Dalam hati aku bertanya pada diri. Ngasih suratnya lewat siapa ya? dikasih langsung ke orangnya, mana berani aku. Eh iya, kan ada Acih, titipin ke Acih aja lah. Segera kuambil ponsel di atas meja, dan menelpon Acih.
Nuuuuut.... Nuuuut... Nuuuut... tanda panggilan terhubung.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Cih, Kakak mau minta tolong nih," ujarku tanpa berbasabasi.
"Maaf, Kak, Acih lagi bokek," jawabnya dengan nada polos.
"Dih pede amat, siapa yang mau ngutang."
"Hehe, maaf, Kak, bercanda. Minta tolong apa?"
"Acih kan deket nih sama Eby, jadi Kakak mau titip surat ke Acih buat Eby, mau ya!"
"Wow! kayanya ada yang mulai peka nih, enggak deket juga sih, Kak, cuma kenal doang."
"Iya intinya sebagai sesama cewek, kamu deket sama dia, Cih," ungkapku memaksa tak mau kalah. "Kakak titip yah ke kamu, Acih lagi di rumah, kan? Tar besok Kakak ke rumah, kamu jangan ke mana-mana oke!"
"Iya ... iya maksa banget sih. sekalian ke sininya bawa seblak yah, itung-itung ongkir pengiriman surat."
"Dih, itung-itungan banget sih jadi orang."
"Ya udah, Acih enggak mau. besok Acih enggak bakal ada di rumah. Takut ada Jabaniyah ke rumah."
"Iya deh, iya besok Kakak bawa, tapi janji ya harus dikasih ke orangnya langsung, jangan dititip-titipin lagi ke orang lain."
"Nah, gitu dong, entar sekalian pajak jadiannya, ya. Jangan lupa, itu juga kalo diterima. Santuy aja, Dik Acih yang baik hati suka menolong dan tidak sombong ini aman kok, paket surat akan terkirim tanpa lecet sedikit pun, ahay."