webnovel

|24| Lupa

Tepat setelah alarm berbunyi nyaring,Vellice terbangun. Gadis itu sedikit sempoyongan menuju kamar mandi. Sepertinya, ia mulai demam. Dirinya merasakan panas disetiap embusan napas. Namun, bagaimanapun juga, ia harus bekerja. Dengan tubuh lemas, Vellice bersiap-siap.

Begitu ia mengambil tas dan akan berangkat, seketika kepalanya seperti berputar. Vellice meraih handphone untuk menelepon seorang sopir untuk mengantar.

"Jemput gue,"pinta Vellice dengan suara bindeng.

"Hah? Lo sakit? Dimana?"Suara seorang cowok yang menjawab.

"Di rumah. Enggak usah bawel, deh, Cas. Cepetan jemput gue! Keburu telat!"

"Lah? Lo enggak sekolah? Tadi gue jemput lo, tapi udah ada mobil cowok lo. Ya, udah. Gue langsung pergi aja."

Vellice menghela napas. “Cepetan jemput gue!”

"Iya, iya. Udah naik motor, nih. Wah, lo bikin gue bolos.”

"Dih, sok-sokan rajin banget!"

"Ya, iyalah. Jadwal pulang yang bener itu jam 4. Ini masih setengah 4."

"Ck! Cepetan, Lucas! Jangan telepon mulu! Buruan jalan!"

Diseberang sana, Lucas malah tertawa lebar mendengar suara Vellice. Suaranya tiba-tiba berubah seperti anak kecil karena bindeng.

"Iya, ini udah jalan!"

"Kok, msih teleponan? Bohong, ya, lo?"

"Enggaklah. Ngapain bohong. Gue naik mobil."

"Katanya tadi naik motor. Sekarang kenapa jadi naik mobil? Plin-plan banget jadi cowok!"

"Ya, lo, kan, lagi sakit. Mau gue bonceng naik motor? Tambah sakit sukurin!"

"Sampe mana?"

"Bentar lagi nyampe."

Sepuluh menit berlalu, tetapi batang hidung Lucas belum juga muncul. Vellice kembali menghubungi cowok itu.

"Katanya bentar lagi nyampe?"

"Iya, iya. Ini beneran mau nympe. Nih, belok kiri."

Vellice kembali mematikan sambungan. Kembali menunggu hingga 15 menit kemudian, cowok itu belum juga muncul.

"Lo lagi belajar nyetir, ya? Astaga! Lama banget!"

Begitu Lucas sampai di rumah Vellice, cowok itu tercengang melihat penampilan Vellice. Ya, hanya sebentar. Setelah itu tertawa lebar.

"Astaga! Sejak kapan lo berubah jadi babi? Merah semua! Hahaha!" Tawa Lucas meledak-ledak saat menatap wajah Vellice. Kini, bukan hanya hidungnya yang merah, tetapi pipi gadis itu juga merah. "Lo kenapa, sih?"

"Udah tahu gue sakit, masih nanya lagi!"Vellice mendengkus kesal. Gadis itu memukul kepala Lucas lalu bergegas menuju mobil yang terparkir di sana."Ini mobil lo?"

"Menurut lo?"

Vellice mengendik acuh. Ketika menatap ke samping, tak sengaja ia melihat sesuatu di selorokan pintu.

"Ini bukan mobil lo kan, Cas?"Vellice masih sangsi dengan kejujuran cowok itu.

"Mobil gue, kok."

"Beneran?"

"Iyalah. Enggak percaya banget kalau gue kaya?"

"Beneran, nih, ya?"

"Iya!"Lucas mulai kesal karena ocehan Vellice.

Gadis itu langsung mengambil botol yang ada di samping lalu membuka tutupnya. Namun, tangannya langsung digenggam tangan lain. Tentu saja Lucas mencoba menghentikan apa yang akan dilakukan gadis itu.

"Kamu mau mabuk? Mau cari mati? Mau dipecat sama atasan kamu?"Lucas setengah teriak memarahi gadis di sampingnya.

Vellice hanya mencebik kesal dan kembali menyandarkan kepala.

Lucas menghela napas. “Dari awal, gue tahu lo anak nakal. Tapi jangan pernah berani-beraninya nyentuh minuman alkohol ataupun yang lain!"

Vellice hanya berdeham.

"Bolos kerja aja, ya?" tanya Lucas dengan nada lembut. Cowok itu prihatin dengan kondisi gadis di sebelahnya.

“Enggak usah ngomong sok imut. Jijik.”

"Arlan aja lo biarin kalau ngomong gitu. Cih! Pilih kasih!"

"Hubungannya sama lo apa?"ketus gadis itu.

"Lo kenapa, sih? Sensi banget hari ini."

"Bodo, ah! Gue males kerja."

"Dibilangin bolos aja."

"Dikerjaan gue enggak segampang itu buat bolos, Cas. Bisa-bisa gue enggak dapet insentif kalau absen.”

"Jahat banget atasan lo."

"Kerja dimana-mana, ya, gitu semua kali."

"O, pengalaman kerja lo udah banyak?"

"Serahlah, serah!"Kini, ia sangat membenci cowok di sebelah. Begitu jahat! Mengapa terus mengajak bicara? Jelas-jelas suaranya bindeng dan serak.

"Marah, nih, marah?”

Vellice tak menanggapi. Sebentar lagi dirinya sampai di tujuan.

"Duluan!" pamit Vellice begitu turun. Bahkan, tidak menunggu Lucas membukakan pintu untuknya.

Gadis itu bergegas agar segera sampai di kafe yang terletak di lantai 5. Begitu menginjak lantai lima yang seluruhnya berisi stand makanan dari satu perusahaan yang sama dengan kafe tempat gadis itu bekerja, situasi begitu ramai pembeli. Meja di sana hampir penuh. Para pelayan bolak-balik berkeliling.

Ia merasa sedikit beruntung karena standnya hanya menjual kopi. Jadi, dirinya tidak perlu membawa piring-piring berat itu.

"Sore," sapa Vellice begitu sampai di stand. Gadis itu menaruh tas di loker milik mereka.

"Suara lo kenapa, Vel?" tanya Bila.

"Flu."Vellice mencebik kesal.

"Astaga, hidung lo merah banget!"Bahkan, Ilham terbahak melihat kondisi Vellice saat ini.

Sejak pindah tempat, cowok itu membuat kopi di bar, tidak lagi di dapur. Jadi, setiap prosesnya bisa terlihat oleh pembeli. Meja kasir sendiri terletak di ujung bar.

"Rame, ya?" gumam Vellice malas.

"Hu um. Sana pergi. Kasihan tuh, Rafa mondar-mandir sendirian!" Ilham menyahut sambil memberikan nampan yang di atasnya ada dua gelas kopi juga selembar kertas berisi menu yang dipesan.

Vellice segera mengangkat nampan itu dan berjalan menuju deretan meja yang di sana. Tanpa mengeluh, gadis itu terus melakukan tugas.

Pukul 8 malam, kafe mulai sepi pengunjung. Vellice pun hanya duduk malas dengan tangan bertumpu di atas bar. Gadis itu menatap pemandangan luar yang terlihat karena hanya berdinding kaca.

"Loh? Sejak kapan deket sini ada pantai?" tanya Vellice.

"Ke mana aja lo selama ini? sahut Bila.

"Lama enggakkalau jalan dari sini?"

"Cepet. Dua puluh menitan sampe." Kali ini, Ilham yang menyahut.

"Lama, Ham. Lama!" sahut Vellice kesal.

"Daripada jalan ke rumah lo? Cepetan mana?" Ilham menyambut sinis.

"Lagian, lo juga. Enggak punya kendaraan apa? Tiap hari jalan mulu."Bila menimpali.

"Siapa bilang gue jalan? Dijemput, kok.” Benar, ‘kan? Tiap malam Arlan menunggunya.

"Di mana?" Rafa yang bertanya.

"Udah sana. Lo keliling aja lagi." Vellice menyahut malas.

"Makan gaji buta lo!” Rafa memelototi gadis itu.

"Sini-sini tangan lo!" sahut Vellice balik melotot. Gadis itu menarik tangan Rafa yang ada di seberangnya. Mereka terhalang meja bar."Nih! Nih!"Vellice menempelkan tangan Rafa ke keningnya.

"Wah!" sahut Rafa terkejut.

"Kenapa malah wah, Dodol?" sahut Bila ikutan kesal.

"Bisa buat rebus telor itu!" Rafa menyeringai.

"Salah lo juga sih, Vel. Sakit, tapi kayak enggak lagi sakit. Dari tadi masih cerewet aja," seloroh Ilham.

"Ye, biarin!" Vellice menjulurkan lidah.

"Enggak usah sok imut."Rafa masih tidak berhenti mencandai gadis itu.

"Tau, nih. Udah gede juga."Ilham tertawa. Memang, nih, ya. Satu kafe enggak ada yang sekubu jika sudah mem-bully.

"Inget umur. Inget!" Bila pun ikut-ikutan sambil tertawa.

Vellice mencebik kesal."Diem, deh! Enggak tahu apa kalau hari ini gue ulang tahun?"

"HAH?"Mereka satu suara.

"Seriusan?" tanya Bila.

Vellice mengangguk malas.

"Iyalah. Kurang kerjaan banget boong."Gadis itu kembali meletakkan kepala di atas meja bar.

"Bener ... bener ... beneran?" Kali ini Rafa yang bertanya.

"Iya, ih! Nyebelin banget. Kalau enggak mau ngasi kado jangan bikin rebut, deh!"

"Duh, kasihannya!. Hari ulang tahun pun enggak dirayain. Sini, kita rayain. Ham, bikinin kopi gambar kue!"perintah Rafa.

"Perintah aja lo!" Meski seolah menolak, cowok itu tetap membuatkan kopi untuk Vellice.

"Jangan lupa tulis nota!" sahut Vellice sedikit tertawa.

"Iya, iya, Bawel. Gue bayarin, deh," sahut Bila sombong.

"Cih, cuma kopi doang!"

"Cuma kamu bilang! Kayak enggak tahu aja harga kopi di tempat kita seberapa!" Bila menyahut sebal, membuat Vellice tertawa lebar. Ya, memang sangat mahal. Satu kopi paling murah 50ribu.

"Happy birthday, Vellice! Happy birthday, Vellice! Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Vellice!" seru mereka sehingga membuat beberapa pengunjung memperhatikan.

"Ugh! Kalian terbaik, deh!"Vellice menyahut lalu menerima kopi buatan Ilham.

Setelah itu, setiap ada pembeli yang selesai dan akan membayar, mereka mengucapkan selamat ulang tahun ke Vellice.

Vellice tersenyum ramah menerimanya. Gadis itu berani mengungkapkan ulang tahun aslikepada para rekan kerja karena satu hal. Mereka tidak ada hubungan apapun dengan tokoh Vellice. Jadi, tidak tahu siapa tokoh Vellice. Hah, mengingat hal ini lagi, ia jadi bimbang lagi. Apakah ini benar-benar dunia novel? Kenapa terasa begitu nyata?

Mereka pulang kerja pukul 10 malam. Mal sudah tutup pada pukul 9 malam, tetapi mereka perlu beres-beres sehingga jam resmi pulang karyawan pukul 10.

"Gue anter aja, ya, Vel?" tawar Ilham. Ketiga temannya menatap Vellice khawatir.

"Dibilangin juga, gue bakal dijemput. Ngeyel banget."

"Tapi, ini udah malem.” Rafa menambahkan.

"Tuh, enggak liat, tuh? Ada satpam 24 jam!" Vellice menunjuk pos satpam yang masih ramai. Tentu saja, mereka menginap di sana.

Akhirnya, mereka mengantar Vellice hingga pos satpam.

"Pak, titip temen saya, ya, Pak! Sampai dia dijemput," pesan Bila.

"Siap, Mbak!" sahut salah seorang satpam.

Setelah berpamitan, mereka segera pergi. Begitu yakin mereka sudah jauh dari tempat itu, Vellice langsung berpamitan kepada para satpam. Gadis itu beralasan kalau dirinya dijemput di halte. Ada 2 sampai 3 orang di halte. Mereka juga karyawan dari mal ini. Vellicememilih berjalan menuju rumah. Hah, dia memang hobi menyiksa diri. Namun, dia benar-benar ingin sendiri.

Setelah melewati perkantoran yang memiliki gedung bertingkat, gadis itu melewati deretan pertokoan. Beberapa masih buka.

Vellice terus berjalan sambil melamun.Baru kali ini dirinya merasa semakin tidak semangat ketika sampai rumah. Ia menempuh 2 jam dengan berjalan untuk sampai ke perumahan. Jangan ragukan lagi bagaimana kondisi kaki gadis itu. Mungkin, sudah lecet-lecet.Bahkan, per tiga langkah, gadis itu mulai bersin-bersin. Flunya bertambah parah. Hidung terasa sangat dingin. Namun, setiap mengembuskan napas, gadis itu merasa suhu tubuh malah tinggi.

Vellice berjalan dengan memasukkan kedua tangan ke saku jaket tebal yang ia pakai. Tidak ada hal ian yang ia pikirkan selama berjalan menujur rumah. Benar-benar hanya melamun. Begitu sampai di depan gang rumahnya, dapat ia lihat 3 mobil terparkir di depan. Vellice menghela napas pelan.

Gadis itu berdiri dengan bertemupu ke tiang listrik. Sedikit membenarkan pakaian yang mengkerut.

Ketika mengusap wajah, ia baru tersadar apa yang sedang dilakukan. Mengapa pipinya basah? Memangnya hujan? Dihapusnya segera air mata lalu menepuk-nepuk pelan pipi supaya kesadarannya kembali.

Bersin kembali menyerangnya. Vellice segera berjalan kembali menuju rumah. Begitu mendekat, sesampainya memasuki gerbang, terdengar suara terompet. Ada juga suara beberapa cewek dan cowok. Mereka menyanyikan lagu ulang tahun.

Mendengarnya, Vellice jadi berpikir. Mengapa ia sedih? Beberapa jam lalu, ia juga mendengar lantunan lagu itu. Bahkan, banyak sekali yang mengucapkan selamat kepadanya walaupun mereka hanya pengunjung.

Vellice menghentikan langkah ketika mendekat ke arah pintu yang terbuka lebar. Kalau ia masuk sekarang, apakah akan merusak suasana? Namun, ia juga lelah. Dengan tekad kuat setelah membayangkan betapa empuknya kasur di kamar, gadis itu melangkah mendekati pintu utama.

Huf! Lgi-lagi seperti ini. Setiap kali dirinya datang, semua keramaian yang ada selalu tiba-tiba menghilang. Lenyap. Sunyi. Sepi. Gadis itu tidak menatap ke arah mereka. Vellice seakan tidak peduli apa yang terjadi di sana. Gadis itu langsung berjalan menuju tangga.

"Lice!" Itu teriakan Arlan. Entah mengapa, ketika mendengar teriakan itu, secara refleks Vellice langsung berlari menuju kamar.

Gadis itu langsung membanting pintu seraya menguncinya. Gorden pintu balkon ia tutup. Ia hanya menyalakan lampu tidur yang remang-remang. Vellice langsung jongkok di tengah ruangan setelah melakukan hal tadi dengan tergesa-gesa. Napasnya menjadi tidak beraturan. Pusing melanda di waktu yang tepat.

Begitu ia berhasil mengatur napas, Vellice langsung berdiri. Saat itulah semua berputar. Lalu, dalam beberapa detik, semua menggelap. Gadis itu pingsan di atas lantai yang dingin dengan AC menyala. Belum lagi, terpaan angin malam yang begitu dingin selama dua jam dirinya berjalan. Situasi dan kondisi yang sangat tepat untuk membuat gadis itu ambruk.

***