webnovel

Bram Araskha

****

"Bram, cepat masuk! Sebentar lagi pelajaran akan segera di mulai," seru gadis cantik berambut lurus pada anak lelaki berkaca mata yang usianya tak jauh beda dengannya.

"Kamu saja yang masuk!" balas anak lelaki itu. Ia membalikkan badannya, lalu berjalan menjauh dari gedung sekolah dengan wajah murung dan tertunduk.

"Loh, Bram. Kamu mau kemana?"

"Pulang."

"Kenapa?"

"Apa kamu tak lihat bajuku kotor begini?"

Ya, Anak lelaki berkacamata itu namanya, Brama Araskha. Sering di panggil Bram. Namun, anak-anak yang hobinya membully akan memanggilnya dengan sebutan si Cupu!

"Justru dengan baju yang kotor begini, kamu akan mudah mengadukan perbuatan mereka , Bram. Ayo ikut aku!" ajak sang gadis sambil menarik tangan Bram dengan kasar.

"Ta-tapi ...."

"Sudah, ayo!"

"Mereka akan semakin marah jika aku mengadukannya."

"Aku tidak peduli," tukas gadis itu, kukuh pada pendiriannya.

Ketika tangannya di tarik-tarik oleh gadis itu, ia merasakan detak jantungnya yang lebih cepat dari biasanya. Bram tak berani untuk sekadar menatap manik gadis itu. Malu, jika detak jantung itu terdengar olehnya.

"Ah, kamu payah, Bram!" cecar gadis itu lagi.

Bram terdiam.

Gadis itu berusaha menyeret tangan Bram kembali, membawanya ke hadapan Roni dan gengnya yang sedang duduk santai di depan kelas mereka.

"Wuih, ada si Cupu," sambut Roni khas dengan ejekannya.

Hening.

Gadis itu merasa geram dengan tingkah Bram, yang nggak mau melawan sedikitpun.

"Ini lagi, cantik-cantik mau temenan sama orang cupu begini, hahaha!" ejek Roni, sorakan juga tawa teman-temannya membuat gadis itu sangat geram.

"Kenapa? Kamu nggak terima atas kejadian tadi pagi, hah? Uang segitu doang kamu berani nyamperin aku. Mau melawan?" gertak Roni.

"Ingat, ya. Besok kamu harus kasih aku uang lebih banyak lagi, kalau kamu nggak mau baju kamu sampai kotor-kotor begini, paham!"

Lagi-lagi Roni mengancam Bram.

"Oh, jadi kamu yang suka mengambil uang miliknya? Kecil-kecil sudah jadi tukang rampas, mau jadi apa kalau sudah besar nanti?" teriak Gadis itu dengan lantang.

"Diam kamu!" bentak Roni, sambil berusaha mentoyor kepala gadis itu. Namun, gadis itu berhasil menghindar.

"Yang harusnya diam itu kamu! Nggak ada yang boleh membully dia lagi, kalau enggak akan kuadukan kalian ke Wali Kelas sekarang juga!" ancam gadis itu tanpa perasaan takut sedikitpun .

"Huh, dasar cewek ember sialan! Tunggu, kalian berdua akan tahu akibatnya karena sudah berani melawanku!" ancam Roni lagi. Lalu, ia dan teman-temannya pun pergi dari hadapan gadis itu.

****

Bram tersenyum saat ia mengingat kisah kelam di masa putih abunya. Ia sering di bully oleh teman-temannya, namun gadis itu selalu ada sebagai penolongnya.

Bram bahkan lupa, berapa ratus kali ia di bully Roni, di pukul bahkan pernah wajahnya di tendang, sampai hidungnya berdarah-darah dan tak sadarkan diri.

"Bram, bangun! "

"Bram, buka matamu!"

"Kamu payah. Bukannya melawan malah pingsan!"

Lagi-lagi, gadis itu duduk di samping Bram, bahkan air matanya mengalir deras ketika darah di hidung Bram di bersihkan oleh petugas kesehatan. Tentu saja Bram sudah sadar, namun masih pura-pura pingsan demi melihat apa yang di lakukan gadis itu.

Orang tua Bram di pindah tugaskan ke jawa timur. Mau tak mau Bram harus pindah sekolah dan secara tak langsung ia harus berpisah dengan gadis itu.

Sedih? Sudah tentu, tapi bisa apa? Dia hanya seorang anak yang di besarkan oleh cinta kasih orang tua. Sudah selayaknya dia patuh dengan apapun yang menjadi keputusan orang tuanya.

Rindu. Itu yang Bram rasakan sejak berpisah dengan gadis itu. Ia sering membuka akun media sosial hanya untuk sekedar mengikuti keseharian gadis itu. Namun, gadis itu seolah menutup diri, ia tak pandai ngartis seperti teman-temannya yang lain.

Terakhir, gadis itu telah menjadi Sarjana Akuntan. Nyali Bram semakin menciut, meski hanya sebatas untuk menyapanya saja.

Apalah yang bisa di banggakan dari seorang Brama Araskha? Lelaki cupu berkacamata yang tak menyandang gelar apapun.

Ketika Bram dewasa, Bram tak punya kesempatan untuk meraih dunianya. Cintanya, hidupnya, bahkan untuk bernapas pun itu harus atas restu kedua orang tuanya.

Bram di paksa untuk menikahi perempuan yang sedang hamil tiga bulan, andai saja orang tuanya sadar akan kebahagian Bram, mungkin Bram masih bisa mengejar cintanya saat itu.

Alih-alih mendapatkan perlakuan baik dari mertuanya dan saudara iparnya, Bram malah di perlakukan layaknya babu.

"Maaf untuk semua sikap Mama dan keluargaku, Mas!" lirih Galuh waktu itu.

Bram bergeming.

"Pergilah, aku ikhlas kamu pergi, Mas! Kamu berhak bahagia, dan menemukan kebahagiaanmu yang sesungguhnya. Terimakasih telah bersedia menikahiku, untuk menyelamatkanku dari gunjingan masyarakat."

Galuh sadar perlakuan orang tua dan keluarganya yang semena-mena membuatnya tak enak pada Bram, karena walau bagaimanapun benih yang ia kandung bukan benih milik Bram. Namun, ia di paksa bertanggung jawab atas itu.

"Kamu sebenarnya perempuan baik, Galuh. Hanya saja kamu telah salah memilih pergaulan. Berikan aku waktu sampai anak itu lahir, setelah itu aku akan memutuskan langkah apa yang akan ku ambil!" ucap Bram dengan mantap, ia seolah berusaha menerima perjodohan ini.

"Kamu yakin, Mas?"

"Ya, kenapa tidak?"

"Oke, apapun keputusanmu nanti, aku akan berusaha buat terima itu."

Galuh merasa lega mendengar jawaban dari Bram, setidaknya Bram akan di sampingnya sampai anak itu lahir. Meskipun, kenyataanya anak itu bukan anak Bram.

****

Bukan hidup namanya jika bahagia selamanya, atau menderita selamanya. Bram mendapat begitu banyak tekanan dari keluaga Galuh, terutama mama mertuanya.

Di rendahkan dan di maki-maki itu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Namun, ia tetap memilih bertahan sampai anak yang ada dalam kandungan Galuh terlahir ke dunia, seperti janjinya.

Tak berhenti sampai di situ. Helmi, adik ipar Bram, mengenalkan gadis pilihannya pada keluarga. Bram begitu terkejut ketika bertemu gadis itu.

Ya, dia adalah gadis yang sama dengan gadis yang Bram kenal saat SMA dulu. Adinda Putri Syakira.

"Bram, kau kah itu?" tanya Dinda. Seolah ia ragu pada penglihatannya.

"Tak mungkin kamu mengenalnya?" sela Helmi, sebelum Bram sempat menjawab pertanyaan Dinda.

"Ya, dia salah satu sahabatku saat SMA dulu, Mas." tegas Dinda meyakinkan kekasihnya.

Dari segi rupa mereka sangat serasi. Apalagi dari segi pendidikan. Ah, Bram sadar, ia tak ada apa-apanya di bandingkan dengan mereka!

Perlahan tapi pasti, Bram akan berhenti memikirkan si gadis itu. Dinda telah bahagia dengan pilihan hatinya. Meski sebenarnya, Bram tak rela jika Dinda bersanding dengan adik iparnya.

'Dulu kita ditakdirkan menjadi sahabat, sekarang kamu ditakdirkan menjadi adik iparku. Akan kujaga kamu dengan do'a yang tak henti aku ucapkan demi kebahagiannmu, Adinda.'

****

Galuh telah melahirkan anak perempuan, Bram bergegas mendatanginya yang masih terbaring lemah. ia menanyakan kabar Galuh, lalu mengecup keningnya berkali-kali.

"Kenapa kamu tak menemaniku, saat aku hampir kehilangan nyawaku, Mas?" tanya Galuh terisak.

Padahal selama sembilan bulan ia mengandung, Galuh sangat berharap Bram berada di sampingnya saat ia melahirkan anak yang tak di kehendakinya.

"Maaf, Galuh. Aku takut sekali melihat darah, aku punya trauma dengan darah. Tolong, maafkan aku!" lirih Bram.

Mendengar jawab Bram, seketika Galuh menghentikan tangisnya, dan memeluk Bram dengan erat.

"Ijinkan aku memelukmu, Mas."

Galuh kembali terisak.

"Hai, kamu ini kenapa? Lihatlah, bayi kita bingung kenapa mamanya menangis seperti ini," ucap Bram, menggoda Galuh.

"Bayi kita ...?"

Galuh mengulang ucapan Bram sambil menatap Bram. Ia menuntut jawaban namun lidahnya kelu untuk bertanya.

"Iya, bayi kita. Setelah kamu selesai  nifas nanti, aku ingin kita mengulang akad, Galuh. Aku memang tidak mencintaimu tapi aku sangat menyayangimu. Menikahlah denganku!" ucap Bram. ia merengkuh tubuh mungil Galuh, dan menenggelamkannya dalam pelukan.

Selama menjadi suaminya Galuh, Bram tak pernah menyentuh Galuh. Ia tahu menikahi wanita yang sedang hamil itu tidaklah sah, dan Bram memutuskan untuk tidur terpisah sampai Galuh melahirkan, dan kembali menggelar akad.

"Kau, mau?" tanya Bram kembali, karena hanya isak tangis yang ia dengar dari Galuh.

"Aku mau, Mas. Aku akan menemanimu sampai aku tutup usia. Tak peduli, jika nantinya kamu tetap tak mencintaiku.''

'Anggap saja ini adalah rasa terimakasih padamu, Mas!' batin Galuh.

_________________________