu karena kebaikannya dia!"

Bram memuji, bahkan seolah ingin melindungi Dinda, mantan Istrinya. Tentu saja Helmi merasakan kecemburuan yang tak beralasan.

'Kenapa dimata mereka Dinda terlihat sangat sempurna bak malaikat? Dua tahun terakhir aku merasa hambar dengan perempuan itu, apa aku tak pandai bersyukur dengan apa yang kupunya saat itu?' batin Helmi lirih.

_________________