Angin musim panas berembus tajam. Pekatnya matahari juga terasa hingga ke tulang. Menghindari hawa menyengatnya, Sandra menepi ke coffee shop yang tak terlalu jauh dari universitas.
Sandra memesan minuman spesial musim panas, iced teas varian organic elderberry hibiscus, yang juga ditambahkan susu. Seketika warna merah muda tersaji. Membuatnya merasa kehausan begitu dalam.
"Hem manis," ujar Sandra saat seruputan pertama membasahi tenggorokannya. Lantas dengan rakus dia menyedot minumannya kembali hingga tersisa setengah.
"Agh segarnya. Luar biasa ya Nak. Udara begitu panas, pas sekali kita bertemu minuman yang menyegarkan."
Sandra berkata sembari mengelus perutnya yang belum terlihat hadirnya si jabang bayi. Ia juga belum bisa ke dokter, lantaran kartu sehat dari pemerintah belum dia kantongi. Baru saja diurus oleh Soni, dan harus sabar menunggu.
"Betapa Mama tak sabar menanti kedatanganmu agar tak selalu sepi seperti ini."
Sibuk bercengkrama dengan buah hati di rahimnya, tak sadar jika sepasang mata bergerak mengawasi Sandra. Bahkan kedua telinganya melebar saat mendengar apa yang barusan Sandra ucapkan.
Dialah Dave — detektif yang disewa Dion atas perintah Bara menyelidiki mantan istrinya.
Dengan tenang, Dave mengirimkan email ke Dion perihal apa yang baru saja ia ketahui.
Dion membalas email dari Dave. Luar biasa dedikasi Dion. Padahal di Indonesia sudah pukul dua pagi. Demi profesionalitasnya Dion tetap menerima laporan. Dia juga meminta Dave bercengkrama beberapa kata dengan Sandra.
"Halo Nona. Bisakah saya duduk di sampingmu?" ujar Dave ramah.
Sandra menghentikan mengelus perut, beralih menatap pria asing yang memiliki tato naga di pergelangan tangannya. Ragu menyambangi hati Sandra untuk menerima uluran tangan dari orang asing.
"Maafkan saya jika mengejutkanmu. Saya Dave, orang Indonesia juga. Tak sengaja mendengarmu berkata bahasa tentu membuat saya tertarik," ujar Dave dengan ramah. Dia kembali menarik tangannya saat Sandra hanya bergeming.
"Oh maafkan aku," jawab Sandra setelah beberapa saat membisu. Berada di dekat Bara dalam waktu yang cukup lama membuat Sandra selalu waspada. Banyak pesaing Bara yang sering mengawasi dirinya untuk kepentingan bisnis maupun pribadi. Tak heran, Sandra menjadi pribadi yang begitu waspada. Kendati ini di negeri yang jauh dari kampung halamannya sekalipun.
"Tak perlu meminta maaf Nona, saya sangat paham," sahut Dave dengan senyumnya yang memabukkan. Kulit wajah yang bersih dengan tone putih membuatnya terlihat rupawan.
"Mahasiswa baru?" sambung Dave kembali.
Sandra hanya mengangguk. Dia begitu canggung jika harus berbincang dengan Dave.
"Toronto setiap tahun selalu memiliki stok wanita cantik."
Sandra memutar bola matanya. Hampir betul dugaan jika pria itu hanya modus.
"Ah tenang saja saya bukan punya kelainan dengan tertarik sama wanita hamil. Berapa usia kandungannya?"
Mendengar perkataannya Sandra menoleh. Apa seberisik itu dirinya tadi. Orang asing saja sampai dengar perkataannya.
"Anda bukan mata-mata bukan?" selidik Sandra. Netranya memandang tajam. Menyelusuri setiap inci tubuh Dave. Takut terlewat dan ada yang dia curi darinya.
"Anda benar Nona. Saya memang detektif atau mata-mata," jawab Dave santai. Tangannya menumpu pipinya di atas meja. Menatap lekat mantan istri bosnya. Dalam hati begitu mengagumi sosok wanita yang begitu cantik ini.
"Oh ya untuk siapa Anda bekerja?"
Dave memilih tak menjawab. Dengan senyum yang menampakan giginya dia mengeluarkan kertas kecil berisi kartu nama. Lantas melenggang ke arah pintu.
"Hubungi saya jika Anda butuh mata-mata Nona!" teriaknya sambil berlalu.
Sandra memijat pangkal pelipisnya. Orang macam apa yang baru saja ia temui. Sungguh dia merasa merinding, jikalau pria tadi adalah suruhan musuh Bara.
"Negara ini begitu hororkah?" Bergegas Sandra melangkah keluar dari Sorry Caffe dan pulang ke apartemennya. Tapi entah kenapa, kartu nama dari Dave dia genggam dan lolos ke dalam tas tangannya.
***
"Sandra hamil?"
Bara menatap Dion yang memucat. Kursi yang didudukinya sekarang berubah menjadi mode panas bagaikan dalam arena kuis. Intonasi Bara mudah ditebak. Pasti ada masalah lagi perkara ini.
"Iya Tuan. Agen yang saya sewa mengabarkannya semalam."
Dagu Bara bersentuhan dengan jari telunjuk dan jempolnya. Sedikit memainkan bulu halus yang tumbuh di sana. Tampak berpikir yang cukup serius, lalu berkata, "dengan siapa dia hamil?"
Jantung Dion hampir saja lompat dari tempatnya. Feeling-nya tak pernah meleset. Hanya saja dia tak menyangka pernyataan Bara begitu memporak-porandakan isi otaknya yang susah payah dia jaga kewarasannya.
"Tentu dengan Tuan," sahut Dion tegas. Tak ada keraguan dalam ucapannya.
"Apa kamu yakin? Seyakin apa?"
Dion hampir saja berlari ke pantry dan mengambil palu untuk menggetok kepala Tuannya. Bagaimana mungkin Bara tak yakin ada benihnya yang bersemayam di rahim anak orang.
"Seingat saya yang menjadi suami dari Nyonya yaitu Tuan Bara, bukan yang lain."
Bara mendesah. Ada benarnya ucapan Dion hanya saja ada titik ragu di benaknya. Berita kali ini betul-betul membuatnya tak semangat. Entah dia harus senang atau justru sedih.
"Jika dia anakku, kenapa tak mengabari hal ini?" gumam Bara.
Raut putus asa begitu kentara. Netranya memanas dan benar-benar ia tahan untuk tidak tumpah.
"Mungkin Nyonya baru mengetahui saat sudah berada di Toronto Tuan. Lagipula yang Nyonya tahu, Tuan sudah menceraikan dirinya. Apa yang mau dikabarkan? Semua sudah berakhir bukan."
Brak!
Meja digebrak Bara sangat kuat. Vas bunga cantik di atasnya sampai bergetar lalu tumbang. Bunyi pecahan kaca beradu dengan dinginnya lantai.
"Keluar dari sini sekarang!" tunjuk Bara geram. Emosinya begitu tersulut saat itu juga. Tak seharusnya Dion mengingatkan dirinya perkara perceraian yang ia lakukan.
Dengan tenang Dion beranjak. "Maafkan saya—"
"Cepat keluar!"
Asisten setianya berlalu. Meninggalkan Bara dengan kemelut yang ia ciptakan sendiri.
"Agh Sandra!"
Bara mengambil lagi vas bunga di atas meja sofa. Membenturkannya ke dinding. Bunyi 'prang' begitu kencang. Orang yang berada di luar begitu terkejut dengan apa yang terjadi di dalam. Tapi mereka memilih bungkam. Dari pada nasibnya sama dengan vas yang telah hancur.
"Anak siapa itu Sandra! Apa dia anakku? Agh ...!"
Kepalanya begitu sakit. Dijambaknya rambut hitam yang mulai menjulur panjang. Bara lelah memikirkan nasib Sandra di luaran sana. Kini, dia juga harus bertambah memikirkan nasib bayi yang bisa jadi adalah anaknya.
"Bapak baik-baik saja?" Indri sudah berdiri di belakang Bara. Dia tak tega membiarkan bosnya frustrasi seorang diri.
"Tangan Bapak berdarah. Sini saya obati dahulu."
Indri berlari kecil ke kotak P3K yang tergantung di sudut ruangan. Mengambil obat merah, kasa, kapas, alkohol dan gunting.
Dengan hati-hati dia mengambil tangan Bara yang terluka akibat terkena pecahan kaca. Indri membersihkan luka dengan alkohol. Meneteskan obat merah dan memebatnya dengan kasa.
"Hati-hati ya Pak. Jangan terkena air dulu," ujar Indri saat telah selesai mengobati luka Bara.
Saat membereskan peralatannya. Indri terhenti akibat desakan tangan Bara.
"San kenapa kau harus pergi?"
---