Suasana kantor siang ini begitu mencekam. Para pegawai tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun tanpa diminta. Mulut-mulut terkunci rapat. Kedua jari sibuk mengetik di keyboard masing-masing.
Sepanjang lorong pimpinan mereka tak henti-hentinya mengoceh kasar. Membentak beberapa pegawai yang telat. Menyuruh cleaning service mengepel kembali lantai yang menurutnya tak bersih. Dan banyak lagi teguran yang ia layangkan.
Tak heran, suasana hiruk pikuk memulai pekerjaan seperti yang biasa terjadi, terganti dengan ketegangan pada masing-masing karyawan.
"Menurut informasi yang saya dapat, Nyonya Sandra terbang ke Kanada Tuan. Beliau mendapat beasiswa strata dua," ungkap Dion, lelaki yang diminta Bara menyelidiki keberadaan istrinya.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Bara dingin. Kedua tangannya bergelung di atas meja. Bersiap mendengarkan penuturan selanjutnya.
"Nyonya baik-baik saja, tetapi ...." Dion tampak ragu mengatakan.
"Kenapa? Kamu tahu kan aku tak suka bertele-tele. Cepat katakan!" sembur Bara segera.
"Nyonya tampak akrab dengan seorang pria Tuan. Dia ...."
"Kamu mau aku pecat ya Dion? Cepat katakan!"
"Maaf Tuan. Pria itu Soni. Mereka berbelanja sepanjang hari dan masuk ke apartemen yang sama. Soni baru kembali setelah pukul sepuluh malam."
Brak!
Bara menggebrak meja di depannya. Kepalanya mendidih mendengar siapa laki-laki yang bersama istrinya, ralat mantan istri.
"Kurang ajar! Jadi cecurut itu sudah berani sekarang!" gumam Bara. Dia mengetahui jika Soni memiliki hati untuk Sandra.
"Untuk apa Arsoni ke Kanada?" tanya Bara tanpa menghilangkan raut kesal di wajahnya.
"Mengurus pembukaan kantor baru Mada Corp. Tuan."
"Berapa lama Arsoni di sana?"
"Rencananya hanya dua Minggu Tuan. Tapi mungkin saja bisa lebih. Mengingat ada Nyonya Sandra di sana."
"Sial!"
Brak! Bara menendang meja di depannya. Rasa ngilu dari tulang keringnya tak ia pedulikan. Rasanya masih lebih ngilu ulu hatinya. Bara tak bisa membiarkan begitu saja. Mereka akan dekat. Bara tak mau bayangannya terjadi.
"Cepat minta keluarga Mada menyeret pulang Arsoni!"
Dion hanya bisa mengangguk patuh. Kali ini tuannya benar-benar dikuasai emosi. Akan jadi masalah jika Dion sampai membantah keinginan pria berkuasa tersebut.
Sepeninggalnya Dion, Bara menghela napas panjang. Pikirannya begitu lelah hari ini.
"San kenapa harus Arsoni San? Haruskah aku menjadi pamanmu?"
Bara sudah duduk di kursi kebesarannya. Menyenderkan kepala pada punggung kursi. Tatapannya nyalang ke atas. Memikirkan nasibnya jika seandainya Soni menikahi Sandra.
Betapa malu keluarganya nanti. Soni merupakan keponakannya, yaitu anak dari Kakak perempuannya. Usia mereka tidak jauh berbeda lantaran Ibu Bara hamil di usia yang cukup tua. Beda usia dengan Belinda — kakaknya yaitu 19 tahun.
Tok tok tok
Ketukan pintu menyadarkan Bara akan tugasnya di kantor. Sebagai pemimpin dirinya dituntut profesional. Urusan pribadinya harus menyingkir dahulu.
"Masuk."
Indri — sekertaris Bara masuk. Wanita berparas Asia Timur tersebut masuk dengan segenggam map di depan dadanya.
"Maaf Pak, meeting sepuluh menit lagi akan berlangsung. Pimpinan Bimasakti Corp. sudah tiba. Beliau menunggu di ruang meeting," ucap Indri dengan nada mendayu.
Bara memejamkan matanya sejenak. Lantas mengangguk dan ikut bangkit mengikuti Indri. Meeting kali ini cukup penting mengingat kerjasama yang sudah terjalin cukup lama antar perusahaan. Bara tak mau mengecewakan semua pihak.
"Mohon maaf sudah menunggu lama Pak Bima." Bara menyalami tangan dingin Bima. Kliennya kali ini cukup detail jika menginginkan sesuatu. Maka basa-basi singkat cukup mengurai ketegangan yang pasti sebentar lagi akan terjadi.
"Tidak lama Pak Bara. Baru saja saya sampai. Lagipula sekertaris Bapak yang seksi ini sudah menyambut dan melayani dengan baik."
Bima memainkan matanya melirik Indri yang mematung di samping Bara. Usianya sudah hampir setengah abad, tapi Bima masih saja suka dengan daun muda.
Begitu juga dengan Bara yang melirik Indri tak suka. Sedangkan yang dilirik tampak biasa saja. Rasa tak nyaman mulai mengendap di hatinya. Setelah ini Bara harus menegur keras penampilan Indri yang begitu menggoda.
"Ah kalau begitu mari kita mulai pembahasan bisnisnya Pak," ucap Bara selanjutnya. Dia tak mau membahas persoalan Indri. Salah sendiri penampilannya mirip wanita malam.
***
Jauh di benua Amerika sana, Sandra tampak tidak baik-baik saja. Sudah tiga kali dia mual muntah dan cukup mengganggu aktivitasnya. Untung saja verifikasi di kampus tadi berjalan lancar.
"Nak, kenapa kamu. Baru dua gigit roti yang masuk dan kamu muntahkan. Anak Mama mau makan apa sih?"
Sandra mengajak bicara anaknya. Sedari pagi belum ada makanan yang masuk. Sandra sudah berusaha menelan roti. Tapi naas, apa yang dia gigit keluar begitu saja.
Ting. Suara intercom berbunyi. Dengan langkah gontai Sandra menuju pintu untuk melihat siapa yang berkunjung.
Dari arah kamera tampak Soni berdiri menjulang. Di tangannya menenteng bungkus salah satu restoran ternama.
"Untuk apa datang kembali Soni?" gumam Sandra cemberut. Entah kenapa dia begitu sebal bertemu Soni kali ini. Parasnya yang sedikit mirip Bara begitu menyiksanya.
"Aku datang mengunjungimu. Kamu tak menjawab pesan maupun mengangkat panggilan suaraku. Aku khawatir San," ujar Soni tanpa ragu.
"Astaga kamu pucat sekali. Sudah ke dokter?"
Soni tampak cemas. Dilihatnya penampilan Sandra yang begitu kacau. Dalam hatinya tak bisa membiarkan hal ini.
Sandra hanya menggeleng. Dia begitu lemah ke dokter seorang diri.
"Kamu sudah makan?" tanya Soni kembali.
Lagi-lagi Sandra menggeleng. Membuat Soni semakin cemas.
"Kalau begitu makan dahulu. Baru setelahnya kita ke dokter, aku temani."
Sandra tak menjawab. Dia hanya memandang bungkus makanan yang menguarkan aroma sedap. Perut Sandra terasa menginginkan makanan tersebut.
"Ayo makan dulu. Kamu harus makan agar bayimu juga kuat."
Tak membantah perkataan Soni, Sandra mulai melahap makanan di depannya. Satu suapan dua suapan lolos begitu saja di mulutnya. Tetapi suapan ketiga ... hoek, rasa itu datang lagi. Seketika Sandra bergerak cepat ke wastafel.
"Hoek ... hoek ... hoek!"
Tumpah semua makanan yang tadi dia telan. Sembari mengelap mulutnya dengan tisu, Sandra mengumpat.
"Bara ini juga anakmu. Coba kamu saja yang mual muntah. Kalau begini anak ini tak dapat nutrisi apapun nantinya!" teriaknya geram
***
Selepas makan malam, ada rasa aneh yang bersemayam di perutnya. Bara mendadak memegangi mulutnya. Ada rasa ingin meledak di dalam sana. Instingnya meminta dirinya ke kamar mandi.
"Hoek ...!"
Makanan yang baru saja dia telan, terdorong kembali ke luar. Bara merasakan perutnya bergejolak, naik ke atas dan tumpah sudah ada yang ia konsumsi tadi.
"Pahit sekali, kenapa ini? Aku tidak mabuk kan? Bisa-bisanya muntah begini. Menjijikan ...." gumam Bara kesal.
Dia mengingat tak salah makan tadi. Tapi namanya juga Bara, sekecil apapun hal dia buat masalah.
Dengan suara oktaf mirip pengeras, dia memanggil kepala pelayan.
"Bibi Asih, makanan apa yang baru saja kamu masak hah! Kenapa saya bisa muntah setelah menelannya!"
Bibi Asih takut-takut menjawab. Terlebih dia tak berani mengangkat kepalanya menatap Tuannya.
"Maaf Tuan, masaknya seperti biasa," ucapnya bergetar.
"Mungkin Tuan sedang ngidam," sahut Erni — anak buah Asih yang kebetulan lewat. Saat sadar dia mengucap sesuatu, mulutnya langsung dia bekap. Apalagi sikut Bi Asih juga sudah mendarat mulus di perutnya.
"Apa maksud kamu?" tanya Bara, tatapannya sudah melotot ke arah Erni.
"Maaf Tuan, atas perkataan Erni yang sembarangan," ucap Bi Asih yang menyahut lebih dulu.
"Itu karena saya menemukan tes—"
"Hus!"
Bara semakin membulatkan matanya. "Cepat katakan tak usah bertele-tele."
Erni ketakutan, dia tak dapat lagi menyembunyikan hal ini. Mulutnya begitu asal saat bicara. Tapi cubitan Bi Asih sangat sakit dia rasa.
"Apa maksudmu! Kamu mau dipecat?"
Kaki Erni luruh. Dia berlutut di depan Bara dengan tangis terisak.
"Maafkan saya Tuan, saya asal bicara. Tolong ... jangan pecat saya," ucapnya memohon.
Perkataan Erni tak diindahkan Bara. Dia memilih memutar kakinya dan menjauh. Rasa pusing tiba-tiba saja menyerang. Ingin segera istirahat. Biar besok pergi ke dokter saja.
"Sandra aku jatuh sakit. Apa kamu tak mau merawatku," ucapnya sambil menyentuh wajah Sandra yang tersenyum dalam bingkai 4R.
----